Kedaulatan Pangan di Ujung Krisis Global

Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS

Jakarta, FNN --- Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menyoroti besarnya resiko yang akan dihadapi pemerintah Indonesia akibat ketergantungan pada pasar pangan global. 

Selama ini sumber impor pangan strategis hanya bergantung pada segelintir negara saja. Ketahanan pangan nasional bersandar pada pijakan rapuh politik pangan beberapa negara.

“Sebagai contoh, pada 2021, dari 2,5 juta ton kedelai impor, 87 persen-nya hanya berasal dari Amerika Serikat. Padahal lebih dari 91 persen kebutuhan kedelai nasional harus dipenuhi oleh impor. Di tahun yang sama, dari 11,2 juta ton gandum impor, 84 persen-nya berasal dari tiga negara saja,” kata Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/07/2022).

Pada tahun 2021, jelas Yusuf, dari 11,2 juta ton gandum impor, 84 persen-nya berasal dari tiga negara yaitu Australia, Ukraina dan Kanada. Padahal kebutuhan gandum nasional sepenuhnya bergantung pada impor karena Indonesia sama sekali tidak memproduksi gandum.

“Kasus lebih ekstrim terjadi pada bawang putih, dimana lebih dari 93 persen kebutuhan nasional harus dipenuhi oleh impor namun seluruh impor hanya bersumber dari satu negara, yaitu Tiongkok,” ungkap Yusuf.

Politik Proteksionisme

Selain sumbernya yang bergantung kepada beberapa negara, resiko besar juga datang dari fluktuasi harga dan ketersediaan pasokannya. Hal tersebut diperparah oleh politik proteksionisme pangan yang diterapkan puluhan negara sebagai respon dari krisis pangan global yang disebabkan oleh perubahan iklim dan konfilk Rusia-Ukraina.

“Demi mengamankan pasokan pangan domestik, puluhan negara telah melakukan kebijakan ekstrim dengan melarang ekspor pangan. Bila diawal tahun hanya tiga negara yang melakukan politik proteksionisme pangan, jumlah itu kini melonjak mencapai 24 negara,” tutur Yusuf.

Politik proteksionisme pangan internasional ini tidak hanya mengambil bentuk pelarangan ekspor pangan saja namun juga pengetatan perizinan ekspor pangan dan pajak atas ekspor pangan sehinga harga pangan di pasar global semakin melonjak. 

“Sejumlah komoditas pangan strategis mengalami kenaikan harga yang drastis dalam 6 bulan terakhir. Jagung dan Kedelai mengalami kenaikan harga hingga 30 persen, berturut-turut dari kisaran  265 dollar AS dan  554 dollar AS per ton pada Desember 2021, menjadi kisaran  345 dollar AS dan  724 dollar AS per ton pada Mei 2022,” papar Yusuf.

Gandum bahkan mengalami kenaikan harga hingga kisaran 40 persen, dari 377 dollar AS per ton menjadi 522 dollar AS per ton. Sedangkan beras mengalami kenaikan harga di kisaran 15 persen, dari  400 dollar AS per ton menjadi 464 dollar AS per ton.

“Dihadapkan pada lonjakan harga pangan global dan politik proteksionisme pangan internasional, Indonesia masih mengimpor sejumlah komoditas pangan strategis dalam jumlah signifikan bernilai puluhan  miliar dollar AS antara lain beras 400 ribu ton, garam 2,8 juta ton, gula 5,5 juta ton, kedelai 2,5 juta ton, gandum 11,2 juta ton dan daging sapi 273 ribu ton,” ujar Yusuf.

Hingga kini impor pangan masih membanjiri negeri, bahkan semakin deras. Total impor untuk 9 komoditas pangan utama pada tahun 2021, mencapai 24,5 juta ton senilai 10,4 miliar dollar AS. Angka ini meningkat dari kondisi tahun 2014, dimana impor untuk 9 komoditas pangan utama saat itu 19,7 juta ton senilai 8,5 miliar dollar AS. 

“Banjir impor pangan adalah ironi besar bagi negeri agraris seperti Indonesia. Dengan bentang alam yang sangat luas hingga 191 juta hektar, tanah yang subur, iklim yang relatif terduga dengan sinar matahari yang berlimpah dan curah hujan yang tinggi, seharusnya kedaulatan dan kemandirian pangan bukanlah mimpi bagi ini,” tutup Yusuf. (TG)

404

Related Post