Blunder Diplomasi Jokowi di Ukraina Jadi Catatan Dunia
SABTU-Ahad kemaren heboh luar biasa soal kunjungan Presiden Joko Widodo ke Ukraina dan Rusia, terutama yang di Ukraina. Karena soal bantahan atas pernyataan Jokowi yang menyebut, dia sudah menyampaikan pesan Presiden Zelensky pada Presiden Vadimir Putin.
Tapi kemudian dibantah oleh Juru Bicara Presiden Zelensky yang menyatakan kalau dia mau menyampaikan pesan cukup ngomong sendiri langsung kepada publik. Bagaimana pengamat politik Rocky Gerung melihat semua ini? Berikut wawancara wartawan senior FNN Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Senin (4 Juli 2022).
Sekarang ini saya jadi jujur sepakat dengan Jokowi yang selama lima tahun periode pertama jarang sekali ke luar negeri. Jadi, sekali-kalinya ke luar negeri begini jadi heboh.
Itu yang menyebabkan kita menganggap bahwa buat apa cari-cari pencitraan itu dengan orang. Kalau kata pepatah, “beli kedondong jangan diborong, kalau melancong jangan berbohong”.
Saya kira sepertinya mungkin bukan bohong, tapi cuma lost in translation saja.
Iya lost in translation dalam diplomasi musti ada rumusnya tuh. Kan kalau misalnya kita sebut ya biasanya orang muter kalimat itu apakah Anda setuju dengan hak asasi manusia? Diplomat selalu bilang ya kalau di negera kita ya saya musti katakan saya setuju, tapi saya nggak tahu kalau saya bicara di negara Indonesia misalnya. Kan dia muter.
Kalimat diplomasi itu musti ada grammer-nya. Bukan sama dengan kalimat relawan. Ini pakai kalimat relawan. Jadi keadaan kita sebetulnya dipantau terus supaya kita mengerti bahwa nggak mungkin Indonesia itu ditinggalkan di dalam forum internasional karena kekuatan kedudukan strategisnya dan jumlah penduduknya.
Justru yang strategis itu yang tidak dimanfaatkan oleh Jokowi. Jadi, seolah-olah menganggap bahwa saya punya kemampuan untuk mendamaikan. Oleh karena itu, saya akan datang dulu ke Zelensky lalu ke Putin. Dan kira-kira jalan keluarnya adalah nguping bisikannya Putin atau Zelensky.
Tetapi, sebetulnya diplomasi bukan begitu. Diplomasi itu adalah di tingkat pemimpin negara, dia hanya mengucapkan hal yang sudah dibereskan di bawah. Ini dia sendiri yang mau membereskan. Kan ngaco. Jadi sebetulnya kemampuan-kemampuan berbohong itu adalah bagian dari diplomasi.
Tetapi, berbohong itu mustinya akibatnya diketahui belakangan, setelah kesepakatan itu dibuat. Ini kesepakatan nggak ada. Lain kalau Zelensky akhirnya bersepakat dengan Putin, lalu nanti Jokowi bocorin sebetulnya bohongnya. Sehingga nggak bisa lagi diklaim. Ini belum terjadi. Soal-soal semacam itu yang saya kira musti kita bereskan.
Yang begini ini dampaknya menjadi sangat serius. Kita paham sebenarnya Pak Jokowi satu misinya yang paling utama ke sana adalah menyelamatkan acara G20. Karena di tengah rancangan boikot dari negara-negara Eropa dan Amerika kalau sampai Putin hadir. Kalau kompensasinya mengundang Zelinsky.
Yang kedua yaitu soal gandum yang kita memang mengalami persoalan serius dengan blokade pelabuhan oleh Rusia. Sebenarnya kalau dua hal ini, sejauh ini menurut saya Jokowi berhasil. Karena sudah ada komitmen dari Putin dan kemudian Zelensky senang juga.
Dia akan berterima kasih kalau sampai blokade gandum itu dibuka karena ini berkaitan dengan ekonomi Ukraina. Selain itu, dalam G7 kemarin, Jerman misalnya juga sudah menyatakan bahwa dia tidak ingin mentorpedo acara G20.
Tetapi, problemnya ketika masuk wilayah soal menjadi juru damai, saya kira sejak awal kita juga sudah mengingatkan terlampau tinggilah target jadi juru damai Ukraina dan Rusia.
Ya, itu menjadi juru damai kan orang yang ingin mendamaikan dia harus punya moral standing. Itu yang pertama, supaya dianggap bahwa oke ini serius kemanusiaan, walaupun dalam politik tidak ada juru damai yang hanya dengan sekadar kekuatan moral.
Selalu ada di belakang itu kemampuan untuk ikut mengancam sebetulnya, ikut memberi tekanan. Nah, kalau Indonesia datang dengan suara ASEAN, misalnya, itu lebih kuat. Atau kawasan yang punya suara. Ini kawasan itu menganggap bahwa Rusia itu ngaco karena melakukan aneksasi.
Kalau belum bisa disebut aneksasi, paling tidak dia melakukan penyerangan awal dan itu tidak dianggap oleh hukum internasional sebagai hal yang kita sebut just war. Tetapi, Jokowi tidak ada di dalam komunitas itu. Jadi inisiatif pribadi itu enggak mungkin menghasilkan efek.
Kan orang berpikir Anda siapa? Coba Anda bawa kelompok Anda dulu deh supaya pastikan bahwa proksi-proksi itu tidak bersembunyi di balik misi Anda. Jadi ini menjadi mission impossible akhirnya kan. Jokowi akhirnya missing in action.
Di dalam percaturan global dia bilang saja. Kalau bangsa Indonesia mungkin ya merasa bahwa Jokowi memang begitu sifatnya, berupaya untuk mencari head line. Tetapi kan dia ditertawakan oleh negara-negara tetangga, Malaysia, Singapura, segala macam. Lagian sudah dibilangin sih.
Kira-kira itulah sinopsisnya. Kita akhirnya menemukan bahwa kemampuan diplomasi kita makin lama makin rendah. Jadi bukan ngeledek, kita marah karena kita bakal diledek oleh dunia, apalagi oleh tetangga. Malaysia mungkin lagi ketawa-ketawa itu, Singapore lagi ketawa-ketawa.
Kan jengkel kita. Presiden Filipina yang baru mungkin bilang ya mustinya sudahlah selesaikan dulu dalam negeri. Jadi WA di antara kepala negara ASEAN itu justru memalukan kita. Kita bisa bayangin isi WA-nya kan?
Ya, saya sepakat. Bener kan, bagaimana muka kita mau ditaruh? Sekali lagi, tetap saja bahwa Jokowi adalah presiden kita, presiden Indonesia.
Kan muka kita, di dalam politik luar negeri kalau wajah kita itu disorot, itu artinya kita hight profile atau low profile. Kita hight profile di dalam olok-olok akhirnya tuh. Sebetulnya Indonesia punya semua kapasitas untuk masuk di dalam meja perundingan awal, kalau tokoh yang maju di situ punya reputasi diplomasi.
Itu pentingnya kemarin kita bahas ya mungkin Pak Jokowi minta tolong Pak SBY atau minta tolong Pak JK yang juga punya jabatan sebagai Ketua Palang Merah. Jadi profil itu harusnya dimulai dari grade pertama, baru naik grade kedua. Nah, baru Jokowi datang ke situ. Jadi, sistem itu enggak ada, karena mau cepat-cepat dapat headline.
Dan sangat mungkin Jokowi karena lagi kesel sama Ibu Mega, lalu berupaya untuk cari sensasi di luar negeri. Begitu pulang Ibu Mega bilang, eh sudah dibilang petugas doang, mustinya lapor ke saya dulu. Jadi hal-hal semacam itu yang dalam hierarki diplomasi tidak dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Kejebloslah kita di situ. Malulah muka kita. Tapi ada orang yang nggak tahu malu rupanya, yang tetap ingin membela.
Jadi yang Anda usulkan semacam special envoy gitulah ya, utusan khusus. Dan setelah ini mulus mungkin baru Jokowi. Kalau sekarang ini Pak Jokowi seperti terjun bebas gitu ya.
Iya, terjun bebas dan parasutnya tidak terbuka. Itu terjun konyol namanya. Dan ya sudah kita anggap saja bahwa itu kecelakaan, tidak usah lagi dibela-bela oleh buzer dan segala macam.
Semakin dibela, semakin malu saja kita. Mosok membela sesuatu yang betul-betul absurd, yang akhirnya jadi pertengkaran internasional. Yang benar dibisikin atau titipan. Aset politik luar negeri kita akhirnya dipermainkan dan jadi barang rongsokan di dalam global politics.
Saya kira justru di sini yang dapat games banyak itu Presiden Putin. Karena kita lihat bagaimana cantiknya mereka mempermainkan ketika juru bicara Zelensky membantah soal itu, Rusia mencoba menyelamatkan.
Tapi cerdas ya dengan tidak berbohong. Dia cuma menyatakan yang saya bisa bawa itu bukan pesan tertulis. Itu saja yang bisa saya konfirmasi. Dari situ kan tidak berbohong.
Yang kedua, saya kira sinyal dari Putin sebenarnya jelas dengan menyatakan “saya senang ada di sini dan sudah mengingatkan bahwa di masa ketika Indonesia masih muda dulu, Rusia banyak membantu para insinyur kami, membangun jaringan transportasi, membangun rumah sakit, dan sebagainya.
Ini kan harus kita lihat itu bagian dari perang pengaruh. Dan bagaimanapun Putin memperhitungkan Indonesia di kawasan ini dalam geopolitik global ketika bermusuhan dengan blok NATO.
Kita tahu bagaimana Rusia membantu bahkan waktu penentuan ketetapan Papera di Papua. Itu Rusia berpihak pada Indonesia melawan Belanda. Dan kita mengerti bagaimana Rusia menganggap Anda sebetulnya itu harusnya merasa yuniorlah, apalagi bukan sekadar dalam sejarah tapi secara profil militer Indonesia tidak dianggap.
Dan Putin tahu ya Anda punya banyak pesawat, tapi kita tahu pesawatnya addictive, tidak dipersenjatai sebetulnya. Karena itu kalau Anda datang dengan kapasitas moral maka harusnya di dalam negeri bebas.
Dan, Putin tentu mengintip KGB yang disebar di Indonesia untuk tahu bahwa potensi Indonesia untuk retak itu jauh lebih besar dibanding potensi Rusia untuk menyerang Ukraina. Jadi kekacauan di Indonesia menurut Rusia lebih besar daripada kekacauan Rusia dan Ukraina.
Rusia dan Ukraina itu betul-betul pertarungan untuk menunjukkan siapa yang punya power dan siapa yang punya koneksi atau proxy war sudah tidak bisa dilakukan. Akibatnya Ukraina oleh Rusia dianggap itu NATO sebetulnya yang ngadapin gue, bukan Ukraina.
Jadi kemampuan kita membaca pikiran Putin itu tidak dimanfaatkan Jokowi. Sehingga Putin menganggap ya lu mau berbohong atau tidak berbohong sama saja, tidak ada gunanya, toh gua enggak anggap. Kalau benar itu tidak tertulis pesannya ya ngapain.
Dan itu dibisikkan oleh Jokowi, kira-kira Putin bilang begitu. Bahkan, lewat Turki saja saya tidak peduli, apalgi lewat Indonesia. Jadi hal semacam itu yang kita sebut sebagai powerplay itu membutuhkan kematangan dan untuk bermain kekuasaan global yang musti punya kecerdasan.
Dengan cara begini, kira-kira setelah ribut-ribut ini kita hampir bisa menduga bahwa Zelenzky pasti tidak akan datang karena dia khawatir dulu dia datang ke tempat gua aja diplintir omongan gua gitu, apalagi gua datang ke Indonesia. Dan saya kira ini bisa jadi ancaman kelangsungan pelaksanaan acara G20.
Dalam dua bulan lagi kita sudah mulai persiapan masuk G20 itu. Dan NATO menganggap bahwa bahaya, nggak perlulah karena Indonesia sebetulnya diplomasinya itu diplomasi bohong-bohongan.
Dan kalau bisa dijanjikan oke Indonesia menjadi tuan rumah dan Zelensky akan datang sebagai pembukaan G20, tetapi partner strategis karena ada masalah perang di Eropa dengan implikasi pada kekacauan finansial dan kekacauan energi dan pangan.
Sebetulnya, masalah itu bisa dibicarakan dulu antara menteri dulu, lalu naik ke tingkat Deplu, supaya ada kepastian dan Zelensky mengerti, kekacauan ekonomi di Eropa itu bisa menyebabkan kekacauan ekonomi dunia sehingga Zelensky punya poin untuk bicara di G20.
Dengan cara itu kita mungkin bisa mengatakan Rusia kita undang Zelensky dalam soal kesulitan ekonomi, bukan soal persiapan perang NATO di situ dengan menggelar kemampuan militer. Jadi deployment militer itu justru kita sembunyikan dulu.
Ini juga nggak bisa dibaca dengan baik oleh Presiden Jokowi sehingga keluar semacam arogansi, saya akan datang ke situ untuk mendamaikan. Itulah problemnya, yang disebut Childese diplomasi. (mth/sws)