Jembatan Tiga dan Pulo Kapal, Arkaeologi Jakarta (III)
Oleh Ridwan Saidi Budayawan
JEMBATAN Tiga dalam konteks ini bukan bridge. Tapi jamba tana tiga. Jamba hunian, tana tiga orang Tiga. Tiga komunitas sosiologi orang Portugal. Seorang pemain bola nasional Portugal Postiga. Orang Betawi juga banyak yang dipanggil Bang Tiga.
Jembatan Tiga tak jauh dari Kapuk Muara dan labuhan Sunda Kalapa
Tiga dalam Salatiga berarti tinggi. Salatiga tinggi rendah.
Tahun 1602 Belanda mulai masuk Jakarta untuk transit ke Maluku. 1610 mulai banyak Belanda berdiam di Jakarta Mereka menyewa loji.
Tahun 1619 Belanda di Jakarta makin banyak. Jan Pieterzon Coen minta tanah di Jakarta mau bikin bangunan, ditolak Syahbandar Arya Ranamanggala. Akhirnya mereka bermarkas di pulo Kapal, yang artinya tempat sembunyi. Pulo ini dihuni orang-orang Asia minor yang tajir. Uang dari mana tak jelas. Mereka diusir native karena konsep moral yang berbeda.
Kapal oleh Belanda diganti Onrust. Belanda tinggal rust/rehat saja karena di pulau ini sudah berdiri banyak bangunan arsitektur Caucasia yang penghuninya tinggalkan begitu saja karena digebah native pulo Serebu. Sementara arkaeolog claim itu bangunan made in Holland, bahkan Belanda katanya bikin asrama haji. Tempat ini tak pernah jadi asrama haji. Tetapi sebagai karantina untuk mereka yang mengidap sakit menular. Lagi pula Calhaj jaman Belanda tak perlu diasramakan. Pada hari H mereka langsung berangkat dari rumahnya ke labuhan.
Belanda yang tak dapat tempat di Onrust, bikin rumah di Kali Mati yang disebut Buitenstad.
Belanda meninggalkan Onrust pada tahun1707, mereka diizinkan bikin Stadhuis di Kota Inten. Sinagog mereka bikin dekat Stadhuis. Hal ini menguatkan bukti bahwa VOC dan Heeren van Zeventeen bukan bentukan kerajaan Belanda, tapi oleh kumpulan top level Yahudi: City of London.
Sebaiknya pola arsitektur bangunan harus dipelajari yang benar agar tidak terjadi kesembronoan dalam mengambil kesimpulan ini Belanda itu India. Cukup banyak bangsa2 yang berhuni di Indonesia. Mereka meninggalkan rupa2 model bangunan.
Duduk soalnya, banyak pakar terkait yang salah timbang kekuatan Imperialis dan kolonialis seperti VOC, karena mereka tidak paham demgan struktur kekuasaan zona econ di Indonesia yang biasanya tandem, sekutu, dengan system administrasi seperti: Kepatihan Majakatera dengan Syahbandar Sunda Kalapa. Tandem ini secara konvensional mendapat respect dari bangsa-bangsa luar. Coen harus tunduk dengan perintah Patih Arya dan Syahbandar Rana Manggala.
Zona econ di Indonesia tidak ada yang dikuasai VOC atau Nederlands Indie. Zona econ tak lagi berfungsi pada medio XIX M. Mereka dikalahkan system perbankan modern. (RSaidi)