Tiga Potensi Auctor Intelectualis Kasus KM 50

Adakah operasi ini sepengetahuan atau dengan persetujuan Presiden? Jika iya, maka Presiden pun harus diseret ke muka persidangan. 

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan

SEDIKIT demi sedikit kasus pembantaian 6 anggota Laskar FPI terkuak. Terakhir ditemukan mobil yang ditumpangi oleh 6 anggota Laskar FPI yang selama ini ditutup-tutupi oleh pihak Kepolisian. Konon dijadikan barang bukti. Sejak awal memang terasa sarat perekayasaan. 

Kasus Km 50 menjadi hutang rezim Presiden Joko Widodo yang akan terus ditagih. Tindakan brutal dengan rekayasa vulgar. Termasuk auctor intellectualis yang menjadi penentu pembunuhan atau pembantaian ini. 

Merujuk pada Buku Putih yang diterbitkan oleh TP3, ada tiga personal yang diduga berpeluang terbuka menjadi aktor tersebut. Dapat salah satu atau bersama-sama. 

Pertama, Irjen Fadil Imran. Ini berdasarkan pada keterlibatan banyak anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya. Termasuk Fikri Ramadhan dan Yusmin Ohorella yang menjadi terdakwa. Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran bersama Brigjen Hendra Kurniawan (Karo Paminal Divisi Propam) dan Mayjen Dudung Abdurrahman (saat itu Pangdam Jaya) memimpin Konferensi Pers pada hari kejadian 7 Desember 2020.

Kedua, Irjen Ferdy Sambo mantan Kadiv Propam dan Kepala Satgassus yang jelas telah melibatkan anak buahnya dalam operasi pembuntutan dan pembunuhan 6 anggota Laskar FPI. Sekurangnya 30 anggota Propam yang sebagiannya merangkap Satgassus ikut di lapangan. Pola perekayasaan Ferdy Sambo di kasus Duren tiga relatif sama dengan rekayasa kasus Km 50. Kebohongan dalam kualifikasi obstruction of justice

Ketiga, Jenderal Purnawirawan Budi Gunawan, Kepala BIN, yang telah melibatkan anggota BIN sejak di Mega Mendung melalui "operasi delima" yang terbongkar oleh anggota Laskar FPI. Anggota BIN pula yang terlibat kejar-kejaran di Interchange Karawang Barat yang menembak 2 anggota Laskar FPI. Komnas HAM menyebut ada instansi di luar Kepolisian yang terlibat dan itu tentunya adalah BIN. Jadi, Kepala BIN Budi Gunawan harus ikut bertanggungjawab atas peristiwa ekstra judicial killing tersebut. 

Ketiga aktor itulah yang semestinya dibawa ke Pengadilan HAM berdasar UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Diminta pertanggungjawaban dan dibuka berbagai komando dan perintah-perintahnya. 

Adakah operasi ini sepengetahuan atau dengan persetujuan Presiden? Jika iya, maka Presiden pun harus diseret ke muka persidangan. 

Pembantaian 6 anggota Laskar FPI adalah terstruktur dan sistematis karenanya merupakan pelanggaran HAM berat. Bukan pidana biasa. Sebagai pembunuhan politik dengan target HRS, maka selayaknya proses peradilan tidak terhenti pada pelaku di lapangan semata,  melainkan harus menyeret auctor intellectualis nya. 

Kebenaran dan keadilan harus ditegakan baik saat Jokowi berkuasa ataupun tidak dan seluruh pembuat kejahatan harus bertanggungjawab. Apakah ia sebagai  pelaku, penyerta, maupun penyuruh. 

Bandung, 26 Nopember 2022. (*)

636

Related Post