India-Pakistan "Dipersatukan" Media Sosial Setelah 75 Tahun Berpisah

Arsip foto - Polisi Pakistan (memakai seragam hitam) dan petugas Pasukan Keamanan Perbatasan India (BSF) menurunkan bendera nasional mereka selama parade harian di pos pemeriksaan bersama Pakistan-India di perbatasan Wagah, dekat Lahore, India (3/11/2014). (Sumber: ANTARA)

London, FNN - Saat beranjak dewasa, Guneeta Singh Bhalla mendengar cerita neneknya yang menyeberang dari Pakistan ke India pada 1947 dengan anak-anak yang masih kecil. Neneknya itu telah menyaksikan kekerasan yang mengerikan dan menghantui sisa hidupnya.

Cerita semacam itu tidak ditemukan dalam buku-buku pelajaran Singh Bhalla, sehingga dia memutuskan untuk membuat "
Arsip Pemisahan 1947", catatan sejarah daring tentang Pemisahan India dan Pakistan.

Catatan itu menjadi koleksi terbesar tentang peristiwa tersebut, yang berisi sekitar 10.500 cerita kenangan yang dikisahkan secara turun-temurun. "Saya tak mau cerita nenek saya dilupakan, atau cerita-cerita orang lain yang mengalami pemisahan," kata Singh Bhalla, yang hijrah ke Amerika Serikat pada usia 10 tahun.

"Dengan segala kekurangannya, Facebook adalah alat yang luar biasa ampuh. Arsip tersebut dibesarkan oleh orang-orang yang menemukan kami di Facebook dan menyebarkan unggahan kami, sehingga lebih banyak yang peduli," katanya.

Pemisahan bekas koloni Inggris itu menjadi dua negara –India dengan mayoritas Hindu dan Pakistan dengan mayoritas Muslim– menciptakan salah satu migrasi terbesar dalam sejarah.

Sekitar 15 juta penganut Islam, Hindu dan Sikh saling bermigrasi di antara kedua negara selama terjadi ketegangan politik. Situasi saat itu dipenuhi kekerasan dan pertumpahan darah yang menelan korban jiwa lebih dari 1 juta orang.

Sejak itu, India dan Pakistan berperang selama tiga tahun dan hubungan keduanya masih rapuh hingga kini. Mereka jarang saling memberi visa, sehingga saling mengunjungi antarwarga nyaris mustahil. Namun, media sosial telah membantu menghubungkan orang-orang dari kedua negara.

Ada puluhan grup pengguna di Facebook dan Instagram, serta kanal-kanal YouTube, yang memuat cerita-cerita penyintas Pemisahan dan kunjungan ke kampung halaman. Konten-konten itu telah jutaan kali dibagikan dan dilihat, serta mengundang beragam komentar emosional.

"Inisiatif seperti itu, yang membantu mendokumentasikan pengalaman Pemisahan, menjadi antidot terhadap narasi politik penguasa di kedua negara," kata Ayesha Jalal, profesor sejarah Asia Selatan di Universitas Tufts, AS.

"Mereka membantu meredakan ketegangan di antara kedua pihak, dan membuka saluran bagi orang-orang untuk berdialog lebih banyak," katanya.

Saat jumlah warga yang terusir dari rumah mereka melonjak di seluruh dunia, teknologi telah memberikan bantuan. Teknologi membantu mereka memantau dari jauh rumah yang mereka ditinggalkan dan melaporkan adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM), sementara arsip-arsip digital memelihara warisan budaya.

Proyek Dastaan (dalam bahasa Urdu artinya "cerita") menggunakan teknologi realitas virtual (VR) untuk mendokumentasikan informasi dari para penyintas Pemisahan. VR juga memungkinkan para penyintas untuk mengunjungi kembali tanah kelahiran mereka.

"VR tidak seperti film, ada kedekatan dan keterlibatan yang mendorong rasa empati dan memiliki dampak yang kuat," kata sang pendiri proyek, Sparsh Ahuja, yang kakeknya pindah ke India saat berusia 7 tahun selama Pemisahan. "Orang benar-benar merasa seperti dibawa ke tempat itu," katanya.

Proyek tersebut mendapat bantuan dari para relawan di India dan Pakistan untuk mencari dan memfilmkan berbagai tempat, yang kerap telah berubah drastis selama berpuluh-puluh tahun.

Proyek itu berencana menghubungkan 75 penyintas dengan rumah-rumah leluhur mereka pada peringatan 75 tahun Pemisahan pada tahun ini.

Namun, mereka baru menyelesaikan 30 wawancara sejak mulai memfilmkan pada 2019 akibat pembatasan pandemi, kata Ahuja.

Dia mengatakan andai saja kebijakan visa dibuat lebih ramah, orang bisa bepergian secara fisik serta melihat tempat dan kerabat mereka.

"Sekarang, keterhubungan ini tak akan terjadi tanpa teknologi, dan VR telah memberi audiens baru pengalaman Pemisahan," kata Ahuja.

Di antara kanal YouTube terpopuler tentang Pemisahan adalah Punjabi Lehar (gelombang Punjabi) yang memiliki sekitar 600.000 pelanggan dan didirikan oleh Lovely Singh (30) dari masyarakat minoritas Sikh di Pakistan.

Dia memperkirakan kanal tersebut telah membantu 200-300 orang untuk berhubungan kembali dengan keluarga dan sahabat mereka.

Awal tahun ini, sebuah video yang diunggah di kanal tersebut menjadi viral dan menuai banyak pujian. Video tersebut menayangkan pertemuan kembali dua lansia bersaudara yang lama terpisah.

"Jika kami dapat membantu menghubungkan lebih banyak orang, mungkin ketegangan kedua negara akan berkurang," kata Singh.

"Beginilah cara anak-anak saya belajar tentang Pemisahan."

India dan Pakistan termasuk pasar media sosial terbesar di dunia dengan lebih dari 500 juta pengguna YouTube dan hampir 300 juta pengguna Facebook, menurut Global Media Insight dan Statista.

Profesor sejarah Jalal berpendapat bahwa ruang-ruang daring itu juga bisa membawa informasi yang salah.

"Meski sangat bermanfaat, inisiatif seputar Pemisahan ini sebaiknya tidak dianggap sebagai pengganti pemahaman sejarah tentang penyebab Pemisahan," katanya.

Ketegangan politik antara India dan Pakistan sering meluas ke media sosial.
Tahun lalu, sebuah negara bagian India mengatakan pengguna media sosial yang merayakan kemenangan tim kriket Pakistan atas India dapat didakwa dengan pasal penghasutan dengan ancaman hukuman maksimal penjara seumur hidup.

Penduduk India, terutama Muslim, yang mengkritik pemerintah di internet kerap diminta untuk "pindah ke Pakistan".

Namun bagi Reena Varma yang berusia 90 tahun, media sosial memberikan lebih dari sekadar hubungan virtual. Media itu telah membantunya mengunjungi rumah lamanya di Rawalpindi, Pakistan, 75 tahun setelah dia meninggalkannya.

Ketika pengajuan visanya ditolak awal tahun ini, kabar itu menjadi viral di Facebook.
Otoritas Pakistan kemudian memberikan visa kepada Varma, yang pindah ke India sewaktu remaja beberapa pekan setelah Pemisahan.

Saat Varma mengunjungi Pakistan bulan lalu, Imran William, pendiri grup Facebook bernama India Pakistan Heritage, menyambut kedatangannya.

Penduduk setempat menabuh gendang dan menghujani kembang ketika dia menari di jalan sebelum melihat-lihat rumah tua keluarganya. "Ini begitu emosional, tetapi saya sangat senang bisa mewujudkan impian mengunjungi rumah saya," kata Varma.

"Orang-orang memiliki kenangan pahit tentang Pemisahan, tetapi berkat Facebook dan media sosial lain, mereka berinteraksi dan ingin bertemu satu sama lain. (Media) itu menyatukan orang-orang dari kedua negara," katanya. (Sof/ANTARA/Reuters)

390

Related Post