Rocky Gerung: Mental Jokowi Otoriter dan Totaliter

Rocky Gerung dan Jokowi (ilustrasi)

Jakarta, FNN - Pengamat politik dan akademisi Rocky Gerung  sependapat dengan Amien Rais yang menyebut Jokowi dan tangan kanannya, Luhut Binsar Pandjaitan mengidap megalomania karena saat ini cenderung berupaya melakukan segala cara agar tetap berkuasa.

“Jadi kalau memang Pak Amien sebutkan Jokowi dan Luhut megalomania, itu betulnya 112 persen,” kata Rocky Gerung kepada wartawan FNN Hersubeno Arief, dalam  kanal YouTube Rocky Gerung Official pada Senin, 04 April 2022.

Ambisi melanggengkan kekuasaan yang sedang diupayakan Jokowi melalui loyalisnya dilakukan secara rapi dan terus menerus hingga masyarakat menyimpulkan bahwa Jokowi tak hanya otoriter tetapi juga totaliter.

“Dan itu memang dirapikan jalannya menuju pada suatu waktu, kita akan anggap bahwa di dalam diri Pak Jokowi ternyata ada mental otoriter atau bahkan totaliter,” tegasnya.

Rocky menilai, Jokowi seolah-olah menyelundupkan ambisinya itu dengan membujuk orang segala macam, tapi di ujungnya adalah totalitas untuk totaliterisme.

“Karena kalau dia otoriter, pakai aja kekerasan. Selesai kan. Tapi ini totaliter. Totalilter itu lebih dari otoriter.  Itu bahayanya,” lanjutnya.

Rocky menegaskan bahwa di zaman demokrasi ada upaya untuk membatalkan prinsip konstitusi. “Jadi yang kita halangi bukan sekadar karena Jokowi ingin melompati konstitusi, tapi karena memang dia gak punya prestasi. Kalau soal konstitusi, ya itu soal normatif, udah dibilang lima tahun. Tapi kalau dia nggak punya prestasi, apa dasarnya untuk zigzag terus dan gak mau terbuka untuk mengatakan, saya nggak mau, menolak,” paparnya.

Kepura-puraan ini yang kemudian ditangkap dengan baik oleh para loyalisnya, seperti Airlangga, Muhaimin dan Zulkifli Hasan. “Dari awal dia memang inginkan itu. Dan itu yang menyebabkan orang-orang yang dekat dia, seperti Airlangga, Muhaimin dengan sangat aktif terus melakukan gerilya,” paparnya.

Dikatakan Rocky bahwa pemahaman demokrasi Jokowi berbeda jauh dengan Habibie dan Susilo Bambang Yudhoyono. “Pak Habibie dan Pak SBY itu orang-orang yang paham betul demokrasi. Bacaannya bagus dan tercerahkan karena melihat peristiwa di dunia. Itu dibaca dengan baik oleh Habibie dan SBY. Yang sekarang ini Pak Jokowi nggak punya bacaan, gak tahu apa itu demokrasi. Jadi kalau Pak Liddle (Indonesianis asal Amerika Serikat, William Liddle) akhirnya menulis macam itu, itu artinya Pak Liddle menganggap bahwa Jokowi sebetulnya nggak paham demokrasi,” tegasnya.

Sebetulnya, apa yang dikatakan Liddle, masyarakat Indoenesia sudah paham, tetapi karakter bangsa kita yang tidak mau ribut, lebih baik diam dari pada dihardik buzzer.

“Walaupun kita dari awal sudah tahu juga ketika justru Profesor Profesor asing itu yang meneliti watak dari Pak Jokowi. Kalau kita yang ngomong nanti dibully buzer kan. Semua ini yang menunjukkan bahwa ini cebong-cebong ini memang dari awal itu disulap untuk jadi manggut-manggut,” katanya.

Rocky mencatat ada hal penting dari Liddle yakni Jokowi  punya tampang sederhana tetapi watak yang sebaliknya. “Ini yang penting dari Pak Liddle dan dia melihat ada watak galak,” katanya.

Jadi, kebengisan itu sebetulnya diselundupkan lewat bahasa tubuh yang seolah-olah ia orang sederhana. “Pak Jokowi datang dari kalangan sipil, dia sama sekali tidak punya kepentingan apa-apa, makin lama kita baca bahwa memang semua itu dipalsukan di dalam pencitraan kamera,  dalam agenda settingnya pers yang dikuasai oleh oligarki yang pro Jokowi dalam bahasa tubuhnya, bahkan apalagi survei,” pungkasnya. (ida,sws)

869

Related Post