Keserakahan di Tengah Pandemi (4): Tinjauan Kritis Terhadap Kepemimpinan Otoriter dan Oligarki di Indonesia

Oleh: Gde Siriana

MELALUI relasi-relasi bisnis-politik, oligarki mendapatkan privilege tertentu
seperti konsesi bisnis dan perlindungan politik, sehingga oligarki memiliki akses luas untuk dapat mengakumulasi aset, yang kemudian aset tersebut akan digunakannya kembali untuk mengendalikan kontes politik (pemilu).

Dengan investasi politknya itu selanjutnya oligarki dapat mengendalikan penguasa yang terpilih dan mempengaruhi kebijakan publik. Proses ini dapat disebut sebagai siklus oligarki.

Gambaran di atas juga dapat dilihat pada kebijakan Reklamasi Teluk
Jakarta, Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau rencana Ibu Kota Baru. Di dalam proyek-proyek tersebut ada nilai bisnis yang besar.

Tidak ada pertarungan yang ketat pada kebijakan tersebut, meskipun banyak kalangan masyarakat sipil menentangnya dengan alasan yang rasional, menunjukkan bahwa kepentingan investor besar telah menyebar kepada partai-partai politik.

Di AS, investor besar berkepentingan pada informasi-informasi penting
yang dapat mempengaruhi nilai saham mereka, misalnya suku bunga Fed,
harga-harga komoditi, pajak, atau kebijakan pemerintah tentang jaminan sosial dan perburuhan.

Sedangkan di Indonesia kepentingan investor besar adalah untuk mendapatkan kebijakan pemerintah, yang sebenarnya menjadi sumber
bisnisnya, misalnya konsesi pada SDA, monopoli impor dan ekspor, atau barang dan jasa tertentu yang di-endorse pemerintah, pemasok tunggal bagi instans pemerintah, atau penunjukan sebagai kontraktor proyek-proyek besar pemerintah.

Pengusaha Indonesia yang menjadi Investor besar dalam kontes politik
umumnya mengakumulasi kapital atau cari untung besar tanpa perlu
membangun manufaktur besar yang efisien dan mampu bertarung di pasar
global.

Mereka layak disebut jago kandang, karena lebih suka mengeruk
keuntungan besar di negeri sendiri dengan hanya bermodalkan kebijakan
pemerintah. Barangkali modal yang dibutuhkan investor kurang dari 10% dari nilai proyeknya, karena sebagian lagi akan disediakan oleh bank-bank
pemerintah.

Dalam perkembangannya, mereka tidak cukup hanya menempatkan
orang-orang yang menjadi proxy mereka dalam institusi-institusi yang
kebijakannya menjadi kepentingan mereka.

Mereka juga merasa perlu terjun secara langsung menduduki posisi di pemerintahan, agar keuntungan bisnis semakin mudah dan besar, serta akses dan pengaruh politiknya juga semakin kuat. Inilah yang disebut rezim Peng-Peng (Penguasa sekaligus Pengusaha).

Investor membutuhkan stabilitas politik untuk menjamin investasinya
memberikan keuntungan ekonomi melalui kebijakan-kebijakan yang dapat
dijalankan tanpa hambatan protes masyarakat.

Dampaknya adalah stabilisasi politik mengarah pada perusakan terhadap demokrasi.

Dengan berpadunya kekuatan elit politik dan investor besar maka oligarki menjadi sangat kuat sehingga mampu mengendalikan proses demokrasi, menjadi demokrasi procedural atau bahkan demokrasi kriminal.  

Dengan demikian, fungsi check & balance, hanya dilihat pada keberadaan institusi formal seperti DPR, DPD, KPU, KPK dan berbagai komisi lainnya.

Pemilu hanya sebatas menjadi sarana untuk melegitimasi kekuasaan yang didapat, tetapi bukan sebagai wujud dari proses demokrasi yang berjalan baik. Ini sesungguhnya merupakan penyimpangan dari praktik mazhab pertumbuhan, di mana stabilitas politik yang diupayakan melalui pengekangan demokrasi, pada akhirnya menciptakan distribusi kesejahteraan tidak merata.

Cengkraman oligarki di saat pandemi semakin kuat, yang dapat dilihat pada:

1) Semakin nyata kemunculan Peng-Peng (Pengusaha-Penguasa),
menunjukkan bahwa oligarki turun langsung menduduki posisi puncak
institusi. Misalnya banyak menteri dari pengusaha, anak-anak konglomerat
jadi Stafsus Presiden dan Wamen, Ketum parpol dari pengusaha.

Dengan demikian kebijakan publik, dimana kepentingan-kepentingan elit dapat dipertemukan dan saling mendukung, menjadi area yang secara langsung dikendalikan oligarki.

2) Kebijakan rente semakin banyak di masa pandemi. Mengikuti teori Ferguson, ini menunjukkan bahwa investor tidak ingin investasinya dalam kontes politik sebelumnya menjadi sia-sia akibat pandemi menghentikan kegiatan proyek-proyek yang dicanangkan pemerintah, juga demi kepentingan akumulasi aset yang akan dipergunakan untuk kontes politik berikutnya.

3) Oligarki, membutuhkan kestabilan politik untuk menjamin investasi berjalan sesuai rencana, dan membutuhkan legitimasi formal untuk mempertahankan kekuasaanya, antara lain melalui lembaga-lembaga formal seperti DPR terkait pengesahan Undang-Undang dan KPU terkait pengesahan pemenang Pemilihan Umum. Sehingga lahir UU Cipta Kerja, UU No.2/2020.

4) Buzzer semakin terang-terangan memanipulasi opini publik dan menyerang orang-orang atau kelompok yang dianggap dapat mengancam kekuasaan.

5) Kepemimpinan Presiden Jokowi semakin otoriter, yang tidak lagi
menghormati hak-hak warna negara untuk menyampaikan pendapat dan
mendapatkan perlindungan negara.

Melalui UU Omnibus Law, presiden Jokowi semakin mengkonsentrasikan kekuasaan kepada pusat daripada membaginya kepada daerah. Selain itu penangkapan-penangkapan aktivis dan pelaporan jurnalis kerap dilakukan.

Politik mengarah pada perusakan terhadap demokrasi. Dengan berpadunya
kekuatan elit politik dan investor besar maka oligarki menjadi sangat kuat
sehingga mampu mengendalikan proses demokrasi, menjadi demokrasi
procedural atau bahkan demokrasi kriminal.

Dengan demikian, fungsi check & balance, hanya dilihat pada keberadaan institusi formal seperti DPR, DPD, KPU, KPK, dan berbagai komisi lainnya. Pemilu hanya sebatas menjadi sarana untuk melegitimasi kekuasaan yang didapat, tetapi bukan sebagai wujud dari proses demokrasi yang berjalan baik.

Ini sesungguhnya merupakan penyimpangan dari praktik mazhab pertumbuhan, di mana stabilitas politik yang diupayakan melalui pengekangan demokrasi, pada akhirnya menciptakan distribusi kesejahteraan tidak merata.

Cengkraman oligarki di saat pandemi semakin kuat, yang dapat dilihat pada:

1) Semakin nyata kemunculan Peng-Peng (Pengusaha-Penguasa),
menunjukkan bahwa oligarki turun langsung menduduki posisi puncak
institusi. Misalnya banyak menteri dari pengusaha, anak-anak konglomerat
jadi Stafsus Presiden dan Wamen, Ketum parpol dari pengusaha.

Dengan demikian kebijakan publik, dimana kepentingan-kepentingan elit dapat dipertemukan dan saling mendukung, menjadi area yang secara langsung dikendalikan oligarki.

2) Kebijakan rente semakin banyak di masa pandemi. Mengikuti teori Ferguson, ini menunjukkan bahwa investor tidak ingin investasinya dalam kontes politik sebelumnya menjadi sia-sia akibat pandemi menghentikan kegiatan proyek-proyek yang dicanangkan pemerintah, juga demi kepentingan akumulasi aset yang akan dipergunakan untuk kontes politik berikutnya.

3) Oligarki, membutuhkan kestabilan politik untuk menjamin investasi berjalan sesuai rencana, dan membutuhkan legitimasi formal untuk mempertahankan kekuasaanya, antara lain melalui lembaga-lembaga formal seperti DPR terkait pengesahan Undang-Undang dan KPU terkait pengesahan pemenang Pemilihan Umum. Sehingga lahir UU Cipta Kerja, UU No.2/2020.

4) Buzzer semakin terang-terangan memanipulasi opini publik dan menyerang orang-orang atau kelompok yang dianggap dapat mengancam kekuasaan.

5) Kepemimpinan Presiden Jokowi semakin otoriter, yang tidak lagi
menghormati hak-hak warna negara untuk menyampaikan pendapat dan
mendapatkan perlindungan negara. Melalui UU Omnibus Law, presiden
Jokowi semakin mengkonsentrasikan kekuasaan kepada pusat daripada
membaginya kepada daerah. Selain itu penangkapan-penangkapan aktivis
dan pelaporan jurnalis kerap dilakukan.

Berbagai kepentingan oligarki, baik itu ekonomi dan politik, merupakan potret keserakahan luar biasa di tengah pandemi. Mencari keuntungan ekonomi di saat krisis melalui komersialisasi masker, obat vitamin, tabung gas, tes Covid-19 hingga vaksin berbayar sesungguhnya tidak dapat diterima oleh nilai-nilai yang dipahami masyarakat Indonesia baik yang kaya apalagi yang miskin dalam konteks hubungan antara kewajiban negara dan hak warga negara.

Meloloskan beberapa Undang-undang yang belum diterima masyarakat di masa pandemi juga menunjukkan sikap licik kekuasaan yang menfaatkan situasi krisis. Negara seharusnya memikirkan kehidupan rakyat di tengah krisis, bukan mengutamakan agenda-agenda politik kelompok maupun partai dan kepentingan oligarki.

Bagaimana 53 ekonomi terbesar di dunia merespon Covid, Bloomberg
melakukan penilaian dengan menggunakan 12 indikator data yang mencakup penahanan terhadap penyebaran virus, kualitas kesehatan, cakupan vaksinasi, tingkat kematian secara keseluruhan, dan kemajuan pada pembukaan kembali perjalanan. Ini akan menyimpulkan gambaran bagaimana 53 negara tersebut menangani pandemi dengan pergolakan sosial dan ekonomi paling sedikit.

Indonesia menempati posisi kedua terburuk di antara 53 negara dan terburuk kedua di antara negara ASEAN dengan ekonomi terbesar.

Dari pandangan akhir penulis di atas, dapat disimpulkan bahwa parahnya
kerusakan yang ditimbulkan oleh Covid-19 di Indonesia baik pada aspek kesehatan masyarakat maupun dampaknya pada perekonomian negara dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat disebabkan oleh kepemimpinan presiden Jokowi yang tidak kompeten, populis-otoriter dan rendahnya kapasitas kesehatan negara.

Dampak kerusakan menjadi semakin parah dan dalam disebabkan oleh sepak terjang oligarki yang memanfaatkan situasi krisis. Terkait kapasitas kesehatan, dampak semakin parah juga diakibatkan oleh ketimpangan pada kapasitas kesehatan di berbagai daerah.

Kita belum tahu kapan pandemi akan berakhir. Tetapi penulis punya keyakinan, semakin lama kita hidup bersama pandemi, semakin banyak upaya yang perlu dilakukan untuk melawan korupsi dan perente kebijakan.

Di tengah melemahnya peran dan fungsi KPK dan institusi-institusi penegakan hukum, beban melawan korupsi tampaknya harus ditanggung masyarakat sendiri, tak bisa berharap banyak kepada pemerintah dan segala perangkatnya.

Pesan moral yang ingin penulis sampaikan adalah, dalam negara demokrasi
pemerintah harus selalu dan terus menerus diawasi. Fungsi pengawasan tidak cukup dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawasan formal seperti BPK, DPR, atau KPK.

Pihak yang paling berhak melakukan pengawasan adalah para korban korupsi, yaitu seluruh rakyat Indonesia. Kita harus mengingat bahwa uang yang dikorupsi itu bersumber dari pajak rakyat, dan sebagian lainnya berasal dari utang yang pembayaran cicilannya juga harus ditanggung rakyat.

Pengawasan adalah sinyal bahwa demokrasi benar berjalan dalam sistem
negara. Kepercayaan menjadi penting karena harus hadir dalam setiap proses demokrasi yang dilalui.

Kepercayaan ibarat laut yang tenang, sehingga dapat menghantarkan perahu kepada tujuan demokrasi. Tanpa ada kepercayaan, ini seperti laut yang berombak besar. Tidak saja akan menghambat sampai pada tujuan
demokrasi, tetapi juga dapat mengkaramkan perahu demokrasi.

Pandemi yang belum berakhir dan dampak jangka panjang yang ditimbulkannya seakan-akan menjadi bagian suram dari masa depan Indonesia.

Tetapi sesungguhnya bayangan suram itu dapat dihindari jika rakyat Indonesia mampu mengkondisikan prasyarat-prasyarat yang diperlukan untuk melewati krisis pandemi dengan kerusakan seminimal mungkin dan memiliki rasa optimis yang besar dalam menjalani kehidupan bangsa dan negara selanjutnya pasca pandemi.

Yaitu dengan kepemimpinan nasional yang sungguh-sungguh memikirkan nasib rakyat dan tidak menyerahkan masa depan bangsa dan negara dalam cengkraman oligarki, yang menurut penulis prasyarat itu tidak dapat diharapkan dari kepemimpinan nasional hari ini.

Akhirnya, penulis mengharapkan kritik dan masukan untuk buku ini agar dapat dilakukan perbaikan-perbaikan pada buku ini dan untuk mengembangkan kemampuan penulis di masa depan.

Semoga Allah selalui menyertai di setiap langkah kita menuju kehidupan yang lebih baik. (Selesai)

Penulis Buku “Keserakahan di Tengah Pandemi”

1108

Related Post