Negara Gagal Hadapi Separatis Papua

Jakarta, FNN - Negara gagal menghadapi gerakan separatis di Papua, karena menyanggupi uang tebusan Rp5 miliar untuk membebaskan pilot Susi Air, Mark Methrtens dengan alasan damai dan kemanusiaan. 

“Negara menyanggupi uang tebusan Rp5 miliar untuk membebaskan pilot Susi Air Philips Mark Methrtens yang disandera kelompok separatis di Papua. Artinya negara gagal menghadapi kelompok separatis di Papua,” kata analis komunikasi, politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting di Jakarta, Senin (10/7).

Sebelumnya, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menilai tidak ada yang salah dari langkah pemerintah menyanggupi uang tebusan Rp5 miliar untuk membebaskan pilot Susi Air Philips Mark Methrtens yang disandera di Papua.

"Yang jelas itu tadi untuk damai dan kemanusiaan, apalagi menyangkut nyawa manusia, baik pilot maupun masyarakat setempat, artinya tidak ada apapun yang seharga itu," kata Laksamana Yudo di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (4/7). 

Menurut Selamat Ginting, langkah negara yang diumumkan di Istana Wakil Presiden, sama saja menyerah menghadapi tuntutan pemberontak. Secara tidak langsung keputusan negara justru membantu kelompok separatis untuk menjadi lebih besar, karena punya modal memenuhi kebutuhan logistik serta membeli senjata. 

“Dengan uang tebusan itu, mereka bisa membeli senjata dan amunisi untuk membunuh prajurit TNI dan Polri serta rakyat. Sama saja negara melakukan langkah bunuh diri. Saya menyesalkan negara salah Langkah dan menyerah dengan tuntutan pemberontak,” ungkap Selamat Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.

Posisi Tawar

Dikemukakan, penyanderaan biasanya dilakukan pihak yang lemah dan sudah terdesak. Maka dengan dikabulkannya tuntutan penyandera, akan menaikkan posisi tawar pemberontak dalam menghadapi aparatur tentara dan polisi Negara Indonesia. 

“Mereka bisa melakukan langkah serupa dengan bergerak bebas untuk menyandera pihak lain.  Sekaligus mendapatkan uang yang dapat digunakan memperbesar kekuatan pemberontak dalam front politik, front bersenjata, front diplomasi, maupun front psikologi perang,” ujar Ginting yang lama menjadi wartawan bidang politik dan militer.

Selamat Ginting menjelaskan, negara memiliki Angkatan Bersenjata dan Kepolisian untuk menumpas gerakan separatis bersenjata. Militer dibentuk untuk menghadapi situasi darurat dan siap mati di medan tugas perang atau pertempuran. Dalam Sapta Marga TNI, tentara itu patriot yang tidak mengenal menyerah.

“Buat apa kita punya pasukan khusus untuk menumpas gerakan separatis? Buat apa kita membentuk pasukan khusus untuk membebaskan sander ajika akhirnya memenuhi tuntutan pemberontak?” tanya Ginting yang mengenyam pendidikan sarjana ilmu politik, magister komunikasi politik, dan doktral ilmu politik. 

Separatis Bersenjata

Menurutnya, alasan damai dan kemanusiaan bisa dipahami jika menghadapi masyarakat Papua yang telah menerima otonomi khusus dan pemekaran wilayah Papua dari satu provinsi dan kini menjadi enam provinsi. Kini di Pualu Papua memiliki enam provinsi, yakni: Papua, Papua Barat, Papua Pegunungan, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya. 

“Masyarakat Papua sudah menyetujui otonomi khusus dan pemekaran wilayah menjadi enam provinsi. Penyandera bukanlah masyarakat Papua. Mereka segelintir orang yang tergabung dalam separatis Papua yang ingin merdeka. Pihak penyandera adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mengapa tuntutan pemberontak justru dikabulkan? ujar Ginting, bertanya.

Lagi pula, kata Ginting, negara memiliki Detasemen Khusus 88 Polri untuk membebaskan sandera. Jika Polri tidak sanggup, karena tidak punya pengalaman membebaskan senjata, masih ada Kopassus punya pengalaman membebaskan sandera di Thailand 1981 serta membebaskan sandera di Mapenduma Papua 1996.

Dia menilai kegagalan dalam membebaskan sandera yang melibatkan pasukan dari Kopassus, Marinir, Kopasgat, dan Kostrad, karena tidak dilakukan dengan cara pengepungan atau pagar betis, melainkan hanya pengejaran.

“Jika hanya pengejaran, maka OPM bisa kabur dan bergabung dengan masyarakat biasa. Namun jika dengan pengepungan tiga batalyon gabungan, maka pemberontak akan kesulitan dari sisi logistik. Mereka akan kelaparan karena tidak ada pasokan makanan dan munuman,” ungkapnya.

Takut HAM

Mengenai kekhawatiran pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kata Ginting, tidak akan terjadi, karena yang dihadapi bukan masyarakat Papua biasa, melainkan pemberontak Papua Merdeka. 

“Lihatlah bagaimana satu armada tentara Inggris ketika mengepung Pulau Malvinas yang akan menuntut lepas dari Inggris. Apakah Inggris dituding melanggar HAM? Tidak. Karena Malvinas adalah milik Inggris. Sama seperti Pulau Papua juga punya Indonesia dan sah menurut PBB,” ungkap Ginting, wartawan yang beberapa kali meliput oparasi militer, termasuk di Papua. 

Ginting mengungkapkan kedudukan Papua sah milik Indonesia setelah diadakan referendum act of free choice atau Pepera (penentuan pendapat rakyat) pada 1969.  Hasil referendum itu membuktikan, rakyat Papua memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia.  Kemudian, hasil Pepera dibawa ke Sidang Umum Persertikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pada 19 Desember 1969, Sidang Umum PBB menerima dan menyetujui hasil Pepera, yakni Papua bagian sah dari wilayah Indonesia. 

“Jadi urusan wilayah Papua sudah tidak ada polemik, termasuk di dunia internasional. Pemberontak harus ditumpas, bukan diberikan kesempatan untuk berkembang dengan mengabulkan tuntutan penyandera,” pungkas Ginting. (sws)

372

Related Post