Membaca Pikiran Sukarno tentang Komunisme

Oleh Joko Sumpeno, Pemerhati Sejarah dan Hukum

 

Presiden Sukarno dalam bukunya berjudul  "Di bawah Bendera Revolusi" berkata sebagai berikut:

"... maka, walaupun sosialisme atau komunisme itu diperangi sehaibat-haibatnja atau ditindas sekeras-kerasnja, walaupun pengikut-pengikutnja dibui, dibuang, digantung, didrel atau dibagaimanakan djuga: walaupun oleh penindasan jang keras dan pemerangan jang haibat ia kadang-kadang seolah-olah bisa binasa dan tersapu sama sekali, maka tiada henti-hentinjalah ia muntjul lagi dan muntjul lagi dinegeri jang kapitalistis, tiada henti-hentinjalah ia membikin gemparnja kaum jang dimusuhinja, menjatakan diri didalam riwajat dunia, sebagai ditahun 1848, ditahun 1871, ditahun 1905 dan ditahun 1917, — tiada henti-hentinja ia memperingatkan djurus riwajat jang menulis tambonja negeri-negeri Perantjis, Djerman, Inggeris, Rusia, Amerika, dan lain-lain negeri kapitalistis didalam abad kesembilanbelas dan abad kedua puluh, bahwa riwajat dunia-kapitalistis, tak dapatlah tertulis djikalau riwajat itu tidak dihubungkan dengan riwajatnja dan pengaruhnja pergerakan sosialisme atau komunisme tahadi. Selama kapitalisme sendiri belum lenjap, selama sumber-asalnja sosialisme atau komunisme sendiri masih mengalir, selama aturan jang memeras tenaga dan kehidupan kaum buruh itu belum berhenti, maka ..." 

Begitulah Bung Karno meyakini paham komunisme adalah sebagai kenyataan pilar perlawanan terhadap penjajahan kolonialis Belanda di tanah Hindia Belanda pada dua dekade abad XX.

Namun ketika Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang didahului dengan Sidang-sidang BPUPKI sejak 29  Mei sampai dengan 16 Juli 1945 dilanjutkan oleh PPKI 10-19 Agustus 1945, jelas tak ada peran PKI.

Mantan Ketua PKI 1926, Tan Malaka yang telah berubah menjadi pemimpin nasionalis yang sekaligus komunis,  melalui gerilya politik  oleh kaki tangannya seperti Sukarni, Chairul Saleh , Wikana dan beberapa pemuda Menteng 31 Jakarta menolak hasil kerja BPUPKI dan PPKI, disebabkan itu merupakan proses dan hasil dari kaum fasis dan pengikutnya.

Maka dari itu, datanglah Muso sejak Agustus 1948 dengan bersatunya kaum komunis Indonesia memberontak dan mendeklarasikan Negara Soviet di Madiun.

Pasca kericuhan politik sepanjang 1950-1959, maka Bung Karno melahirkan konsep Nasakom atas obsesinya Persatuan Nasional dengan memberikan ruang bergerak bagi kekuatan kiri, khususnya bagi PKI . Bung Karno selalu mendorong agar PKI  diterima oleh kaum Nasionalis dan Agama ke dalam  Kabinet.

Namun partai-partai Islam (Masyumi, NU dan PSII ....Perti diam saja) menolaknya, juga PNI terpaksa enggan menerima PKI.

Bagi kekuatan Islam politik, PKI hanya berpura-pura menerima Pancasila.

40

Related Post