Detik-detik Ambang Batas Tragedi Nasional
Oleh Sugeng Waras - Pemerhati Pertahanan dan Keamanan NKRI )
Ini kabar buruk, tentang fenomena nasional yang ditengarai oleh komentar tokoh-tokoh nasional seperti H AA Lanyala Mattaliti ketua DPD RI, juga Yusril Isa Mahendra Ketua Umum PBB.
Tanggal 20 Mei 2022 di depan gedung DPR / MPR saya pernah berperan sebagai Panglima Lapangan yang bertanggung jawab atas unras yang melibatkan beberapa komunitas dan elemen antara lain ASELI, ARM dan FPPI.
Esensi yang dibawa pada hakekatnya mengingatkan, membangunkan dan membangkitkan kembali semangat perjuangan nasional yang pernah lahir pada 20 Mei 1908 yang diprakarsai oleh Dr Wahidin Sudirohusodo dan kawan kawan dalam upaya menyatukan semangat perjuangan dalam meraih kemerdekaan yang semula seporadis, sendiri sendiri di masing masingmasing daerah menjadi satu kekuatan nasional.
Sayang, tidak berhasil himbauan saya melalui medsos dan upaya-upaya lain untuk mengajak semua elemen dan komunitas termasuk TNI POLRI guna menggelorakan dan membangkitkan kembali rasa Nasionalisme yang beragamis, hanya barangkali saya menggunakan tema unras makzulkan Jokowi!
Bayangan manusia menyemut di depan gedung MPR / DPR dengan membawa simbol kebesaran masing masing dibawah bendera merah putih tidak terujud
Beruntung masih ada seorang tokoh nasional Ketua DPD RI AA La Nyala Matalitti masih mau menerima kedatangan kami masuk kedalam gedung DPD RI.
Ini memang paradok karena temanya cukup sensitif yang menggetarkan nyali ciut disatu sisi serta mengundang emosional petugas/penegak hukum disisi lain.
Sebenarnya semua pihak harus paham dan yakin bahwa segala sesuatu tidak lantas digeneralisasikan negatif, dimana kata makzul yang bermakna menurunkan atau melengserkan seorang presiden masih dalam koridor perlindungan dan jaminan hukum (tindakan konstitusional).
Kini fenomena itu semakin mengerucut bahkan menghadapkan antar dua lembaga tinggi negara (DPD RI dengan Mahkamah Konstitusi, MK).
Apakah itu dinilai ambisi seseorang tertentu dalam rangka kepentingan mencari panggung dan popularitas murahan namun faktanya cukup menarik perhatian dalam menuju Pilpres 2024.
Mengamati dan mempertimbangkan ini bukanya saya ingin memprovokasi tapi menganalisis, berasumsi, berandai andai, mempersepsi dan memprediksi adanya gegala gejala yang berpotensi serta mengarah kepada indikasi akan terjadi tragedi nasional!
Kenapa?
Karena peran, fungsi dan tugas pokok kedua lembaga tinggi negara tersebut (DPD RI dan MK) sama-sama sangat urgent terhadap jalanya pemerintahan.
Dalam hari hari berikutnya, dengan mengatas namakan badan tinggi negara, DPD RI secara kelembagaan terus meneruskan, menyuarakan dan menyampaikan suara ini, namun dengan sangat menyesal pernyataan MK mengerucut pada penolakan gugatan terhadap ambang batas (Threshold Presidential) 20 % itu.
Terlepas dari ambisi kepahlawanan, pemimpin perjuangan hingga kebijakan murahan, saya menilai apa yang dilakukan ketua DPD RI La Nyala Matalitti merupakan aksi yang patut diapresiasi, termasuk komentar komentar dari para pakar dan praktisi seperti Ketua Umum PBB Yusril Isa Mahendra.
Semua pihak harus paham bahwa sebagian besar rakyat merasakan ketidak pastian bahkan penyimpangan dari rezim ini yang kebijakanya cenderung membuat cemas dan merugikan negara yang tidak pro rakyat!
Kuncinya pada TNI POLRI yang dapat membuat negara ini kondusif atau sebaliknya.
Kebijakan TNI POLRI dirasakan cenderung melindungi, membela rezim dan menakut nakuti rakyat.
Ini yang harus dikoreksi dan diubah, karena implementasi TNI POLRI cenderung menyimpang dan keluar dari landasan dan doktrinya, terutama Polri dengan Presisinya.
Harus disadari dan dipahami bahwa ambang batas Threshold 20 % hanya membawa dan mempraktekkan sistim pemilu yang gak berubah dari sistem pemilu 2019 yang melahirkan kebohongan, kecurangan dan kesewenang wenangan yang dipaksakan secara sepihak.
MK sebagai lembaga tinggi negara harus mempertimbangkan kepentingan negara bukan kepentingan pemerintah, begitu juga TNI POLRI!
MK dan TNI POLRI harus sadar bahwa kita dalam penguasaan Oli Garki yang bertentangan dengan konsep awal bernegara yang berprinsip kekluargaan dan permufakatan yang jauh dari paksaan, penindasan dan kesewenang wenangan.
Prinsip Negara dengan sistim demokrasi harus memberikan kebebasan yang bertanggung jawab tidak main diskriminasi, intimidasi dan eksekusi kepada kelompok tertentu.
Kesimpulanya, MK harus mau mendengar, mempertimbangkan dan menetapkan kebijakan yang pro rakyat, agar negara dalam situasi kondusif, agar tidak terjadi resolusi atau revolusi yang tidak diharapkan bersama, PEOPLE POWER TOTAL.
(Bandung, 9 Juli 2022).