Penjarakan Jokowi dan Aguan karena Kolusi
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan
ADANYA Permenko Airlangga No 6 tahun 2024 menandai adanya kolusi antara Jokowi melalui Airlangga dengan Aguan. Aguan diuntungkan dengan pemberian status PSN di Kawasan Wisata. Status ini disalahgunakan Aguan untuk memperluas cakupan. Status PSN PIK 2 juga "barter" Aguan dengan Jokowi dalam proyek IKN Penajam Kaltim.
Kolusi itu perbuatan pidana sebagaimana ketentuan UU No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN Pasal 21 yang berbunyi :
"Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)".
Menurut Pasal 5 angka 4 Penyelenggara Negara berkewajiban untuk "tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme".
Sangat jelas bahwa kolusi adalah perbuatan pidana di samping korupsi dan nepotisme. Baik pejabat Daerah maupun Presiden Jokowi disinyalir telah melakukan kolusi dengan Aguan pemilik perusahaan pengembang PIK-2.
Pemeriksaan tidak boleh dibatasi pada pelanggaran atas pembuatan pagar laut saja tetapi yang terpenting adalah skandal besar PSN PIK-2 itu sendiri.
Menteri KKP dalam Rapat dengan Komisi IV DPR menyatakan akan melakukan proses lanjutan dengan membawa para penanggungjawab pembuatan pagar laut ke ranah pidana umum. Untuk tahap awal hal itu bagus saja, tapi kasus yang berkaitan dengan pagar laut bukan semata pagar, ada agenda besar yang harus dibongkar lebih jauh.
Ranah fundamentalnya adalah pidana khusus dengan dugaan yang kompleks. Ada korupsi, kolusi bahkan subversi. Untuk kolusi sangat dimungkinkan dilakukan oleh dua pengusaha dan penguasa yaitu Jokowi dan Aguan. Kolusi keduanya patut untuk diselidiki secara mendalam. KPK atau Kepolisian tidak boleh diam saja. Apalagi pura-pura tidak tahu menahu.
Selama proses pemeriksaan Jokowi dan Aguan harus ditangkap dan ditahan. Ancaman penjara maksimal 12 (dua belas) tahun cukup menjadi alasan untuk melakukan penahanan. Ketika keduanya bermain-main hingga ke laut maka risiko permainan adalah tenggelam.
Seorang Guru Besar UNPAD bercanda soal pagar laut. Menurutnya Fir'aun saja yang mengklaim dirinya Tuhan tidak berani mengkapling-kapling laut. Itupun akhirnya tenggelam di laut. Ini para penjahat di darat mencoba untuk menguasai laut, mereka sangat rakus walau telah banyak memakan tanah di darat. Maka sebelum Tuhan bertindak, tugas kita untuk menenggelamkannya.
Aksi-aksi cabut PSN dan batalkan PIK-2 harus sampai pada terawangan kolusi Jokowi dan Aguan. Pembuktian kolusi lebih mudah bagi penyidik dibandingkan dengan korupsi. Sayang fokus kasus yang diperiksa biasanya hanya pada korupsi saja, padahal kolusi, dan nepotisme, merupakan kejahatan sistematis yang lebih nyata.
Mengungkap korupsi modal utamanya adalah membongkar kolusi, meskipun kolusi merupakan kejahatan tersendiri yang mungkin tidak terkait korupsi.
Membongkar skandal PIK 2 dengan pagar lautnya tanpa menyusur kolusi antara Jokowi dan Aguan maka itu akan menjadi hiburan dan sandiwara belaka.
Dengan membereskan kolusi Jokowi dan Aguan, maka akan beres pula masalah ikutannya.
Pagar laut itu hanya komplemen bukan elementer. (*)
untuk menahan.