Kontroversi Kepulangan HRS

by Sugito Atmo Pawiro

Jakarta FNN - Senin (09/11). HABIB Rizieq Shihab (HRS) memang warga negara luar biasa. Setelah lebih kurang 3,5 tahun berada di Mekkah, Arab Saudi sejak April 2017, bulan lalu terbetik kabar akan kembali ke tanah air pada 10 November 2020. Kabar kepulangannya serta merta mengundang gelegar reaksi publik mulai dari omongan di warung kopi hingga celetukan di ruang maya (media sosial) dan mewarnai pula jagad pemberitaan di media massa mainstream. Semua kalangan menyampaikan pandangannya mulai dari elite di pemerintahan hingga pedagang kecil di trotoar jalan raya.

Ada reaksi yang gembira karena akan menyambut Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) tersebut, ada juga lontaran kata sinisme yang menentang kepulangan WNI itu ke negerinya sendiri. Bahkan sudah sempat diwacanakan bakal ada prosesi penyambutan di Bandara Soekarno-Hatta dengan jumlah massa yang cukup besar. Singkatnya, mungkin tidak ada seorang pun warga negara Indonesia yang berada di luar negeri dan disambut kembali ke negeri ini ditingkahi dengan beragam pro-kontra dan kontroversi serta silang pendapat. Tampaknya hanya HRS yang mendapatkan perlakuan spesial seperti ini.

Padahal, seperti dikatakan banyak pengamat yang netral, kepulangan HRS dari Arab Saudi ke Indonesia semestinya disambut dengan wajar-wajar saja, mengingat HRS adalah warga negara biasa. Hak HRS untuk pulang ke tanah air sejatinya dihormati sebagaimana warga negara lainnya. Tidak ada alasan untuk menentangnya dengan berbagai opini yang dibangun secara sengaja untuk mendiskreditkan citra HRS sebagai warga negara demi menghalangi kepulangannya ke tanah air. Tidak ada juga manfaatnya untuk menyebutkan bahwa HRS dideportasi karena kasus overstay di Arab Saudi, dan seterusnya.

Kehadiran HRS di tanah air bagi umat Islam yang mencintainya tentu saja sebuah momentum emosional untuk melepaskan kerinduan. Sekaligus menjadi semacam harapan untuk kembali mendapatkan bimbingan dan ayoman dari seorang Imam Besar yang selama puluhan tahun menjadi pemimpin pergerakan amar ma’ruf nahi munkar di seluruh pelosok tanah air. Bagi mereka yang mengharapkan kepulangan HRS tentu saja hal ini sebagai berkah yang tertunda sejak akhir 2018 lalu.


Isu kepulangan HRS telah mencuat sejak suasana karut marut gelombang protes oleh buruh dan mahasiswa terhadap pengesahan Omnibus Law pada 20 Oktober lalu, dan berlanjut pada 28 Oktober hingga demonstrasi, Senin, 9 November 2020. Gelombang aksi ini diperkirakan akan terus marathon dan diperkirakan akan lebih meluas ke seluruh Indonesia. Ada selintas pendapat bahwa aksi seperti ini akan lebih besar lagi bila dipimpin oleh seorang sekaliber HRS yang memiliki jumlah anggota dan pengaruh yang sangat besar di seluruh Indonesia.

Keberadaan HRS yang diinginkan sebagian massa aksi penolakan Omnibus Law agar memimpin gelombang aksi sebagaimana sukses HRS dalam memimpin Aksi 212 tahun 2016 lalu, salah satu faktor yang menimbulkan penentangan terhadap keberadaan HRS. Apalagi berbagai atribut media luar ruang terkait ucapan selamat datang kepada HRS yang dibuat secara swadaya oleh masyarakat, dianggap memprovokasi pergerakan aksi massa dengan tajuk yang disebut Revolusi Akhlak. Mereka yang kontra, risau dan gelisah atas kepulangan HRS semakin bersihkeras untuk menghentikan langkah HRS setibanya di tanah air, termasuk mendesak pemerintah untuk melakukan pengamanan ketat terhadap HRS dan pendukungnya bila tiba di tanah air.

Mengapa banyak kalangan pendukung kekuasaan yang gelisah dan menentang kepulangan HRS ke tanah air? Ada beberapa alasan yang tampaknya berada di balik opini yang resisten terhadap kembalinya Imam Besar FPI itu ke Indonesia. Pertama, pihak-pihak yang bersikap dilatari oleh ketidaksukaan terhadap sepak-terjang FPI dan selama ini berusaha untuk mendorong pemerintah membekukan atau membubarkan organisasi FPI. Keberadaan HRS dikhawatirkan akan membuat mental dan moral jutaan warga FPI semakin kokoh dalam berjuang lewat dakwah (amar ma’ruf) dan melawan ketidakadilan dan kemaksiatan (nahi munkar) di negeri ini.

Cara-cara yang dilakukan kelompok resisten ini dengan mencari cela untuk menghentikan keleluasaan kiprah HRS sekembalinya ke tanah air, antara lain dengan propaganda dan mendorong institusi Polri untuk mengusut kembali kasus hukum sumir, yakni fitnah chat porno yang sebenarnya sudah dibekukan karena ketiadaan bukti. Sebuah skenario klise dan usang.

Kedua, kepemimpinan HRS dianggap efektif di dalam membangun semangat perjuangan anti-ketidakadilan dalam praktek politik dan kemasyarakatan, yang bila dibiarkan akan dapat mendelegitimasi kekuasaan politik di negeri ini. Meski pun dalam alam demokrasi keberadaan tokoh dan aktor non-negara (Non State Actor, NSA), seperti HRS, sejatinya dipelihara untuk memperkuat basis masyarakat sipil (civil society). Tetapi dalam kenyataannya HRS justru dikesankan seperti state-enemy guna memberikan keleluasaan pada kekuasaan tanpa kontrol dari masyarakat sipil. Inilah sikap naif yang menciderai demokrasi di negeri ini.

Akhirnya, kita seyogyanya menerima sebuah kenyataan bahwa ada arus deras di masyarakat yang membutuhkan kepemimpinan dari seorang aktor non-negara yang dapat dijadikan panutan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, sebagaimana halnya HRS dan tokoh-tokoh besar lainnya. Oleh karena itu terimalah kepulangannya untuk kembali memimpin umat di negeri ini. Tentu tidak seluruhnya menerima pendapat ini, tapi setidaknya itulah bagian esensial dari keberagaman.*

Penulis adalah pengacara HRS

384

Related Post