Buzzer Ramai-ramai Tinggalkan Jokowi, Etiknya Tetap Bersama untuk Tenggelam
Jakarta, FNN - Peta politik nasional semakin panas, terutama berkaitan dengan kolamnya buzzer, dan berkaitan juga dengan makin dekatnya putusan Mahkamah Konstitusi, di mana kemungkinan besar Gibran akan menjadi cawapres Prabowo Subianto.
“Ya, panas itu bikin kolam makin mendidih, jadi berlompatanlah cebong ke mana-mana mencari selamat. Itu fenomena yang lucu. Harusnya, mereka yang dari awal mendukung Jokowi jangan pindah gerbong dong. Itu nggak jujur. Tenggelam saja sama-sama, itu baru fair. Ini masa di akhir masa jabatan Jokowi, orang-orang Cokro TV kabur, ada yang pergi ke Ganjar, ada yang pergi ke Prabowo. Tokoh-tokoh pendukung Jokowi dari kalangan intelektual justru mulai menghina Jokowi. Nggak begitu etiknya,” ujar Rocky Gerung di kanal You Tubenya Rocky Gerung Official edisi Kamis (12/10/23).
Memang, lanjut Rocky, dari awal kan tahu akan jadi begini. Lain dengan FNN, yang dari awal memang sudah memastikan ini akan berantakan. Kita menggunakan istilah saling amputasi, tapi tetap orang tidak percaya karena fanatisme itu.
“Dan memang dari awal Jokowi itu bukan separuh dewa. Itu betul-betul mau jadi dewa kok dari awal,” ujar Rocky.
Menurut Rocky, terlalu dungu mereka yang menganalisis bahwa Jokowi bisa betul-betul seperti yang mereka harapkan. Karena mereka tidak mampu menghalangi Jokowi untuk bergaul dengan satu dua orang pemodal. Jokowi hanya perlu pemodal dan mereka yang berkumpul di Cokro TV atau relawan dapat tetesan atas perintah Jokowi.
Mereka tidak pernah menyadari bahwa Jokowi dari awal sudah memberi sinyal untuk membangun dinasti. Gibran yang pertama kali dicemplungkan ke dalam politik. Lalu orang bilang, hanya Gibran. Tidak, ini pasti berlanjut. Karena kita tahu bahwa Jokowi tidak punya peralatan politik sehingga satu-satunya peralatan politik adalah kekuasaan dia dan itu dia manfaatkan secara maksimal sampai di ruang sidang MK.
“Kalau ada teman-teman kalangan buzzer atau relawan Jokowi sekarang mulai marah pada Jokowi, ya dari awal kita saja sudah tahu masa Anda nggak bisa prediksi itu. Tapi, oke, itu lebih baik ada perubahan, semacam pertobatan, daripada jadi dungu seumur hidup. Tetapi, buat saya, kalau kita pakai prinsip-prinsip Aristoteles, misalnya, enggak begitu dong. Ketika Anda mendukung seseorang, walaupun dia buruk, dukung sampai akhir. Itu yang namanya kejujuran,” ungkap Rocky.
Kalau begitu, tambah Rocky, mereka menjadi pengkhianat Jokowi. Mereka dua kali berkhianat: di awal dia berkhianat karena seolah Jokowi adalah dewa, di ujung mereka berkhianat karena menemukan Jokowi sebetulnya adalah iblis. Itu dua pengkhianatan. Jadi buat apa.
“Menurut saya, sebaiknya sudah, bersama-sama Jokowi saja untuk tenggelam. Itu lebih jujur secara pertanggungjawaban etik,” saran Rocky.
Dalam diskusi bersama Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, itu Rocky juga mengatakan bahwa nasib mereka dari awal memang mereka yang menentukan sendiri. Kemampuan analisis intelektual habis, kemampuan untuk mendeteksi secara moral juga habis. Sekarang mereka uring-uringan semua. Kalau uring-uringan pribadi tidak ada soal, tapi ini uring-uringan sambil menyikut teman seiring.
“Kita sih senang aja bahwa berantakan di ujung seperti yang sudah kita sebut bahwa ini akan terjadi kakofoni dan memang terjadi kakofoni kan. Tetapi, kita juga ingin minta mereka bertanggung jawab dong. Masa kabur kapal mau tenggelam. Kan nggak ada moralnya itu,” ujar Rocky.
“Jadi, mental mereka yang mendukung Jokowi sebenarnya pengecut dari awal. Mereka memang pragmatis dari awal,” imbuh Rocky.
“Jadi, tidak bermoral orang yang meninggalkan orang yang tidak bermoral yang di awalnya mereka anggap berhala,” ujar Rocky menyimpulkan.(ida)