Silat Tani, Petani Bersilat

Oleh Farid Gaban - Ekspedisi Indonesia Baru

DUNIA sedang terancam resesi. Masih diperdebatkan apakah Indonesia akan, misalnya, mengikuti Srilanka terjerumus dalam krisis ekonomi yang berimbas ke politik.

Mudah-mudahan tidak. Tapi, setiap krisis sebenarnya memberi kita peluang untuk merenungkan tentang apa yang salah dengan fondasi ekonomi kita. Bahkan tentang fondasi pembangunan kita keseluruhan: ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Resesi kali ini diperparah oleh pandemi dua tahun terakhir. Dan kalau melihat data sekilas, kita bisa tahu tentang prioritas apa yang mesti dilakukan. 

Menurut data BPS, selama wabah sektor pertanian tumbuh positif sekitar 15% sementara GDP secara keseluruhan justru turun 5%.

Artinya, sektor pertanian menjadi tumpuan hidup ketika sektor manufaktur, wisata dan jasa di perkotaan melempem.

Di Desa Wadas (Jawa Tengah), misalnya, saya mewawancara petani yang mengaku diminta mengirimkan kimpul atau talas ke saudara-saudara mereka yang bekerja sebagai buruh di Jakarta ketika pandemi mencapai puncaknya.

Sektor pertanian menjadi suaka dari krisis. Itu bahkan terjadi ketika sektor pertanian sendiri cenderung terpuruk selama beberapa tahun terakhir akibat banyak tekanan internal maupun eksternal.

Secara internal, lahan pertanian terus menyusut demikian pula jumlah petani; biaya produksi pertanian meningkat akibat memburuknya kesuburan tanah; sementara pendapatan dari pertanian mengecil.

Secara eksternal, petani ditekan oleh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada mereka: prosekusi dan kriminalisasi ketika mempertahankan lahan mereka; oleh kebijakan impor pangan yang membuat harga komoditas jatuh; serta oleh perubahan iklim yang memicu banjir, longsor, kenaikan muka laut, serta ketidakpastian panen.

Meski terus surut, menurut BPS, sektor pertanian ini masih menyerap sekitar 35% tenaga kerja nasional. Data Kementerian Koperasi dan UKM bahkan menunjukkan sekitar 95% lapangan kerja nasional disediakan oleh usaha kecil, menengah dan mikro, yang sebagian besar tak lain adalah petani dan nelayan.

Data FAO sendiri menyebutkan sekitar 70% warga negara berkembang tergantung hidupnya dari pertanian; pertanian keluarga yang diusahakan secara turun-temurun.

Fakta lain menunjukkan bahwa 70% pangan dunia sebenarnya dihasilkan oleh pertanian keluarga yang secara total hanya memakai 20% lahan pertanian dunia.

Ini menunjukkan bahwa pertanian keluarga, dengan segala kekurangannya, justru lebih efisien dibanding pertanian skala besar seperti food-estate swasta.

Kalau ingin bicara tentang ketahanan dan kedaulatan pangan tak bisa lain kecuali kita memperkuat kembali sektor pertanian rakyat.

Tapi, pertanian bukan tentang pangan atau ekonomi semata. Dia juga fondasi sosial dan budaya. Runtuhnya pertanian merontokkan jalinan sosial dan memiskinkan keragaman budaya.

Menjadi kepentingan bersama untuk memikirkan bagaimana memperkuat kembali sektor pertanian, bahkan jika itu hanya upaya-upaya kecil di tingkat desa.

Film dokumenter perdana Ekspedisi Indinesia Baru, SILAT TANI, berusaha memotret masalah pertanian yang kompleks tadi. Tunggu tanggal tayangnya.***

1191

Related Post