SNP Kesehatan, Kerangka HAM untuk Penanganan Darurat Kesehatan

Puluhan tahun isu kesejahteraan dan keadilan profesi kesehatan belum menemukan solusi komprehensif.

Oleh Ganis Irawan *)

PADA 5 April 2021, Sidang Paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menetapkan Standar Norma dan Pengaturan Tentang Hak Atas Kesehatan (SNP Hak Atas Kesehatan, atau lebih ringkas lagi, SNP Kesehatan). Untuk warga negara Indonesia pada umumnya, dokumen ini mengandung banyak pokok pikiran penting yang bisa menjadi dasar untuk memperjuangkan perbaikan kualitas dan akses terhadap layanan kesehatan.

Di sisi lain, bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan SNP Kesehatan menawarkan banyak pokok pikiran yang penting untuk memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan. Ya, puluhan tahun isu kesejahteraan dan keadilan profesi kesehatan belum menemukan solusi komprehensif.

Terkait Pandemi Covid, setelah 1,5 tahun penanganan pandemi yang penuh perdebatan dan kritik, terbitnya SNP Kesehatan ini sepertinya bisa jadi pemecah kebuntuan. Karena memuat

banyak aspek penting (i.e ekonomi, sosial, budaya, kesehatan), dokumen ini potensial menjadi common ground untuk dialog multipihak mencari solusi kolaboratif penanganan pandemi Covid- 19 dan mempersiapkan framework praksis sistem tanggap darurat kesehatan di masa depan.

Diakui atau tidak, terutama oleh Pemerintah, pandemi Covid-19 menunjukkan dengan jelas kelemahan sistem kesehatan kita sekaligus ketiadaan practical framework (atau protokol) tanggap darurat kesehatan. Keberadaan dua Undang-Undang yaitu UU Wabah dan UU Kekarantinaan Kesehatan ternyata belum memadai untuk Pemerintah bisa memberi respons cepat dan memadai tanpa meresikokan demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Ketiadaan practical framework inilah yang menyebabkan Indonesia tampak demikian gagap berhadapan dengan

Pandemi Covid-19, padahal ini bukan pandemi pertama.

Kegagapan tersebut bukan hanya tampak pada penyelenggara negara, tapi juga pada kelompok civil society dan kalangan profesional. Beragam kritik terhadap potensi restriksi kebebasan berpendapat dalam kasus dr.Lois, misalnya, menunjukkan bahwa kelompok pro-demokrasi dan pegiat HAM seperti baru tersadar bahwa ada isu-isu HAM yang masih perlu dibahas terkait penanganan pandemi.

Hal ini mengherankan, karena sejak tahun 2020 ada cukup banyak aspek dari penangangan pandemi yang potensial melanggar prinsip HAM. Seperti misalnya diskriminasi yang dialami

penderita Covid-19, dokter atau tenaga kesehatan. Satu tahun ini diskriminasi dan kekerasan terhadap dokter dan tenaga kesehatan diperlakukan sebagai layaknya kasus pidana biasa, bukan sebagai pelanggaran serius terhadap HAM. Padahal para dokter dan tenaga kesehatan tersebut sedang bekerja dalam rangka pemenuhan hak rakyat atas kesehatan.

Selama 1,5 tahun ini juga tidak tampak diskursus HAM yang tajam untuk perbaikan praksis penangangan pandemi, semisal penerapan siracusa principle, penanganan berita bohong,

disinformasi dan misinformasi selama situasi darurat kesehatan. Atau diskursus HAM tentang prioritas layanan kesehatan terhadap wanita, anak, lansia atau para penyandang disabilitas.

Dengan latar belakang situasi semacam itu, terbitnya SNP Hak Atas Kesehatan dari Komnas HAM patut diapresiasi karena dokumen ini menyajikan koridor normatif yang komprehensif untuk penanganan darurat kesehatan. Dokumen ini bisa menjadi alternatif bagus untuk diterapkan sebagai acuan kerangka normatif penanganan pandemi Covid-19.

Selanjutnya bisa dipertimbangkan untuk mulai merumuskan practical framework berupa protokol baku penanggulan darurat kesehatan yang komprehensif dan operasional. Protokol semacam ini perlu agar dikemudian hari, pada darurat kesehatan yang lain, Indonesia bisa dengan cepat memberi respon adekuat ; tinggal mengaktifkan suatu protokol penanggulangan darurat kesehatan yang sudah dikenal dan diinternalisasi oleh banyak orang. Tak perlu lagi ada banyak perdebatan teknis saat krisis di depan mata. Juga tak perlu lagi khawatir situasi darurat kesehatan disalahgunakan oleh pemerintah.

Sama halnya dengan protokol keselamatan penerbangan, protokol penanggulangan darurat kesehatan perlu ada sebelum kedaruratan tiba. Perlu juga diajarkan dan dilatihkan terus menerus kepada aparatur pemerintah dan warga negara.

*) Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Kabid Kerjasama Lembaga Negara dan Media Massa PB IDI.

653

Related Post