Gejala Dini Otoritarianisme Rezim Prabowo
Oleh Faisal S Sallatalohy | Kandidat Doktor Hukum Trisakti
Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka, sudah ditahan pula. Tapi ketika ditanya adanya aliran dana, jawaban Kejaksaan belum ada. Masih didalami.
Bagaimana mungkin seseorang dijadikan tersangka korupsi tanpa ada bukti permulaan berupa indikasi aliran dana?
Padahal jelas, pasal 1 angka 10 KUHP dan pasal 1 ayat 14 KUHP, penetapan tersangaka harus disertasi bukti permulaan yang cukup.
Kejaksaan malah mencari pembenar di balik istilah 'mens rea' dan 'mens actus'. Bahwa niat dan wujud tindakan tersangka melakukan kejahatan, tidak hanya dapat dibuktikan lewat aliran dana ke rekening yang bersangkutan. Tetapi ke rekening lain untuk memperkaya pihak lain yang di dalamnya tersangka juga mendapatkan keuntungan.
Pertanyaannya, apa ada indikasi aliran dana akibat kebijakan korup yang disangkakan kepada tersangka ke rekening pihak lain yang hendak diuntungkan?
Jawabannya tidak ada. Lalu atas dasar bukti permulaan apa Tom Lembong dijadikan tersangka?
Bukti permulaan tipikor berupa indikasi aliran dana mutlak harus ada untuk mendukung dugaan keterlibatan seseorang dalam suatu tindak pidana. Bukti permulaan penting untuk menjaga keadilan dan mencegah penangkapan sewenang-wenang atau menangkap sesuai pesanan.
Kalau memang kejaksaan berani melanggar aturan hukum menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka dan ditahan tanpa alat bukti permulaan, kenapa bekas menteri perdagangan lain tidak ditahan dan diperiksa dengan alasan yang sama?
Setelah Tom Lembong ada 4 menteri lainnya. Semuanya pernah memutuskan kebijakan impor gula. Kalau dibandingkan, angka total impornya, tom lembong paling minimal, 5 juta ton. Paling banyak Justru Zulkifli Hasan 18 juta ton (2022-2024).
Kenapa hanya Tom Lembong yang diperiksa, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Sementara mantan menteri lainnya, termasuk Zulkifli Hasan, justru tidak diperiksa Kejaksaan?
Selama hampir satu dekade, kebijakan impor gula selalu diwarnai kontroversi, baik dari sisi peningkatan ketergantungan impor maupun kritik terkait perlindungan industri gula lokal.
Impor gula dipenuhi praktik korup, suap, pemburu rente, dikangkangi para cukong meraup keuntungan dengan cara merugikan masyarakat luas.
Kita sepakat, siapapun yang terlibat korupsi impor gula, harus dihukum seberat-beratnya. Tapi dalam kaitan ini, hukum harus ditegakan secara profesional. Bukan dimanfaatkan sebagai alat politik untuk melenyapkan lawan politik.
Wajar, kalau banyak kalangan menilai kasus Tom Lembong adalah wujud politisasi kekuasaan pukul musuh-musuh politiknya. Sebelumnya, Tom Lembong masuk tim nasional pemenang Anies.
Baru di awal memulai kekuasan, rezim Prabowo udah nunjukin perilaku politik preman lenyapkan musuh-musuh politik. Perilaku yang biasanya dilakukan Jokowi Bantai lawan politiknya selama berkuasa.
Prabowo tampaknya terpengaruh atau menjadikan Jokowi sebagai panutan lenyapkan oposisi dengan mengangkangi, memperalat lembaga dan kedaulatan hukum.
'Kirain' presiden berbaju patriot ini berbeda. Nyatanya, sama saja dengan yang lalu. Doyan peralat, kangkangi lembaga hukum untuk suksesi kelangsungan kekuasaannya. Cerminan gejala dini penyakit otoritarianisme Prabowo. (*)