Peradilan “Sesat”: Sidang “Teroris” Tanpa Kehadiran Pelapor

Advokat Juju Purwantoro bersama kliennya.

Jakarta, FNN – Persidangan atas para Terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, yang juga sebagai ulama terkenal, yaitu DR. Farid Okbah, DR. Anung Al Hamat, dan DR. Ahmad Zain Annajah, telah melewati agenda pemeriksaan para saksi dan ahli dari terdakwa.

Senin (21/11/22) akan memasuki agenda pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Namun, sampai dengan sidang pekan lalu, kuasa hukum telah lebih dari tiga kali meminta agar JPU melalui majelis hakim agar saksi pelapor (kunci) bisa dihadirkan dalam persidangan.

“Anehnya dengan berbagai alasan pihak JPU maupun majelis tidak kunjung juga bisa menghadirkan saksi pelapor kasus para ulama tersebut,” ungkap Advokat Juju Purwantoro, kuasa hukum ketiga ulama itu.

Padahal untuk memperoleh keadilan materiil sangat penting JPU untuk menghadirkan saksi pelapor, sesuai Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP yang berbunyi:

“Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.”

Mengacu kepada pendapat ahli (DR. M. Taufik, SH, MH) dalam persidangan tersebut, “adalah prinsip dalam peristiwa pidana haruslah ada pelapornya.” Pelapor dalam kasus pidana sangatlah penting didengar keterangannya sebagai bukti petunjuk (testimoni de audito).

Tidak dihadirkannya pelapor atas tindak pidana, tentu saja dapat berpotensi merugikan hak-hak para terdakwa.

Kehadiran atau keterangan saksi (pelapor), merupakan salah satu alat bukti yang penting, sesuai Pasal 185 ( ayat 1) KUHAP: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.”

Menurut Juju Purwantoro, dakwaan teroris kepada para ulama itu merupakan pelanggaran hukum berat (extra ordinary crime), dan prinsip-prinsip HAM (Crime Against Humanity), adalah sangat melukai rasa keadilan umat Islam.

Tuduhan kepada para ulama tersebut, baik sebagai anggota Jamaah Islamiah (JI), maupun sebagai pelaku tindakan terorisme faktanya tak dapat dibuktikan sama sekali di persidangan.

Tuduhan sebagai pelaku terorisme (UU Nomor 5 tahun 2018) sangat mungkin terjadi deviasi, bahkan distorsi, karena KUHAP tidak diterapkan secara adil dan konsekuen (legalistik).

“Jika hakim dalam memutuskan kasus tersebut tidak sesuai fakta-fakta dalam persidangan, maka Pengadilannya bisa dianggap sebagai 'Peradilan Sesat',” tegas Juju Purwantoro. (mth/MD)

588

Related Post