Menutup Masjid?

Oleh Prof. Daniel Mohammad Rosyid

Jakarta, FNN - Dalam PPKM Darurat yang mulai berlaku 3-20 Juli 2021 salah satu arahannya adalah penutupan tempat-tempat ibadah, termasuk masjid. Hemat saya, arahan ini tidak saja keliru tapi juga keji dan tidak konstitusional. Pandangan pragmatis sekuler kiri telah menempatkan tempat ibadah sebagai sektor yang tidak esensial. Bagi saya penutupan masjid adalah maladministrasi publik dengan menggunakan pandemisasi covid-19 sebagai weapon of mass deception.

Lalu apa yang esensial ? Bisnis ? Bisnis besar obat dan vaksin ? Ini adalah pandangan yang menyesatkan dan berbahaya. Setelah sektor pendidikan ditutup, kini masjid juga ditutup. Defisit pendidikan selama setahun lebih yang sudah menggunung setinggi hutang akan ditambah dengan defisit moral spiritual. Bagi saya ini tidak bisa diterima. Para pendiri bangsa mengamanahkan bahwa bangsa ini pertama harus dibangun jiwanya, baru kemudian badannya. Jiwa atau mental lebih esensial daripada jasmani. Revolusi mental yang pernah bergaung keras kini tidak terdengar lagi. Apakah dulu sekedar Lips Service?

Sejak amandemen UUD1945 yang menjungkirbalikkan dasar-dasar kita bernegara menjadi semakin liberal kapitalistik, masyarakat banyak semakin ditempatkan dalam dua posisi nyaris tanpa pilihan: konsumen dan buruh. Hakekatnya kedua posisi yang dipaksakan itu adalah perbudakan terselubung. Tidak saja konsumen dan buruh dari perspektif ekonomi, tapi juga politik. Baik politik dan ekonomi kini dimonopoli oleh oligarki elite parpol yang didukung para taipan. Ini harus dihentikan secara ekstra konstitusional. Pemilu 2024 hanya akan menjadi instrumen legalisasi net transfer hak politik dan ekonomi rakyat pemilih pada elite parpol dukungan para taipan. No more no less.

Liberalisasi pasar pendidikan dan kesehatan sejak reformasi telah menempatkan masyarakat banyak hanya sebagai konsumen persekolahan dan layanan kesehatan. Masyarakat menjadi makin tergantung pada persekolahan juga klinik, puskesmas dan rumah sakit. Gaya hidup masyarakat banyak makin buruk yang menyebabkan comorbid menyebar luas ke berbagai kelas masyarakat. Pendekatan layanan kesehatan jang makin kuratif ini makin mahal dan unsustainable. Masyarakat makin mudah dipermainkan oleh industri obat dan vaksin global dengan kapitalisasi ratusan jika bukan ribuan Triliun Rupiah.

Mengatakan bahwa pasar adalah sektor esensial sementara masjid tidak sama saja dengan mengatakan bahwa saudara boleh makmur, kufur nggak masalah. Ini penghinaan atas sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Hanya kaum penyembah berhala ekonomi yang bisa menerima arahan agar masjid ditutup. Islam mengutamakan sholat berjamaah di masjid, terutama bagi laki-laki. Sholat adalah teknologi pertahanan iman agar tidak berbuat maksiat dan mungkar. Masjid adalah institusi yang mengemban pembangunan ketahanan masyarakat secara multi-ranah, multi-cerdas. Menutupnya adalah keliru.

Konstitusi masih menjamin bahwa setiap warga negara dapat dengan bebas melaksanakan keyakinannya tanpa mengganggu ummat agama yang lain. Penutupan sekolah dan kampus saja sulit bisa diterima, apalagi masjid. Kebijakan ini terbaca sebagai kelanjutan dari narasi bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Ini adalah agenda kelompok sekuler kiri radikal yang kini bersembunyi di balik kekuasaan.

Dari perspektif peningkatan imunitas sebagai strategi paling efektif dalam melawan Covid-19 ini, maka penutupan masjid adalah counter-productive Memang covid-19 faktual. Namun respon kita terhadapnya adalah pilihan strategi. Jiwa yang tenang yang tumbuh dari kedekatan pada Allah adalah kunci mental dalam menghadapi teror pandemisasi covid-19 ini. Mereka yg mampu mengelola stress akibat teror biologis ini akan memenangkan mental game ini.

Menutup masjid adalah perampasan kebebasan sipil sekaligus sikap ingkar atas berkat dan rahmat Allah yang menjadi dasar bagi keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Maladministrasi publik ini tidak bisa diterima.

Jatingaleh, 4/7/2021

465

Related Post