Solidaritas Keluarga Besar Sulsel Menolak Hukuman Mati Ferdy Sambo
Jakarta, FNN - Solidaritas Keluarga Besar Sulawesi Selatan etnis Toraja, Makassar, dan Bugis menyatakan penolakan terhadap vonis hukuman mati yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada Ferdy Sambo atas kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Mewakili kelompok tersebut sekaligus sebagai Ketua Yayasan Keturunan Tomanurung Sulawesi Selatan Annar Salahuddin Sampetoding menegaskan bahwa pihaknya menghargai keputusan pengadilan dalam perkara tersebut berdasarkan penghormatan terhadap institusi pengadilan.
"Meski demikian, kami menganggap bahwa vonis mati terhadap saudara kami Ferdy Sambo sangatlah berlebihan. Bahwa betul beliau bersalah, tetapi apakah hukuman mati adalah vonis yang tepat?" kata Annar dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu.
Kelompok tersebut juga menilai hukuman tersebut dijatuhkan demi memenuhi keinginan masyarakat tertentu semata dan bukan atas dasar keadilan substantif dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang muncul di persidangan.
Annar mengingatkan bahwa Ferdy Sambo telah menyatakan kejadian penembakan ini tidak berdiri sendiri begitu saja tanpa sebab.
Kelompok itu juga meyakini bahwa apa yang dilakukan Ferdy Sambo semata-mata untuk membela harkat dan martabat pribadi keluarganya.
Annar menyebutkan bahwa dalam budaya masyakarat Sulsel etnis Toraja, Makassar, dan Bugis terdapat prinsip Siri' Na Pacce, yakni rasa malu dan kepedihan yang sangat mendalam untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat keluarga.
"Siapa pun bisa saja melakukan tindakan apa pun untuk membela harkat dan martabat keluarga dan pribadinya tersebut, yang harus dilakukan sendiri tanpa terwakilkan," katanya.
Kelompok itu juga menyayangkan tidak adanya pertimbangan yang meringankan terhadap Ferdy Sambo, meski yang bersangkutan yang telah mengaku salah dan berkali-kali meminta maaf serta bersikap sopan selama proses persidangan.
Lebih lanjut, Annar menyampaikan bahwa Ferdy Sambo dan keluarganya sudah mendapat hukuman sosial yang teramat berat dari masyarakat Indonesia jauh sebelum vonis pengadilan.
"Sejujurnya (ini) membuat kami semua terpukul amat sangat dalam. Penghakiman sosial oleh masyarakat ini jauh lebih dahsyat dari hukuman fisik karena menyentuh jantung jiwa dan spirit keluarga, terutama anak-anak yang terbilang masih kecil dan pasti sangat tergoncang atas cemoohan, cibiran, dan cacian dari masyarakat," katanya.
Annar mengingatkan bahwa Ferdy Sambo tidak dilahirkan sebagai seorang penjahat sebagaimana perlakuan yang diterima dari masyarakat saat ini, mengingat ia telah mengabdi selama 28 tahun kepada negara dan bangsa melalui institusi Polri.
Kelompok itu mempertanyakan mengapa tidak ada pertimbangan ampunan kepada Ferdy Sambo atas berbagai prestasinya seperti enam pin emas Kapolri serta Bintang Bhayangkara Pratama dari Presiden RI.
Annar menegaskan bahwa pihaknya meyakini masih ada keadilan yang bisa didapatkan Ferdy Sambo, yang saat ini tengah mengajukan banding.
"Atas dasar keadilan dan kemanusiaan, hukuman mati adalah sesuatu yang sangat berlebihan dan karena itu pantas ditolak. Semoga para hakim pengadilan banding mempertimbangkan semua aspek tersebut, sehingga keadilan sesungguhnya bisa diperoleh juga oleh saudara kami Ferdy Sambo," katanya.
Kelompok itu juga menyoroti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang dinilai kerap berbicara di luar kepantasan dan kepatutan berkenaan kasus Ferdy Sambo hingga membuat pemberitaan menjadi liar.
"Kami mengimbau agar Pak Mahfud tidak terlalu jauh mencampuri atau mengintervensi pengadilan yang harus berjalan independen dan imparsial," kata Annar.
Selain itu, mengatasnamakan Solidaritas Keluarga Besar Sulsel etnis Toraja, Makassar, dan Bugis, Annar meminta kepada Presiden Joko Widodo memaafkan tindakan Ferdy Sambo yang disebut spontan dan tidak disengaja.
"Yang kami yakini (dilakukan) atas dasar Siri' Na Pacce', budaya yang sangat sakral dan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Sulawesi Selatan," ujar Annar.
Dalam kesempatan sama, perwakilan lain kelompok tersebut, Lusia Mangiwa, menyinggung tindakan Brigadir J sebagai penyeb terjadinya pelanggaran hukum oleh Ferdy Sambo.
"Karena perlakuan saudara kita Yosua dan itu dia melakukan di rumah bapak Ferdy Sambo maka wajib bapak Ferdy Sambo itu mempertahankan harkat dan martabatnya," katanya.
Lusia merujuk pada dugaan pelecehan seksual oleh Yosua terhadap Putri Candrawathi, istri Ferdy Sambo.
Saat memaparkan pertimbangan vonis yang dibacakan pada 13 Februari 2023, Hakim Ketua Wahyu Imam Santoso menyatakan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) tidak memperoleh keyakinan yang cukup bahwa Yosua telah melakukan pelecehan seksual atau perkosaan atau bahkan perbuatan yang lebih dari itu kepada Putri Candrawathi.
Selain itu, Wahyu juga mengatakan bahwa unsur perencanaan pembunuhan Brigadir J telah terbukti.
Ferdy Sambo divonis mati oleh majelis hakim PN Jaksel, yang menyatakan yang bersangkutan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(sof/ANTARA)
Ferdy Sambo juga dinilai terbukti melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu Putri Candrawathi divonis 20 tahun penjara, Kuat Ma'ruf 15 tahun penjara, Ricky Rizal Wibowo 13 tahun penjara, dan Richard Eliezer yang semula dituntut 12 tahun penjara dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan.
Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma'ruf, dan Ricky Rizal Wibowo telah mengajukan banding atas putusan tersebut.
Demikian juga Kejaksaan Agung RI mengajukan banding atas putusan PN Jaksel terhadap Ferdy Sambo dkk.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dijadwalkan membacakan putusan perkara banding atas nama terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal pada sidang terbuka tanggal 12 April 2023.(sof/ANTARA)