Mahasiswa: “Kita Harus Lakukan Revolusi Besar-besaran, bahkan Radikal Sekalipun”

Jakarta, FNN -  Maraknya korupsi yang dilakukan di era rezim Joko Widodo memicu keprihatinan mahasiswa yang masih punya idealisme. Sejumlah mahasiswa dari lintas kampus menggelar diskusi bertajuk “Korupsi dan Perampokan Sumber Daya Alam: Merampas Masa Depan Anak Muda,” Rabu (24/05/2023) di Jakarta.

Diskusi yang dilakukan secara hybrid itu dimoderatori oleh wartawan senior FNN, Hersubeno Arief, dengan narasumber para mahasiswa dan diikuti oleh puluhan mahasiswa dari 6 kampus di Jawa Barat. Sementara dari pantauan live streaming terlihat ada lebih dari 4000 penonton yang aktif mengikuti jalannya diskusi. Dilihat dari komentar para peserta zoom tampak antusias dan argumen para mahasiswa cukup memberikan sentilan yang  menohok bagi penguasa.

Bisma Ridho Pambudi dari ITB Bandung menyatakan kekayaan sumber daya alam seharusnya berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi mengapa Indonesia tidak? Hal ini disebabkan oleh tidak adanya transparansi pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam tersebut. Di samping itu, banyaknya monopoli yang dilaukan oleh penguasa.

“Seperti yang kita ketahui selama ini banyak penguasa yang mempunyai kepemilikan pribadi terhadap sumber daya alam. Saya minta pemerintah tidak sibuk grasak-grusuk ke sana ke mari untuk melanggengkan kekuasaan,” papar Bisma.

Bisma yakin banyak jalan untuk bisa mengelola sumber daya alam agar bisa bermanfaat untuk masa depan negara ini, hanya saja pemerintah tidak pernah punya keinginan untuk memikirkan dan melakukannya.

Pembicara yang lain, Harris Aufa dari Unsil Tasikmalaya menyatakan bahwa korupsi telah  menghasilkan disparitas ekonomi. Tumbuh suburnya korupsi disebabkan oleh adanya sikap permisif terhadap budaya korupsi. Harris mencontohkan adanya sekelompok mahasiswa yang menyambut koruptor saat keluar dari penjara.  Padahal seharusnya mahasiswa bisa menjadi penggerak untuk memberikan hukuman sosial terhadap koruptor sehingga budaya permisif terhadap korupsi ini bisa diminimalisir.

Apa yang harus dilakukan mahasiswa? Harris mengajak para mahasiswa agar bisa memastikan proses politik kita bersih. “Saya merasa pemerintah kita bukan para pemikir, tapi pedagang. Siapapun mereka yang bermental pedagang, jangan dipilih lagi. Mahasiswa harus memiliki kesadaran, kritis, bagaimana memunculkan sense of crisis di tengah mahasiswa,” tegasnya.

Andito dari Universitas Gunung Jati Cirebon mengajak mahasiswa dan rakyat Indonesia untuk melakukan perubahan secara tegas. “Kita harus lakukan revolusi besar-besaran, yang paling radikal sekalipun. Semakin saya baca data tentang korupsi, saya semakin pesimistis dengan kondisi hari ini,” katanya geram.

Dalam teorinya tentang Separation of Power, kata Andito, John Locke membagi lembaga negara berdasarkan tupoksi seperti trias politika. Akan tapi hari ini konsep ini menjadi sebuah sistem untuk mendorong perselingkuhan antar unsur kekuasaan.  Ia mencontohkan Hakim Konstitusi, yang 3 dari Presiden, dan yang 3 lagi dari DPR. Hal ini memberikan makna bahwa masih ada campur tangan dari unsur kekuasaan.

Andito meyakini pemerintahan yang baik lahir dari sistem yang baik. Jika hari ini pemerintah buruk lahir, maka hal itu hasil dari sistem yang buruk.

Apa yang harus dilakukan? Andito mengajak pelaku politik untuk memberikan pendidikan politik yang benar pada masyarakat karena partai politik justru memberikan contoh pendidikan politik yang buruk.

“Jangan pesimistis, karena langkah kecil adalah awal perubahan besar. Kemenangan kecil juga awal dari kemenangan besar,” tegasnya.

Intan dari Universitas Negeri Jakarta menghadirkan Data World Bank 2017, bahwa 40 persen lapangan kerja bergantung pada industri sumber daya alam. Sementara industri sumber daya alam kita dikuasai oleh oligarki politik. Penguasaan ini terjadi lantaran para politisi butuh biaya mahal dalam pemilu, sehingga kebijakan ujungnya didominasi oleh kepentingan pihak yang memiliki uang.

“Banyak perusahaan yang mendominasi sektor-sektor sumber daya alam misalnya Sinar Mas Group yang bahkan ada peningkatan lebih besar dari pada masa Orde Baru.

Ginola Muhammad Safier dari Universitas Negeri Jakarta prihatin melihat indeks korupsi Indonesia anjlok pada peringkat 34 yang juga berdampak pada persoalan HAM dan demokrasi. Ginola menyarankan mahasiswa harus bisa menerapkan budaya intelektual yang bisa dimulai dengan membaca, menulis, diskusi dan melakukan riset.

Pada sesi tanya jawab banyak pertanyaan yang diajukan peserta diskusi, di antaranya Fadil dari Yuppentek mempertanyakan apakah kini saatnya mengganti sistem pemerintahan kita. Kumara (Yuppentek) mempertanyakan bagaimana teman-teman mengartikan Tri Darma Perguruan Tinggi tentang pengabdian masyarakat? Lalu Nadia dari UNJ mengaskan akar korupsi bukan hanya karena pendidikan politik tapi juga pendidikan formal. Selama 100 tahun Indonesia juga berbarengan dengan angka emas karena bonus demografi, akan tetapi tidak terlihat upaya pemerintah untuk menyikapi bonus demografi.

Memed dari Polban mempertanyakan bagaimana pandangan teman-teman terhadap mimbar kebebasan akademik? Sementara Agia dari Yuppentek menanyakan bagaimana menanggapi intimidasi di internal dan eksternal kampus ketika bergerak? Aji dari UGJ Cirebon menanyakan bagaimana pandangan temen-temen terkait kondisi gerakan mahasiswa hari ini? Faisal Mazin dari Unsil mempertanyakan maraknya alih fungsi lahan yang menjadi awal korupsi dan pembangunan infrastruktur. Grediasyah dari Unsil menanyakan soal kajian Greenpeace dan Indef tentang kapitalisme kroni.

Menjawab pertanyaan peserta diskusi, Harris Aufa dari Unsil, Tasikmalaya menegskana bahwa permasalahannya bukan pada sistem, tapi yang menjalankannya. Demokrasi hanya berjalan secara prosedural. Demonstrasi sebagai pengabdian, bukan langkah berkelanjutan, bukan mereka yang punya watak konfrontatif. Setiap kelompok mahasiswa harus bisa melakukan perubahan dari masing-masing level yang mereka mampu.

Poin penting yang gagal dipahami oleh Menteri Pendidikan kata Harris bahwa pendidikan adalah kebebasan. Paradigma ini kata Harrus tidak akan bisa terwujud.

Sementara Bisma menegaskan bahwa permasalahan-permasalahan yang dibahas ini karena proses poltik yang tidak benar. “Hari ini pendidikan hanya diarahkan sebagai orang-orang yang mengisi pos-pos pekerjaan. Harusnya orangnnya yang merdeka bukan kampusnya yang merdeka. Bagaimana kita bisa mencerdaskan orang-orang di luar kampus, sementara mimbar kebebasan akademik kita diberangus?,” tegasnya.

Bisma melihat sudah banyak konsensus global, akan tetapi tidak pernah diratifikasi dan diimplementasikan. Keikutsertaan Indonesia dalam konsensus-konsensus tersebut hanya jadi alat untuk pencitraan dalam politik luar negeri Indonesia.

“Hari ini demokrasi hanya digunakan sebagai citra tapi di dalamnya terdapat konsentrasi kekuasaan yang monopolistik dan eksploitatif,” papara Bisma.

Andito dari UGJ Cirebon memaparkan kampus seharusnya menjadi ujung tombak untuk melahirkan gagasan dan konsep-konsep baru. Andito menyarankan para poltisi seharusnya belajar dari akademisi di kampus, akan  tetapi anehnya hari ini kampus justru ditekan oleh penguasa.

“Jika bicara pencerdasan, kita tidak bisa bicara tentang mahasiswa saja. Selama 12 tahun pendidikan sebelum masuk pendidikan tinggi, kita tidak pernah diajarkan untuk bersikap kritis. Tapi ketika di kampus kita dituntut untuk kritis, ini artinya perlu sebuah determinasi dari bawah,” tegasnya.

Bicara tentang intimidasi, Bisma mengajak harus ada konsolidasi dan partisipasi masyarakat. “Artinya kita harus pupuk kesadaran dulu pada masyarakat, animo untuk bersama-sama meruntuhkan tembok besar seperti kampus dan penguasa,” tegas Bisma.

Sulitnya melalukan perubahan menurut Ginola dari UNJ Jakarta lantaran demokrasi kita tidak partisipatif. “Pendidikan orientasinya untuk menjadikan mahasiswa robot, bukan pemikir,”pungkasnya. (sws).

503

Related Post