HPN ke-37, Sebuah Perayaan Ngawur dan Sekenanya?
Oleh Bambang Tjuk Winarno, Koresponden FNN Jawa Timur
JURNALIS itu berurusan dengan kenyataan. Jurnalis bukan amtenar, juru tulis rezim. Jurnalis juga bukan anjing, lari ngalor atau ngidul mengejar arah lemparan tulang.
Wajibnya, jurnalis menjadi suluh penuntun dikegelapan. Karenanya, jurnalis senantiasa bergerak mendekat disaat yang lain lari menjauh.
Sampai pada Tahun 2019 Dewan Pers mencatat terdapat 47.000 media massa yang terverifikasi. Sayangnya, dari jumlah itu jurnalis sejati cuma ada di TEMPO, FNN, TV ONE dan platform indonesialeaks.
Jurnalis saat ini, jangankan ngurusi pihak lain (bangsa dan negara), ngurusi dirinya sendiri saja gak becus!
Kita mengulik sebentar, mumpung masih hangat, tentang Hari Pers Nasional (HPN). Disebut hari Pers (merujuk suasana ulang tahun) artinya kan hari lahirnya wartawan (jurnalis), ya?
Entah literasi dari mana, penentuan lahirnya jurnalis disebut pada 9 Februari Tahun 1985. Sehingga saat ini usia jurnalis baru menginjak angka 37 tahun.
Penentuan itu didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Sedangkan ide dan usulannya diawali dari Kongres ke-28 PWI, yang berlangsung di Padang, Sumatera Barat, pada 1978.
Sementara, wadahnya jurnalis (organisasinya para wartawan) yang dinamai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sudah dibentuk jauh tahun sebelumnya, yakni Tahun 1946.
Coba kita logika, masuk akal gak ini? Jadi pengertiannya kan begini, wadahnya (PWI) ada lebih dulu ketimbang yang diwadahi (HPN).
Ekstrimnya begini, PWI ini seperti Tuhan. Dia tahu bahwa kelak bakal ada yang diwadahi. Lah, iya kalau ternyata memang ada yang diwadahi. Jika gak ada? Wadah itu akan mewadahi apa?
Oke lah kita mikir simplistik. PWI ada duluan gak apa apa, toh akhirnya wartawannya juga ada kemudian. Jadi benar adanya. Ok.
Akan tetapi mindset seperti itu salah dan menyimpang. Itu berfikir tidak sistematik. Output nya ngawur dan tumpang tindih.
Menyiasati ketimpangan barangkali lebih elegan jika cukup begini saja, PWI dibentuk pada 1946. Berikutnya diadakan ulang tahun PWI. Anggapannya, wartawan sudah ada sebelum PWI ada. Jadi gak perlu lagi menentukan kapan lahirnya wartawan (kalau gak bisa atau kesulitan).
Seperti begini misalnya, pada Tahun 02 para abang becak se DKI Jakarta membentuk paguyuban abang becak. Cukup. Gak perlu cetuskan lahirnya profesi abang becak, jika disebut Tahun 03.
Disini terbayangkan bahwa sebelum dibentuk wadah, memang sudah ada sosok tukang becaknya. Kan begitu?
Sudah begitu, setiap perayaan HPN selalu PWI yang tampil di kepanitiaan. Mulai hajatan tingkat nasional sampai daerah.
Lucunya, setiap perayaan HPN oleh PWI umumnya selalu berlangsung di ruang ruang pemerintahan. Sumber dana perayaan pun dicurigai berasal dari pemerintah (pusat mau pun daerah).
Loh, yang berulang tahun ini sebenarnya wartawan atau kah pemerintah?
Jika enggan dipandang miring (soal pendanaan), lantas dari mana biaya itu didapat para wartawan untuk perayaan ulang tahun?
Apabila benar sumber dana berasal dari donatur, lalu bagaimana jurnalis bisa bersikap independen?
Apakah tidak mungkin sikap jurnalis pada akhirnya seperti ungkapan di atas, lari ngalor lari ngidul mengejar arah lemparan tulang belulang?
Tentang lahirnya jurnalis, berbagai sumber menyebut, pada pemerintahan Hindia Belanda sudah ada penerbitan (koran). Namanya Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen, yang terbit perdana 7 Agustus 1744 berkantor di Jakarta.
Masih dalam suasana penjajahan, berturut turut muncul penerbitan lain. Diantaranya, Java Government Gazeete, di Jakarta pada Tahun 1812.
Kemudian, Bataviasche Courant yang diganti menjadi Javasche Courant, terbit di Jakarta Tahun 1829.
Lalu, Bintang Timoer (Surabaya Tahun 1950), De Locomotief (Semarang Tahun 1851), Bromartani (Surakarta Tahun 1955), Bianglala (Jakarta Tahun 1867) dan Berita Betawie (Jakarta Tahun 1874).
Akan tetapi surat kabar- surat kabar tersebut, hemat saya, tidak bisa menjadi rekomendasi sebagai lahirnya Pers Indonesia.
Sebab, koran koran itu dimiliki dan dikendalikan orang Belanda, yang tentu untuk kepentingan Belanda.
Nah, baru pada Tahun 1907 terbitlah Medan Prijaji di Bandung, Jawa Barat. Surat kabar berbahasa Melayu yang didirikan Tirto Adhi Soerjo itu benar benar diawaki dan dikendalikan bangsa Indonesia asli.
Untuk memastikan penentuan lahirnya Pers Indonesia, tentu perlu kinerja sejarawan, tokoh Pers dan pihak lain terkait.
Meski Medan Prijaji belum tentu menjadi surat kabar pertama Indonesia (sbg rujukan lahirnya Pers), namun sekurang kurangnya itulah yang bisa diinventarisir.
Bila secara serampangan kita memilih Medan Prijaji (1907) sebagai rujukan lahirnya Pers Indonesia, berarti HPN harusnya adalah yang ke-115 bukan ke-37 seperti saat ini. ***