Prof. Sri Margono: Tujuan Konservasi Hanya “Lip Service”!

Hersubeno Arief dan Prof. Sri Margono.

TAYANGAN kanal Hersubeno Point, Kamis (9/6/2022), yang dipandu wartawan senior FNN Hersubeno Arief kali ini menyoroti rencana kenaikan tarif masuk ke Candi Borobudur, yang disampaikan oleh Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan yang kemudian ditunda tahun depan, setelah diprotes.

Bersama dengan sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta Prof. Sri Margana (Jawa: Margono), Hersubeno Arief membahasnya. Berikut petikannya.   

Anda pasti juga sempat kaget, ketika Pak Luhut menyampaikan rencana untuk menaikkan tarif masuk ke Borobudur 750 ribu dan untuk turis asing 100 US Dollar, berarti hampir 1,5 juta.

Dan, ribut-ribut ini membuat Pemerintah kendor karena Pak Luhut dan Ganjar (Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah) menyatakan sementara ditunda kenaikan.

Saya lebih terkejut lagi ketika membaca komentar dari seorang Guru Besar Ilmu Sejarah di Universitas Gajah Mada Profesor Sri Margono yang menyatakan, ini tidak ada hubungannya dengan konsekuensi. Tapi, ini lebih pada urusannya untuk menggaet investor.

Saya akan mengajak Anda langsung ngobrol dengan Profesor Sri Margono.

Sebetulnya gak semata-mata menggaet investor. Jadi, ada 2 kepentingan yang membuat pemerintah tampaknya dilema. Yang pertama, peringatan UNESCO.

Unesco sudah mengingatkan kepada pengelola Candi Borobudur bahwa Candi ini umurnya sudah lebih dari 1000 tahun dan sudah tidak mampu lagi untuk menampung ribuan orang pengunjung yang naik ke bagan Candi.

Bayangkan saja kalau setiap hari itu rata-rata 11.000 pengunjung, itu jumlah yang luar biasa. Belum lagi kalau menghadapi perilaku pengunjung yang tidak ramah dengan situs.

Umumnya kalau kita lihat perilaku mereka itu justru merusak. Dari penelitian dan analisis para ahli akeologi, itu menunjukkan sebetulnya Borobudur itu dalam waktu yang sama hanya mampu menahan antara 100-200 orang.

Itu maksimal dalam waktu yang bersamaan, selama ini setiap harinya rata-rata ada 11.000 orang walaupun dalam waktu tidak bersamaan. Tapi, 11.000 orang itu kalau dirata-rata melebihi kemampuan Borobudur yang sudah tua untuk menahannya.

Itu dibuktikan sekarang ini tanah atau yang menjadi dasar dari bangunan Candi ini sudah ambles menurun dan juga kemarin ada aksi-aksi fandalisme dari pengunjung yang justru merusak situs, sehingga diperingatkan agar kuota Borobudur ini dibatasi demi keselamatan situsnya, tapi juga demi keselamatan para pengunjung itu sendiri.

Jadi, di satu sisi ada tuntutan ini dari Unesco, sehingga pemerintah mencoba untuk memutuskan meresponnya dengan mengurangi kuota yang kemarin disebutkan seharinya hanya 1.200 orang.

Tapi, itu maksudnya adalah yang bisa naik Candi. Artinya yang bisa masuk lebih dari itu, tapi yang bisa naik ke badan candi hanya 1.200 orang itu. Ini kepentingan yang pertama untuk menyelamatkan situs.

Tapi, kepentingan yang lainnya adalah seperti mungkin tidak terlalu banyak diikuti oleh publik bahwa mulai tahun 2018 Pemerintah sudah membentuk Badan Otorita Borobudur, yaitu suatu badan yang dipakai untuk mengelola seperti Danau Toba.

Untuk mengelola kawasan hightland Borobudur itu menjadi kawasan wisata premium, jadi khususmya Pegunungan Menoreh dari Kabupaten Purworejo Sangiang membentang sampai Kulonprogo, dan nanti sampai Magelang itu akan dijadikan kawasan wisata premium.

Kata premium ini mengandung konotasi sudah eksklusif dan mahal. Kalau saya melihat situs-situsnya BOB dan Instagramnya, mereka sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan agar ada investor yang masuk membangun itu.

Jadi di kawasan ini yang umumnya wilayah Perhutani akan dikembangkan hotel-hotel, wisata-wisata yang hipotorizem. Kemudian, wisata restoran baru, sehingga membutuhkan investor-investor yang banyak.

Masih ada lagi yang lain. Semua itu dimaksudkan karena ada Badan Otorita Borobudur ini jyang akan dimasukkan status BLU, Badan Pelayanan Umum.

Artinya, dengan merubah statusnya menjadi BLU itu dana-dana pemasukan pemerintah yang nonpraja nanti bisa digunakan membiayai kepentingan-kepentingan, pengeluaran-pengeluaran yang tidak bisa diprediksi.

Artinya, tampaknya Pemerintah ini, mungkin beban pajak untuk APBN sudah terlalu tinggi, jadi ingin ada pembiayaan-pembiayaan yang di luar prediksi itu dibiayai non pajak. Salah satunya sektor parawisata yang sangat menjanjikan penghasilannya, apalagi wilayah Borobudur di sini kaitannya di satu sisi ingin melindungi situs, di sisi lain juga ada kepentingan menghasilkan dana yang besar untuk kepentingan.

Apa yang Anda khawatirkan kalau kawasan itu diubah menjadi kawasan Premium?

Pertama, menjadi sangat eksklusif, mungkin yang bisa menjangkau itu hanya kelas menengah ke atas. Kedua, dampak terhadap lingkungan juga tinggi. Beberapa penduduk di sekitar Candi itu sudah mulai merasa mengeluhkan dengan banyaknya hotel itu, kualitas air juga akan berkurang.

Kemudian juga guesthouse-guesthouse yang dikembangkan masyarakat sekitar untuk para turis itu nanti akan tersaingi oleh investor-investor besar termasuk restoran-restoran. Dan juga biasanya kalau punya restoran besar atau hotel itu mereka menjual merchandise-merchandise atau sovenir-sovenir yang juga diusahakan oleh penduduk lokal di sana.

Ini mungkin akan tersaingi. Otomatis para wisatawan yang datang ke sana itu ingin mencari tempat yang lebih nyaman, yang lebih prestise dibanding harus berjubel-jubel saat memasuki kios-kiosnya sovenir yang ada di Borobudur itu.

Kemudian ada dampaknya yang lain adalah akan diadakannya mobil listrik untuk operasional Candi Borobudur dari tempat parkir itu menuju ke Loket. Padahal warga mengandalkan dokar yang juga ramah lingkungan. Tujuannya untuk menyelamatkan lingkungan.

Jadi ada kekhawatiran-kekhawatiran seperti ini. Lagi pula saya agak ragu nanti kalau investornya datang dari sekitar Jogja atau orang Magelang atau Purworejo. Saya yakin pasti datang dari luar daerah ini, sehingga nantinya walaupun di situ berkembang begitu pesat fasilitas wisata, saya kira penikmat terbesar adalah investor.

Jadi satu sisi ini semacam ada parade atau tabrakan kepentingan konservasi reservasi dan kemudian dengan kepentingan kapital. Sementara kapitalisme ini sifatnya, dia eksploitatif. Ok, jadi yang Anda bayangkan harusnya seperti apa?

Di satu sisi sehingga Borobudur bisa menjadi satu situs kebanggaan Bangsa warisan Dunia bisa tetap kita jaga dengan lestari. Terus bagaimana juga bisa pemerintah tetap membiayai itu dan memberikan manfaat kepada masyarakat dan juga tentang alam sekitarnya, ini yang bisa kita jaga.

Ya ini pertanyaan yang bagus, sekaligus juga usulan untuk pemerintah kalau masalah kondisi Candi Borobudur itu harus diutamakan karena ini situs yang sangat luar biasa dan memiliki kandungan ilmu pengetahuan yang luar biasa, menjadi kebanggaan nasional. Bahkan sudah ditetapkan menjadi sebagai wild ferifix. Jadi, sudah seharusnya kita bertanggung jawab untuk menjaganya dengan baik.

Kalau memang analisis para ahli, ikuti saja analisis para ahli ini. Kalau ahli mengatakan tidak boleh lebih dari 100 atau 200 orang naik ke bagan candi dalam waktu yang sama, kita ikuti saja.

Karena ini berdasarkan penelitian, saya menyarankan agar wisatawan tidak perlu naik Candi Borobudur, sebagaimana naik bagan candi seperti yang dilakukan di Prambanan. Wisatawan sudah dibatasi banget untuk naik ke bagan Candi, karena memang rawan gempa. Kemudian juga tidak mampu menahan beban pengunjung. Sebaliknya juga mengurangi vandalisme para pengunjung itu.

Jadi harapan, saya preservasi ini diutamakan, kemudian konservasi. Jadi ada 2 kepentingan. Kepentingan preservasi dan konservasi.

Kalau presenvasi itu menjaga agar situs ini tetap terawat agar tidak rusak dan mencegah dari kerusakan. Kalau konservasi itu memang mengelola supaya kawasan ini bisa bermanfaat.

Yang pertama, konservasi harus membuat wilayah ini menjadi wilayah yang aman. Aman dalam pengertian situs dan aman untuk pengunjung. Kedua, bermanfaat secara sosial, budaya, ilmu pengetahuan, sebagai tujuan dari pendidikan dan wisata religius dan sebagainya. Syukur-syukur kawasan ini bisa dikelola dan menyejahterakan ekonomi rakyat setempat. Tapi konservasi ini harus didasarkan pada preservasi yang diutamakan.

Jadi, preservasi dulu, baru konservasiya. Kalau Candi itu situsnya rusak mau kita kelola sebaik mungkin akan tetap tidak bermanfaat.

Orang itu ke sana karena Borobudurnya, bukan karena tempat-tempat lain?

Ya karena Borobudurnya dan yang mungkin agak dilupakan oleh pemerintah yang ingin saya tekankan selama ini adalah Borobudur hanya dieksploitasi, dikampanyekan sebagai destinasi wisata, akan dijadikan wisata premium. Itu kemudian melupakan fungsi candi Borobudur itu sendiri.

Borobudur sebenarnya tempat beribadah saudara-saudara kita yang beragama Budha. Itu dalam waktu setahun atau setiap harinya, tidak ada waktu khusus yang diperuntukkan bagi umat Budha bisa beribadah, seperti misalnya umat Islam beribabadah, atau umat Kristen.

Umat Budha hanya tunggu hari besar saja, boleh masuk. Padahal kepentingan beribadah itu tidak hanya pas hari besar. Saya membayangkan pemerintah itu memperhatikan fungsi asli Borobudur untuk beribadah saja, sehingga dalam waktu seminggu itu ada waktu sehari untuk memberikan kesempatan pada masyarakat yang beragama Budha untuk beribadah.

Muncul keluhan seperti itu?

Ya ada keluhan-keluhan seperti itu, terus kapan kami bisa beribadah, apalagi melihat perilaku pengunjung itu. Misalnya, orang masuk masjid tidak boleh dong pake sendal, pasti lepaskan.

Orang naik Borobudur bisa pakai sepatu cekak, bisa pakai uang kotor selain membuat erusi batu-batu yang sudah ribuan tahun itu juga bisa membuat kerusakan pada Candi dan lain sebagainya.

Inikan sengaja. Seandainya satu hari saja dalam seminggunya itu diberi kesempatan gak harus fullday-lah. Mungkin dari pagi sampai siang atau dari siang sampai sore, itu memberi waktu khusus untuk umat Budha beribadah. Itu sudah sangat luar biasa aturan-aturan ini, tidak hanya aturan ketidak-masukan preservasi atau menjaga situs saja, tapi juga aturan-aturan etika.

Tempat ibadah saya membayangkan itu bisa loh kita misalkan ambilnya negara karena tempat ibadah misalnya Bluemosque di Istanbul gitu yah. Itu bagaimana bisa menjadi destinasi wisata yang diandalkan oleh pemerintah Istanbul, tapi di satu sisi ritualnya masih bisa terus berjalan dengan bagus, bahkan kalau orang Islam sampai 5 kali sehari, kan gitu.

Ya benar, saya ingin konsep konservasi ini juga memperhatikan fungsi Candi yang benar fungsi situs ini yang aslinya gitu, yang mendasar.

Untung anda mengingatkan bahwa ini masih ada perang karena memang selama ini di dalam benak kita semua, saya kira masyarakat menganggap itu sebagai tempat wisata biasa saja, bahwa itu mesti diingatkan itu tempat yang religius gitu yah.

Ya selama ini kan waktu itu sudah ada upaya, misalkan orang yang naik itu harus dibungkus kain. Dililitkan di badan, itu untuk turis-turis yang pakai sofand atau sebagainya, bisa sopan.

Tapi, kali ini kebutuhan Candi tidak sekedar etika, religius saja tapi juga etika preservasi. Jadi, menurut saya hal terbaik adalah tidak perlu naik ke badan Candi. Mungkin ada baiknya Pemerintah betul-betul menghentikan sejenak. Seharusnya saat pandemi itu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk penelitian, meneliti kondisi fisik Borobudur itu seperti apa?

Ahli-ahli arkeologi dan bangunan itu benar-benar dikerahkan untuk meneliti, kalau ada sesuatu yang sangat krusial dalam hal keselamatan Candi ini bisa dilakukan tindakan-tindakan, sehingga bisa menyelamatkan Candi dan juga para pengunjung.

Jadi, saya sarankan itu lakukanlah penelitian yang serius yang sangat akurat. Kemudian diumumkan kepada masyarakat tentang kondisi tersebut. Saya kira masyarakat mengerti, akan menaati kalau tidak boleh naik Candi, tidak apa-apa.

Sekarang di Borobudur itu sudah ada. Itu nonton film-film yang menjelaskan. Bagi para pengunjung yang memiliki minat khusus untuk ilmu pengetahuan, untuk riset, untuk pendidikan dan segalanya itu bisa masuk ke sini.

Jadi pengelola bisa mengembangkan sebuah dokumentasi yang komperehensif dari sisi arsitektural, dari sisi filosofi, dari sisi keagamaan, dari sisi sejarahnya dan dari sisi konferehensi sejak ditemukan hingga diubah bentuknya seperti yang sekarang ini.

Itu saya kira kalau mereka memiliki pemahaman yang begitu detail mengenai ini nanti kebutuhan naik ke badan Candi itu bisa diatur sedemikian rupa.

Ini gagasan menarik, apalagi dengan teknologi digital yang luar biasa ini yah. Artinya kalau teknologinya benar dikelola dengan benar, tanpa naik ke Candi pun kita akan punya pengalaman yang sama, cuma tetap, hanya tidak melihat di depan mata.

Tetapi kalau saya membaca sebelum membaca berita yang Anda tulis sebelum mengutip Anda dengan membayangkan akan mengembangkan wisata yang premium, saya kira kekhawatiran Anda tidak berlebihan kalau dengan konsep itu. Agak beratlah saya kira kalau mengandalkan pengusaha-pengusaha lokal dan yang akan masuk itu adalah pemodal-pemodal besar yang biasanya kalau pemodal besar kan eksploitatif dong.

Ya betul. Kalau sekarang ini kita lihat berkembang itu sekitar pegunungan Monora. Itu kan muncul inisiatif-inisiatif lokal, pengusaha-pengusaha lokal yang mengusahakan tempat-tempat wisata alternatif di bukit-bukit Nora itu, dan cafe-cafe semuanya dikelola oleh masyarakat setempat, walaupun ya ada sebagian besar dari luar Jogja.

Tapi saya melihat ini lebih inisiatif ke lokal, sehingga ekonomi rakyat memang berkembang dari bawah, bukan didatangi dari luar Jogja. Ini, bahkan saya membayangkan, pasti nanti juga fasilitas ini diberikan prioritas diberikan juga investor luar negeri pun, akan tertarik datang seperti yang di Bali itu. Banyak hotel-hotel premium di Bali itu investornya asing ini yang mungkin sedikit banyak dipertimbangkan pemerintah untuk lebih memperhatikan ekonomi rakyat setempat.

Kita balik lagi ke soal yang memicu perdebatan ini adalah menaikkan tarif itu. Jadi menurut Anda, Anda bisa pastikan bahwa ini tidak akan efektif atau ada kekhawatiran apa soal kenaikan tarif ini.

Saya bilang ini akal-akalan, begitu. Maksud saya gini, atau juga ugal-ugalan. Istilahnya akal-akalan saja lah kalau pemerintah ingin merespon warning dari Unesco, Ok dibatasi.

Tapi pada saat yang sama tidak ikhlas kalau pemasukannya berkurang. Jadi mau gak mau, karena hanya dibatasi 1.200 orang, maka tarifnya dinaikkan supaya penghasilan tetap. Nah ini gak fair kalau harus ditanggung rakyat lagi.

Juga ini akan sangat segergatif, karena nanti Borobudur akan jadi panggung pertunjukan antara orang yang berduit dan tidak berduit. Bayangkan kalau Mas Arief datang ke sana bersama saya, kemudian saya punya 750.000 bisa naik, tapi Mas Arief cuma mampu bayar 50.000.

Kemudian bye-bye Mas Arief, Anda cukup di bawah saja, saya yang ke atas bersama 1.200 orang yang lain. Ini jadi panggung pertunjukkan orang-orang berduit. Itu rasa keadilannya tidak ada dan juga gak ada jaminan toh kalau orang beduit itu perilakunya lebih baik dari pada yang tidak berduit bisa lebih menjaga situs dan sebagainya.

Jadi, ini kebijakan yang perlu dipertimbangkan. Jangan sampai nantinya Borobudur hanya menjadi pertunjukan perbedaan kelas sosial yang tinggi akan dipertontokan pada dunia itu.

Padahal kan sebenarnya selain wisata, ini ada fungsi-fungsi edukasi, itu yang sebenarnya tidak kalah pentingnya bagi publik kita.

Lagi pula angka 750 itu sama sekali pemerintah tidak bisa menjelaskan dan setiap pejabat sepertinya beda-beda pendapat. Kemarin saya live di sebuah acara pengelola TV itu mengatakan bahwa 750 itu untuk mereka yang naik ke badan Candi.

Kemudian pejabat dari Jakarta, Dirjen Kebudayaan menjelaskan, nanti akan ada atraksi-atraksi lain selain Candinya itu sendiri supaya masyarakat punya alternatif tidak hanya naik ke badan Candi saja. Ini kan 2 hal yang berbeda. Ya benar untuk naiknya atau untuk atraksi yang lain seperti itu.

Dan ada satu lagi yang, menurut saya, tidak proper ketika disebutkan kita sudah mulai merintis Borobudur ini sebagai pusat atraksi-atraksi, misalnya pertunjukan musik jazz atau festival-festival rock atau musik yang lain.

Nah ini Ok lah, kan banyak tempat untuk musik jazz rock dan sebagainya. Ini kan Candi, tempat suci kok otak festivalnya di situ. Kalau di Prambanan ada Candi tempat keramaian. Itu match, ya itu seratai yang menggambarkan mengapa Candi itu dibuat match dan itu seni tradisional kita yang luar biasa.

Nah ini Borobudur mau dipakai untuk festival jazz. Ini mestinya kebudayaan yang dicari bentuk-bentuk festival lain yang relevan. Misalnya, wayang kulit atau tari-tari tradisional dan sebagainya. Itu lebih relevan daripada ini kayak menghina saudara-saudara kita yang beragama Budha itu.

Ok jadi saya membayangkan kalau di Jogja 750 itu kita bisa mengajak, saya seneng Anda memberikan ilustrasi. Kalau yang bisa naik itu Anda dan saya tidak, karena itu suatu penggambaran yang khas jadi strong recomendation anda apa dengan situasi ini karena ini hanya ditunda, bukan dibatalkan untuk kenaikan tarif itu?

Pemerintah harus bisa menjelaskan sampai ke jumlah itu untuk apa? Kalau hanya sekedar untuk pengganti tiket, yang hilang itu yang biasanya 11.000 orang sekarang hanya 1.200 orang, itu gak fair.

Dan di sini artinya apa tujuan konservasi, itu hanya lip service saja, hanya dalih bahwa tujuan konservasi dibatasi. Jadi, ini membatasinya dengan memaksa membayar.

Menurut saya, itu cara-cara kolonial yang tidak bijak, semuanya dibebankan kepada rakyat sendiri yang harus ditanggung pengelola. Rakyat yang harus memikulnya. Dan itu kurang budi.

Saya senang, ini menteri Pak Luhut dan menteri Sandiaga Uno merespon Pak Ganjar (Ganjar Pranowo) juga untuk menunda. Harapan saya tidak hanya menunda saja. Logika saya gini, kalau kita masuk candi sekarang ini 50.000 dan bisa naik ke badan Candi, sekarang tidak boleh lagi otomatis objek yang bisa dinikmati pengunjung.

Ini berkurang pengunjung itu dulu bisa, sekarang gak bisa. Logikanya malah kalau gak bisa, ya malah turun tiketnya. Itu logikanya karena kita hanya bisa di dataran saja, tak bisa naik. Jadi seharusnya objeknya berkurang.

Kemudian untuk para pelajar, untuk para pengunjung pelajar ini hanya 5.000. Kalau saya membayangkan bahwa kalau untuk pelajar gratis ya, apalagi kalau hanya di dataran karena ini bagian pelayanan publik, bagian dari masyarakat yang membayar pajak dan misi pendidikan kita jangan rakyat terlalu dibebani. (mth/sws)

336

Related Post