Lemkapi: Penghentian Perkara Nurhayati untuk Beri Rasa Keadilan
Jakarta, FNN - Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Dr Edi Hasibuan mengatakan penghentian perkara korupsi yang melibatkan seorang perangkat desa di Cirebon, Jawa Barat, Nurhayati dilakukan untuk memberikan rasa keadilan.
"Demi memberikan rasa keadilan, masyarakat mendukung kepolisian menghentikan penetapan Nurhayati sebagai tersangka," kata mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) itu dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Berkaca dari kasus Nurhayati, Edi Hasibuan mengingatkan penyidik kepolisian agar berhati-hati dalam menetapkan tersangka.
"Begitu juga kepada kejaksaan dalam memberikan petunjuk kepada penyidik agar masuk akal dan tidak aneh-aneh," katanya menegaskan.
Edi mengatakan dampak ketidakprofesional aparat penegak hukum itu adalah merugikan masyarakat.
Pengajar Universitas Bhayangkara Jakarta ini berharap tidak ada lagi ada kesalahan serupa pada masa mendatang, baik kepada Polri maupun kejaksaan.
"Ini harus menjadi bahan evaluasi. Kita minta kepada kedua aparat penegak hukum ini untuk meningkatkan profesionalisme dalam memberikan keadilan kepada masyarakat," katanya.
Dia mengatakan sesuai hasil gelar perkara kejaksaan dan Badan Reserse Kriminal Polri maka diputuskan, penyidik akan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) setelah mendapatkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) dari kejaksaan.
Sebelumnya, Polres Cirebon menetapkan, Nurhayati, Kepala Urusan Keuangan Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon sebagai tersangka korupsi dana desa, padahal dia merupakan pelapor perkara itu.
Perkara yang muncul ke publik lewat media sosial itu mengundang atensi Mabes Polri dan Kejaksaan Agung sehingga dilakukan gelar perkara ulang dan diputuskan bahwa perkara Nurhayati akan dihentikan karena kurang cukup bukti.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo menyatakan kasus Nurhayati akan menjadi bahan evaluasi Polri dan jajaran agar tidak terulang kembali di kemudian hari.
Dia menjelaskan, dalam menetapkan status tersangka seseorang, Polri akan memaksimalkan gelar perkara sebagai kontrol terhadap penanganan perkara dan gelar ekspos yang menghadirkan saksi ahli dan jaksa agar tidak terjadi penafsiran hukum berbeda.
“Jadi dari awal harus udah seperti itu, sehingga kasus-kasus ini di kemudian hari tidak terjadi penafsiran,” kata Dedi dalam konferensi pers di Mabes Polri, Selasa malam (1/3).
Selain itu juga, kata Dedi, Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri akan melakukan asistensi kasus korupsi yang disidik oleh polres dan polda.
Dedi juga mengimbau masyarakat tidak perlu takut melaporkan kasus korupsi yang terjadi di wilayahnya karena pemberantasan korupsi dibutuhkan peran aktif masyarakat. (sws)