AGAMA

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (6): Non Muslim Jangan Mengusik Umat Islam

Di satu sisi diserang dengan kata intoleran, tetapi kenyataan di lapangan jauh berbeda. Ini membuat musuh FPI dan umat Islam kewalahan. Mereka terus berusaja mencari kelemahanFPI. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, (FNN) - YA, jangan sekali-kali mengusik lebah di sarangnya. Lebah akan kompak mengejar dan menggigit dengan racunnya yang ganas siapa pun yang mengusiknya. Demikian juga Islam. Jangan sekali-sekali ada orang yang menghinanya. Jangan ada orang, kelompoķ dan golongan yang mencoba-coba melukai perasaan umatnya. Mereka akan kompak melakukan pembelaan baik secara fisik maupun non fisik. Penistaan agama oleh Basuki Tjahya Purnama alias Ahoķ merupakan salah satu bukti betapa umat Islam tidak akan tidur ketika agamanya dilecehkan. "Jangan bangunkan macan dari tidurnya," demikian pepatah yang sering kita dengar. Pepatah ini pun ramai muncul ketika Ahok mengungkit Surat Al-Maidah ayat 51. Kenapa umat Islam marah kepada Ahok? Pertama, Ahok seorang kafir yang seenaknya mengutip ayat Al-Qur'an. Kedua, orang kafir tidak memiliki kapasitas untuk mengutip ayat Al-Qur'an demi ambisi politiknya. Ketiga, masyarakat Jakarta, khususnya umat Islam sudah muak dengan tingkah lakunya dalam mengurus Jakarta. Sebab, di awal ia mengurus Jakarta, sudah terang-terangan melarang penyembelihan hewan kurban di sekolah. Artinya, penyembelihannya tidak boleh dilihat anak-anak, karena menurutnya sadis. Padahal, penyembelihan yang disaksikan anak-anak itu merupakan pembelajaran bagi mereka tentang hewan kurban. Kemudian Ahok jugalah yang melarang penjualan hewan kurban di pinggir jalan. Alasannya, kotor. Padahal, cuma setahun sekali. Dia tidak melihat pedagang ikan basah di beberapa tempat di pinggir jalan yang tiap hari menjajalan dagangannya. Sudah pasti jorok dan bau setiap hari, sepanjang pedagang ikan berjualan. Umat Islam marah ke Ahok, bukan marah kepada pengikut Kristen apalagi orang Cina. Hanya saja, banyak pendukungnya yang Kristen dan agama lain, serta keturunan Cina, termasuk dari kalangan Islam yang juga membelanya secara mati-matian dan membabi-buta. Risiko perjuangan Pergerakan melawan Ahok dan kroninya berawal dari markas FPI Petamburan yang langsung dikomandoi Habib Rizieq. Tentu, pergerakan itu juga merupakan rangkaian dari kejelian seorang pejuang Islam, Buni Yani, yang menyebarkan pidato Ahok tentang Al-Maida ayat 51 itu. Buni Yani lah yang membangunkan umat Islam dari tidurnya. Risikonya, ya Buni Yani juga dipenjara. Semoga semua yang dilakukannya membawa keberkahan bagi umat Islam dan Buni Yani beserta keluarganya. Karena pergerakan berawal dari Markas FPI Petamburan, maka sangat wajar juga Ahok dan barisannya atau Ahoker membenci FPI. Oleh karena itu, setiap ada kesempatan, setiap waktu dan setiap saat mereka akan terus menyerang FPI dengan kata-kata intoleran, anti Pancasila, anti NKRI, pendukung khilafah serta syariah dan berbagai macam kata-kata lainnya. Mereka tidak tahu dan tidak sadar betapa umat Islam, termasuk FPI sangat toleran, membela NKRI dan Pancasila. Bukti FPI sangat toleran bisa kita lihat ketika demo terjadi, ada pasangan Kristen yang melakukan perkawinan di gereja dekat Masjid Istiqlal. Malah Laskar Pembela Islam yang merupakan pejuang/pengamanan di FPI membukakan jalan kepada pasangan pengantin dan rombongannya. Jika FPI intoleran, sudah dipastikan agama lain itu tidak akan bisa menembus kerumunan massa hingga sampai ke gereja. Itulah hebatnya FPI. Di satu sisi diserang dengan kata intoleran, tetapi kenyataan di lapangan sangat jauh berbeda. Ini membuat lawan FPI dan umat Islam semakin kewalahan. Mereka terus mencari kelemahan FPI. Maka, berbagai usaha memojokkan dan membubarkan FPI pun terus dilakukan. Kelakuan busuk terus dipertontonkan oleh kaum kafir dan munafik terhadap FPI yang tegas dalam mencegah kemungkaran.(Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior.

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (5): Islam Diusik, Umat Melawan

Perumpamaan umat Islam itu seperti lebah. Jika sarang lebah diganggu, lebahnya marah dan memgejar yang mengganggunya. Demikian juga Agama Islam, jika diusik sedikit saja, umatnya melawan. Oleh : Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - TOLERANSI sangat ditanamkan secara dalam pada ajaran Islam. Sepanjang agama lain tidak mengganggu Islam dan pemeluknya, Islam mengajarkan agar hidup rukun dan berdampingan. Islam merupakan agama yang paling menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Sejak pertama kali hadir di muka bumi yang dibawa oleh para Rasul Allah, Islam telah mengajarkan nilai toleransi yang dikenal dengan konsep tasamuh yang salah satunya mengatur bagaimana hubungan dengan umat beragama lain. Rasulullah Saw juga hidup berdampingan dengan kaum kafir selama di Mekkah dan Madinah. Bahkan, ada riwayat tentang orang Yahudi yang buta yang selalu meludahi Nabi Muhammad Saw, setiap kali Nabi lewat dan menyuapinya dengan makanan. Si Yahudi buta tidak tahu bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah. Setiap kali menyuapi, Yahudi yang buta itu mencaci-maki Rasulullah dan kemudian meludahinya. Dia tidak tahu yang di depannya adalah orang yang dibencinya dan selalu dimaki-makinya. Yahudi yang buta itu baru tahu setelah Rasulullah wafat. Itu pun karena saat menyuapi makanan, sang Yahudi merasa berbeda.Yahudi buta bertanya siapa yang menyuapinya. Kok tidak seperti orang yang selama ini menyuapinya makan dengan tangan lembut. Orang yang ditanya pun menjelaskan bahwa yang menyuapinya selama ini sudah wafat. Orang tersebut adalah Nabi Muhammad Saw. Sang Yahudi menangis dan menyesal karena selama ini telah memaki-maki dan meludahinya. Padahal, orangnya baik dan tidak pernah membalas caci-makinya, apalagi balas meludahinya. Singkat cerita, penyesalan Yahudi yang buta itu ditebusnya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, menyatakan diri masuk Islam atau menjadi mualaf. Perumpamaan Islam itu seperti lebah. Mencari makan, lebah hinggap pada bunga dan menghisap sarinya. Bunga tidak rusak, lebah kenyang dan akhirnya menghasilkan madu. Ajaran Islam juga seperti itu. Islam mengajarkan kebaikan dan hasilnya tentu kebaikan. Lebah, kalau membuat sarang juga tidak merusak dahan, ranting dan bahkan pohon yang kerig sekali pun. Jadi, di mana pun berada, Islam itu tidak akan merusak sekitarnya. Justru sebaliknya, sekitarnyalah yang mencoba mengganggu dan merusak nilai-nIlai ajaran Islam. Lebah tidak merusak bunga yang sarinya dihisap menjadi madu. Lebah tidak mematahkan dahan dan ranting pohon yang menjadi sarangnya. Akan tetapi, jangan sekali-sekali mencoba mengusik lebah di sarangnya, apalagi saat di siang hari. Lebah akan marah dan bersatu mengeroyok siapa pun yang merusak sarangnya, termasuk pawang lebah. Hanya saja kalau pawang sudah tahu cara mengatasinya. Umat Islam Melawan Islam juga sama. Jangan sekali-sekali mengusik dan menyakitinya, apalagi melukainya. Umat Islam di manapun akan bangkit melawannya. Banyak contohnya. Ketika ada kartun yang menghina Rasulullah, umat Islam di seantero bumi bangkit berdemo mengutuknya. Ketika ada film "Fitna" yang juga menghina Rasulullah dan agama Islam, muslim di berbagai belahan dunia bangkit berdemo mengutuknya. Hasilnya, pembuat film itu akhirnya masuk Islam. Ketika Al-Qur'an mau dibakar dan diinjak-injak, umat Islam bangkit melakukan perlawanan. Ketika si Ahok menista Al-Qur'an, umat Islam di Indonesia bangkit, sehingga si penista agama Islam itu dipenjara. Begitulah umat Islam melakukan perlawanan terhadap setiap upaya menghina ajaran Islam. Perjuangan umat Islam, ada yang langsung membuahkan hasil. Ada juga yang perlahan berhasil. Yang jelas, perjuangan umat Islam yang dipimpin para ulama yang diiringi dengan do'a, apalagi doa qunud nazilah, pasti didengar dan dikabulkan Allah Yang Maha Kuasa dan Mendengar. Makanya, sering kita dengar kalimat, mulut ulama itu beracun. (Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (4): Aksi FPI Menyatukan Umat Menggetarkan Musuh

FPI pengikut Imam Syafi’i yang konsisten dengan do’a qunud, niat usholli dalam setiap shalat, memperingati Maulud Nabi Muhammad Sallahu ‘Alaihi Wasalam, peringatan Isra’ Mi’raj, tahlilan, membaca Yaasin tiap malam Jum’at. Kalau tidak percaya, silahkan datang dan mengikuti pengajian rutin di Markas FPI, Petamburan, Jakarta Pusat. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN – KEMBALI ke saya yang “berperang” di FB gara-gara penutupan paķsa lapo tuak di Deli Serdang, Sumatera Utara, saya perlu menuliskan banyak hal. Tidak hanya ke saya dan umat Islam, mereka bahkan menuduh Kapolda Sumut Martuani Sormin yang terlalu cepat-cepat menyelesaikan persoalan dengan sejumlah tokoh agama dan tokoh masyarakat Sumatera Utara. Penyelesaian persoalan di luar jalur hukum itu membuat mereka tidak respek atau simpati kepada Martuani Sormin yang juga Kristen. Saya mencoba menjelaskan betapa tokoh masyarakatmengutamakan kepentingan yang lebih luas. Pak Kapolda lebih mengutamakan penyelesaian di luar jalur hukum karena itu dibenarkan sepanjang yang bertikai mau (asalkan tidak sampai ada korban, terutama korban jiwa). Saya jelaskan seperti itu, mereka malah menuliskan kalimat, “Dasar alumni 212.” Saya pun menjawabnya dengan tegas bahwa saya peserta demo 2-12-2016 (atau terkenal 212). Setiap kali reuni pun saya ikut. Insya Allah, jika reuni digelar tiap tahun, saya akan hadir sepanjang saya sehat dan masih hidup. Demo yang dilakukan untuk memenjarakan Basuki Tjahya Purnama atau Ahok si penista Al-Qur’an dan agama Islam. Bahkan, demo sebelum 212 pun saya sudah ikut, yaitu demo 4-11-2016 atau demo 411 yang sempat memanas, karena massa peserta disusupi provokator. “Ya saya peserta dan alumni 212. Apa ada yang salah? Itulah demokrasi. Demontrasi atau unjuk rasa dijamin undang-undang. Coba Anda bikin juga demo tandingan seperti 212, tidak ada masalah,” tulis saya. Maka keluarlah kalimat peserta demo bayaran, nasi bungkus dan demo anarkis dari lawan saya berperang di FB. Saya jawab, yang membayar dan dibayar siapa? Yang suka rebutan nasi bungkus siapa? Yang anarkis siapa? Kalau demo bayaran dan rebutan nasi bungkus, itu sangat tidak masuk akal. Yang datang dari berbagai daerah, mulai dari Sabang sampai Merauke. Ada yang menggunakan pesawat (peserta dari Sumatera Barat malah ada yang mencarter pesawat), naik kapal laut, naik kereta api, menggunakan bus, baik carter maupun sendiri-sendiri, mobil pribadi, sepeda motor dan naik sepeda. Bahkan, ada yang berjalan kaki (peserta dari Ciamis jalan kaki 2 hari 2 malam hingga sampai ke lapangan Monas). Siapa yang mau bayar peserta yang diakui Presiden Joko Widodo lebih dari tujuh juta orang itu. Ada yang memperkirakan lebih dari 13 juta orang. Perisriwa 212 jelas merupakan gambaran persatuan umat. Sebab, mereka datang dari berbagai organisasi Islam, meski kedatangannya secara pribadi. Mereka yang datang terdiri dari lintas mazab. Jelas menggetarkan musuh Islam. Siapa yang punya uang membayar peserta sebanyak itu? Mulai dari ongkos pergi dan pulang, biaya penginapan ( banyak peserta yang menginap di hotel berbintang- bahkan bintang 5). Ada yang menginap di rumah saudara, teman, di masjid dan juga markas panitia peserta. Bahkan, ada juga yang menginap di sekitar Monas, menggelar tikar atau koran, sekedar alas buat duduk dan tidur. Tentang rebutan nasi bungkus, cerita bohong dari mana lagi. Konsumsi, baik makanan dan minuman berlimpah dan berlebihan. Di pintu Timur Monas dekat Stasiun Gambir, saat acara sudah bubar, saya menemukan tiga truk (truk kapasitas 7 ton) bermuatan air mineral yang belum diturunkan. Menurut seorang sopir truk yang saya tanya, air mineral itu sumbangan dari seseorang yang tidak dia ketahui siapa namanya. Selain yang tiga truk itu, katanya, masih ada 2 truk lagi yang belum bisa masuk. Supir truk itu pun mengatakan bingung, air mineral dalam kemasan botol dan gelas itu diturunkan di mana. Perintahnya, diantarkan untuk keperluan peserta demo di Monas. Padahal, acara sudah selesai. Ya, saya sarankan agar diantarkan/diturunkan di pos-pos panitia saja biar aman. Nah kembali ke makanan, saya dan istri beserta teman-temannya juga membawa makan berupa roti dan air mineral dalam botol. Dua mobil minibus saya, dijadikan mengangkutnya, dengan melipat kursi paling belakang. Makanan dan minuman itu dibeli dari uang patungan emak-emak teman istri saya. Selain membeli makanan dan minuman, masih ada sejumlah uang dari urunan dan pribadi yang saya bawa dan mereka minta disampaikan ke FPI. Sempat saya katakan, disampaikan lewat yang lain saja. Akan tetapi, ada seorang Ibu yang tinggal di Belanda – melalui saudaranya yang tinggal di Tangerang – mengatakan hanya percaya pada FPI. Saya lupa berapa kali si Ibu yang tinggal di Belanda itu menyumbang kegiatan lewat FPI. Belum lagi sumbangan dari teman istri saya sewaktu mereka sama-sama di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1982-1985. Minuman yang kami bawa pun masih tersisa. Kamis malam 1-12-2016 sampai tengah malam saya masih di Markas FPI Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sebagai wartawan yang ingin melihat dan mendengarkan sesuai fakta. Selain itu, saya juga membawa uang untuk disetorkan (saya tak mau sebut angkanya). Tetapi, nolnya 6. Dan malam itu entah sumbangan yang ke beberapa kali yang saya bawa ke Markas FPI. Saya nongkrong di Markas FPI sambil mengamati lalu-lalangnya manusia yang datang dari berbagai daerah, termasuk dari Kalimantan, Papua, Aceh dan daerah lainnya. Juga saya mengamati masuknya bantuan makanan, minuman dan bahkan mantel hujan. Mantel hujan yang merupakan sumbangan dari seorang mualaf itu diperkirakan senilai Rp 50 juta lebih. Ya, mantel itu secara simbolis diberikan kepada pimpinan rombongan peserta yang berjalan kaki dari Ciamis, Jawa Barat. Pemberian secara simbolis itu sebagai wujud apresiasi kepada peserta jalan kaki yang sepanjang perjalanan dari Ciamis sampai Jakarta sering diguyur hujan deras. Saya juga menyaksikan beberapa orang yang menyerahkan sumbangan, baik atas nama pribadi maupun organisasi dan kelompok. Saya juga sempat menyaksikan seorang pria menyerahkan uang Rp 10.000.000. Sang pria tersebut mengaku sekampung dengan Ahok. Akan tetapi, dia hanya mau disebutkan sumbangan dari hamba Allah. Menceraikan Istri Ada peristiwa yang sangat memilukan hati saya yang saya dengar dari pria itu. “Tadi siang, saya baru ceraikan istri saya karena kami berseberangan. Saya tidak suka Ahok meski sama-sama dari Bangka Belitung. Istri saya pendukung berat Ahok. Sudah saya nasihati berulangkali, tapi istri tidak mau. Ya, saya ceraikan talak satu,” katanya. Yang mendengarkan ceritanya itu pun bertakbir dan kemudian mendo’akan agar istrinya sadar mengikuti sang suami dan mereka rujuk kembali. Saya juga berbincang-bincang dengan petinggi FPI dan beberapa peserta yang datang dari daerah. Sekitar pukul 22.30 Habib Rizieq dan rombongan tiba di markas dan ĺangsung menuju rumahnya yang berlokasi di sana. Habib Rizieq dan rombongan baru pulang menyelesaikan rapat koordinasi pelaksanaan aksi demo 2-12-2016 di sebuah tempat. Rapat finalisasi, termasuk pembagian tugas shalat Jumat yang disepakati, khatibnya dari NU (pengikut Imam Syafi’i), imamnya boleh dari Muhammadiyah atau ormas Islam lain dengan cacatan, bacaan Surat Al-Faatihah harus didahului dengan bismillah yang dijaharkan. Informasi itu saya peroleh dari Ketua Umum FPI, Ahmad Sobri Lubis, saat saya dan beberapa orang diajak makan malam di sebuah restoran nasi kebuli, tidak jauh dari Markas FPI."Kita atur seperti itu Bang, karena peserta dipekirakan banyak yang berasal dari pengikut Imam Syafe'i," kata Sobri Lubis. FPI adalah pengikut mazab Imam Syafe’i yang konsisten dengan doa qunut subuh, niat pake usholli pada setiap shalat, peringatan Maulud Nabi Besar Muhammad Saw, peringatan Isyra dan Mi’raj, membaca surat Yaasin malam Jum’at, tahliĺan dan lainnya. Kalau tidak percaya datang saja ke pengajian rutin FPI yang dilakukan secara rutin setiap Ahad pertama tiap bulan dan pengajian setiap malam Rabu atau Selasa malam.(Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior.

Bahar dan Said, Dua Tempat Berkumpul Baru

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Tanpa terasa, akan ada dua ‘icon’ baru di akar rumput. Keduanya akan menjadi ‘rallying point’ (tempat berkumpul) gerakan perlawanan yang alami (natural). Perlawanan yang natural akan melahirkan ‘rallying point’ yang natural juga. Bahar dan Said. Mereka ini sedang dalam penempaan alam. Akan menjadi simbol gerakan penegakan keadilan. Kebetulan sekali, keadilan itu sudah lama dipinggirkan. Oleh para penguasa zalim. Yang dikelilingi oleh tikus-tikus rakus yang sedang ganas memangsa bagaikan laparnya ‘homo homini lupus’. Rakyat sudah lama kehilangan ‘tempat berkumpul’ itu. Sekarang mulai disiapkan oleh kesewenangan. Sebagai ‘side effect’ dari kesewenangan itu. Konsekuensi logis. Begitulah alam bekerja. Patah Tumbuh, Hilang Berganti. Mati Satu, Tumbuh Seribu. Ini yang terjadi sejak para pendahulu Anda berjuang membebaskan bangsa dan negara ini dari para penjajah. Hari-hari ini, gerakan pembebasan muncul lagi. Juga natural. Karena rakyat sedang terjajah kembali. Dijajah oleh kaum sendiri. Penjajahan internal. Tentu ini jauh lebih berat dari perlawanan terhadap penjajahan eksternal. Penjajahan eksternal itu frontal sifatnya. Good causes vs evil forces. Yang haqq lawan yang bathil. Kata para jurnalis: jelas 5W1H-nya. Tidak abu-abu dari segi sosio-kultural. Sehingga, semboyan ‘kami dan kalian’-nya pun tidak meragukan. Kami di sini, kalian dari sana. Tidak begitu halnya dengan penjajah internal. Walaupun, kata orang, hanya berstatus sebagai ‘proxy’ saja. Yang berposisi ‘kalian’ dalam konteks penjajah-terjajah internal, adalah mereka yang sama dan sebangun dengan ‘kami’. Seayah-seibu secara fisik dan sosial-budaya. Itulah sebabnya, di dalam episod gerakan pembebasan kali ini, ‘kami’ tidak sedang berusaha mengusir dan menghancurkan ‘kalian’. Tidak etis. Yang tepat adalah ‘to neutralize’ (menetralkan). Menetralkan adalah ‘melumpuhkan’. Setelah kekuatan jahat itu lumpuh, Anda bisa melakukan langkah-langkah pemulihan kedaulatan rakyat. Plus penegakan keadilan. Terus, mana lebih kuat: penjajah internal atau gerakan perlawanan? Penjajah internal itu lahir dari proses rekayasa. Mereka tidak kokoh. Cuma memang ‘kekeuh’. Sedangkan gerakan perlawanan lahir dari proses seleksi alam. Kalau dipinjam terminologi medis, gerakan perlawanan itu memiliki ‘antibody asli’ yang terbentuk untuk menang. Bukan untuk kalah. Bahar dan Said adalah dua ‘rallying point’ yang natural. Mereka menyimpan banyak potensi. Bukan mereka yang memilih jalan gerakan perlawanan itu. Melainkan alamlah yang menggiring mereka ke arah itu. Sebaliknya, penjajah internal dipilihkan jalannya oleh proses fabrikasi yang di dalamnya berkumpul para designer dan programmer kepentingan kelompok kecil. Oligarki, kata orang. Mereka inilah yang menyutradarai penjajahan internal. Mereka hampir pasti berkolaborasi dengan kekuatan eksternal. Sesuatu yang rasional. Tapi, jangan lupa. Meskipun lahir dari proses fabrikasi, penjajah internal itu memiliki specs yang mampu memperdaya publik. Mereka memiliki ‘casing’ yang bagus. Banyak yang tergila-gila menjadi pengikut. Akibat ketidaktahuan mereka. Atau, akibat terlalu mudah membuang akal sehat. Jadi, silakan simak apakah Bahar dan Said akan terbentuk menjadi dua ‘rallying point’ yang baru. Lihat pula siapa-siapa yang akan terpilah mengikuti gerombolan penjajah internal. Dan siapa-siapa yang beruntung terhimpun ke dalam gelombang perlawanan natural.[] 20 Mei 2020(Penulis Wartawan Senior)

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (3): Dibenci, Makin Banyak yang Masuk Islam

Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta FNN - Islampobia sangat menyakitkan umat Islam. Islampobia inilah antara lain yang dilawan FPI dan jajarannya. Mereka tidak segan melakukan perlawanan baik secara nyata maupun lewat kata-kata (unjukrasa dan dialog). ISLAMPOBIA. Itu awalnya terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Kenapa terjadi? Karena muslim di sana sangat minoritas. Islampobia telah melahirkan banyak hal yang menebarkan kebencian kepada Islam. Islampobia semakin kencang setelah peristiwa pengebomam WTC di New York, Amerika Serikat, pada 11 September 2001 atau dikenal dengan sebutan peristiwa 11/9. Sejak peristiwa itu, kebencian terhadap agama Islam dan umatnya terus meningkat. Bahkan, tidak lama setelah peristiwa 11/9 itu, beberapa swalayan dan pompa bensin milik umat Islam di New York dan Washington DC menjadi korban pelampiasan kebencian itu. Ada swalayan yang disiram dengan darah babi dan berbagai macam bentuk lainnya. Secara terus-menerus kebencian terhadap agama Islam dan umatnya terus ditebarkan oleh penganut Yahudi, Kristen dan golongan ateis di berbagai negara Eropa dan Amerika Serikat. Kebencian terhadap Islam bermacam-macam. Ada yang menghina Nabi Muhammad Sollollohu 'alaihi wasallam melalui karikatur, pendeta di Amerika Serikat yang membakar Al-Qur'an, melempari masjid dan memecahkan kacanya dan juga pelecehan kepada muslimah yang memakai jilbab. Akan tetapi, kebencian yang mereka tebarkan itu jelas semakin membuahkan hasil bagi umat Islam. Semakin mereka membenci semakin banyak orang yang mempelajari tentang Islam dan akhirnya masuk Islam atau menjadi mualaf. Saya sebutkan lima orang pembenci Islam di Amerika Serikat dan Eropa akhirnya masuk Islam. Sebelum masuk Islam, kelimanya percaya bahwa Islam adalah agama yang menebarkan kebencian di dunia. Pertama adalah Daniel Streich. Ia Anggota Partai Rakyat Swiss (SVP) dulunya pembenci Islam yang tenar. Daniel Streich sangat menentang keras pembangunan masjid di negaranya selama kurun 1990-an. Situs islamicbulettin.com melaporkan Streich penganut kristen taat. Dia dibesarkan dengan ajaran Kristiani dan semasa kecil pernah bercita-cita menjadi pastor. Namun ketika remaja niatnya berubah. Ia mulai gemar berpolitik dan tanpa ragu terjun langsung menjadi anggota partai ternama di Swiss. "Banyak perbedaan yang saya dapatkan ketika mempelajari Islam. Agama ini memberikan saya jawaban logis atas pertanyaan hidup penting dan tidak saya temukan di agama saya," katanya. Kedua, Arnoud Van Doorn.Arnoud Van Doorn adalah produser 'Fitna', sebuah film yang menghina Nabi Muhammad yang diluncurkan pada 2008. Secara mengejutkan, pegiat anti-Islam asal Belanda itu kemudian menjadi mualaf awal 2013. Ketiga, Yusuf Estes. Yusuf Estes adalah seorang mualaf asal Amerika Serikat. Sebelum masuk Islam, ia termasuk dalam orang-orang yang mengidap islamophobia.Estes lahir dari keluarga Kristen yang taat di Midwest, Amerika Serikat. Keluarganya secara turun-temurun membangun gereja dan sekolah Kristen. Keempat, Terry Holdbrooks Jr. Ia adalah angota polisi militer Amerika Serikatyang pernah menjadi penjaga penjara Guantanamo.Di penjara inilah militer AS menahan tokoh Al Qaidah dan Taliban yang dianggap paling berbahaya. Holdbrooks bertugas di tempat paling mengerikan di muka bumi ini sepanjang kurun 2002 hingga 2003.Nurani Holdbrooks terusik saat melihat para tawanan itu diperlakukan seperti binatang. Akan tetapi mereka masih tetap senyum. Melihat tahanan yang disiksa tetap tersenyum dan terus berdoa serta membaca Al-Qur'an membuatnya tertarik membaca Kitabullah itu."Al Quran adalah buku yang paling mudah dimengerti di dunia. Isinya simpel. Dia menjadi pembimbing untuk hidup," kata Holdbrooks.Sejak 2005, Holdbrooks berkomitmen masuk Islam. Kelima, Ibrahim Killington. Ia menganggap Muslim adalah penjahat penjahat kemanusian dan ingin ikut menerangi Islam pasca tragedi 11 September 2001. Namun, di tengah upaya untuk bergabung dengan tentara AS, dia malah mendapatkan hidayah dari sebuah siaran radio. Pikirannya pun tertarik untuk mempelajari Islam lebih jauh dari apa yang dipahaminya.Akhirnya hidayah turun dan ia pun menjadi mualaf. Masih banyak pembenci Islam yang akhirnya menjadi mualaf. Tidak hanya berasal dari kalangan rendah, tetapi juga dari kalangan berpendidikan, termasuk pastor dan pendeta. Bahkan, dua mantan Duta Besar Vatikan untuk Arab Saudi pun masuk Islam Penjualan Kitab Suci Al-Qur'an semakin laris karena yang bukan beragama Islam membeli, mempelajari dan mendalami kandungannya. Tentu, sebagai umat Islam, dari hati nurani pasti merasa islampobia itu sangat menyakitkan. Jangankan yang ibadahnya bagus, orang yang hanya ber-KTP Islam saja banyak yang marah dan merasa tertantang untuk melakukan perlawanan. Nah, lagi-lagi islampobia inilah yang antara lain yang berusaha dilawan FPI dan jajarannya. Mereka tidak segan melakukan perlawanan baik secara nyata maupun lewat kata-kata. Ketika berdialog dengan Pengurus Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), pada Rabu, 1 September 2010, Habib Rizieq tidak mau menutup-nutupi sikap organisasi yang dikomandoinya terhadap Pendeta Terry D.Jonnes dari Gereja Evangelis, di Dove Outreach World Trade Center, Gainesville, Florida, Amerika Serikat yang akan membakar mushaf Al-Qur'an waktu itu. Rizieq yang berapi-api menyampaikan pidatonya mengatakan, FPI menyerukan kepada umat Islam agar mencari, mengejar dan membunuh semua pelaku yang terlibat dalam pembakaran Al-Qur'an itu. Catat ya, yang dibunuh adalah pelaku pembakar Al-Qur'an. "Yang dibunuh adalah pelaku pembakar Al-Qur'an, karena darah mereka halal ditumpahkan. Dibunuh bukan karena dia Nasrani, bukan karena warga negara Amerika Serikat, tetapi karena dia melakukan penghinaan terhadap agama Islam," katanya. Dia menyerukan agar umat Islam tidak melakukan pembalasan sehina yang mereka lakukan (dengan membakar Injil). Membakar kitab suci Al-Qur'an adalah perbuatan yang sangat hina. Oleh karenanya, jangan lagi dibalas dengan perbuatan hina. Ulah Komunis Kok tahu pertemuan Rizieq dengan pengurus DGI dan KWI itu? Jelas tahu, karena saya mendapatkan tugas dari kantor untuk meliput pertemuan tersebut. (Tentang pertemuan itu, baca buku saya, Suka dan Duka 66 Tokoh Sukses. Ada satu judul, "Habib Rizieq, Pendeta Sering Sowan ke Markas FPI." Ya, banyak yang tidak memahami sepak-terjang Habib Rizieq dan FPI-nya dalam membela Islam dan membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan, banyak juga dari kalangan Islam yang menentang apa yang mereka lakukan, hanya karena membaca, menonton dan mendengarkan sisi negatif yang ditampilkan oleh media. Akan tetapi, tidak sedikit orang yang tadinya membenci dan bermusuhan denga Rizieq dan FPI-nya malah belakangan bergabung menjadi simpatisan. Sebut saja musisi Ahmad Dhani yang sempat "disemprot" FPI gara-gara kalifgrafi berlafaz Allah diinjak-injak saat manggung. Ada lagi Rahmawati Sukarnoputri dan Ratna Sarumpaet yang menuduh FPI intoleran dan anti Pancasila dan akhirnya sering bergabung dengan FPI. Padahal, FPI sama sekali tidak seperti yang dituduhkan selama ini. Mereka sangat toleran, Pancasilais dan bagi mereka Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dibela mati-matian. Sebab, komunislah yang ingin memecah-belah Indonesia. (Bersambung). ** Penulis, Wartawan Senior.

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (2): Minoritas Jangan Adu Domba Umat Islam

Di negara Pancasila ini, umat minoritas sangat dilindungi. Berbeda jika umat Islam menjadi minoritas di suatu negara atau wilayah. Coba Anda ingat perlakuan Budha teroris kepada umat Islam di Myanmar, perlakuan Hindu ekstrimis kepada umat Islam di India. Perlakuan komunis China kepada umat Islam di Ughiur. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN – TIDAK hanya Klenteng yang didatangi anggota FPI maupun Laskar Pembela Islam (LPI) guna melakukan penyemprotan disinfektan – yang dipercaya bisa mencegah dan bahkan mematikan covid-19. Akan tetapi, sejumlah gereja di beberapa tempat pun didatangi oleh anggora FPI. “Islam Garis Keras,” ini tidak segan masuk ke gereja, meski sebagian dari mereka memakai kopiah haji (putih) yang menjadi ciri khas FPI dan simpatisannya. Tentu anggota FPI yang melakukan penyemprotan menggunakan pakaian alat pelindung diri (APD). Bahkan, di Sumatera Utara, pengurus FPI juga membantu membangun rumah seorang Kristen. Rumah boru Ginting di daerah Kabupaten Karo. Nah, kalau FPI itu intoleran, mana mungkin hal itu terjadi. Kalau FPI itu intoleran, mana mungkin ada anggotanya mau masuk gereja dan klenteng. Kalau FPI itu sukanya memusuhi agama lain, mana mungkin juga orang gereja dan klenteng dengan terbuka dan penuh persaudaraan sebangsa dan setanah air mau menerima anggota FPI. Saya tidak bermaksud memuja-muji FPI. Akan tetapi, sebagai wartawan saya tahu sepak-terjangnya karena beberapa kali mendapatkan tugas dari kantor untuk meliput kegiatannya, termasuk wawancara khusus dengan Habib Rizieq Shihab, juga memberitakan kegiatan mereka menjadi relawan saat tsunami melanda Provinsi Aceh Darussalam. Habib Rizieq memimpin langsung anak buahnya di Aceh dan ia beserta petinggi FPI lainnya menginap selama satu bulan di tenda yang dibangun di areal Taman Makam Pahlawan Banda Aceh. Padahal, kalau mau jajaran FPI bisa saja menyewa rumah untuk petinggi FPI yang melakukan tugas kemanusiaan di Banda Aceh. Saya dan teman-teman yang ditugaskan meliput peristiwa tersebut juga menyewa satu kamar rumah sebagai tempat istirahat. Maklum, hotel di Kota Banda Aceh hancur dan kalaupun ada tidak ada yang mau nginap karena tingkat kerusakan yang tinggi. Jika terjadi gempa, dikhawatirkan rubuh. Tapi, bagi saya apa yang dilakukan FPI benar, karena kalaupun mereka bertindak, karena laporan mereka ke polisi biasanya tidak ditindaklanjuti.Misal, dalam kasus yang dulu galak dengan sweeping-nya terhadap tempat hiburan malam atau dugem (dunia gemerlap) di bulan suci Ramadhan. Itu dilakukan tidak lain karena aparat pemerintah berdiam diri terhadap pelaku usaha dunia hiburan yang melakukan pelanggaran jam waktu buka. Misal, sudah ada ketentuan waktu buka sampai pukul 12.00 dinihari, tapi ada yang masih buka sampai pukul 2.00 dan bahkan pukuk 3.00. Sudah dilaporkan ke aparat pemerintah, tapi didiamkan. Seolah ada kerjasama antara aparat pemerintah dengan pengelola dugem. Ya, mungkin karena ada oknum yang juga ikut menikmati setoran atau dalam bentuk apalah. Tegakkan Aturan Belakangan sweeping sudah jarang atau bahkan tidak pernah lagi dilakukan FPI. Hal itu bukan semata karena polisi mengancam akan menindak pelaku sweeping, tetapi karena penegakan hukum terhadap pengelola dugem juga semakin tegas. Habib Rizieq dan petinggi FP senang dengan tindakan tegas aparat pemerintah (baik polisi dan Satpol PP) yang semakin tegas terhadap pelaku pelanggaran. "Kalau aturan ditegakkan, tugas FPI selesai. FPI hanya mendorong penegakan hukum. Tentu selama ini ada risiko yang diterima, termasuk berhadapan dengan preman-preman yang melindungi tempat-tempat hiburan itu," kata Rizieq suatu ketika. Di Jakarta, misalnya, pengelola yang melakukan pelanggaran jam buka di bulan Ramadhan, langsung ditutup usahanya oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan bahkan izin usahanya dicabut secara permanen oleh Gubernur DKI Jakarta. Hal yang sama juga terjadi di Kota Tangerang, Depok, Bekasi, Bogor, Bandung dan kota-kota lainnya yang mayoritas berpenduduk muslim. Kalau di kota yang muslimnya minoritas, seperti Pematang Siantar, Tarutung, Gunung Sitoli (Sumatera Utara), Manado (Sulut), Jayapura (Papua), misalnya, tidak ada masalah buka sampai pagi sekali pun. Termasuk di Bali yang mayoritas Hindu, tidak masalah buka sepanjang malam. Selama pemerintah setempat mengizinkannya. Makanya, “Jangan ajari saya dan umat Islam tentang toleransi.” Di Negara yang berdasarkan Pancasila ini, umat minoritas sangat-sangat dilindungi. Akan tetapi sebaliknya, jika umat Islam menjadi minoritas di suatu negara, hampir dipastikan Islam akan diinjak-injak, dibunuh, disiksa dan diperkosa. Ruang gerak mereka beribadah terbatas, karena selain aturan pemerintahnya juga karena banyak penduduknya yang rasis dan islampobia. Anda tidak percaya? Coba ingat kembali bagaimana umat Islam diperlakukan oleh umat Budha teroris di Myanmar. Coba baca dan ingat kembali perlakuan umat Hindu ekstrimis India kepada umat Islam. Coba ingat kembali perlakuan pemerintah komunis RR China kepada kaum muslim minoritas di Ughiur. Belum lagi perlakuan Amerika Serikat dan sekutunya yang memerangi umat Islam di Afghanistan atas nama melawan teroris. Memerangi Irak atas nama atau tuduhan membangun senjata nuklir dan senjata pemusnah massal (sampai sekarang tidak terbukti). Memerangi Libya dan lainnya. Dalihnya macam-macam, meski sebenarnya alasan yang kuat adalah tidak suka negara yang mayoritas Islam maju. (Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (bagian 1): FPI Ormas yang Sangat Toleran

Habib Rizieq bukan kabur. Dia hanya mau menyelamatkan istri dan anak-anaknya yang diancam dibunuh dan diperkosa. Habib Rizieq tidak takut mati, kapan dan dimana saja. Oleh : Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - TULISAN ini saya buat setelah mengikuti peristiwa penggerebekan atau penutupan lapo tuak di Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara akhir April lalu. Penggerebekan dilakukan masyarakat bersama anggota Front Pembela Islam (FPI) setempat, karena laporan keresahan masyarakat atas lapo tuak yang buka di bulan Ramadhan, bulan suci umat Islam, ke kecamatan dan kepolisian setempat tidak direspon atau ditindaklanjuti Menurut berita yang saya baca di media resmi (bukan media sosial), penutupan paksa lapo (kedai) tuak itu dilakukan karena pemiliknya, seorang perempuan, tidak menggubris permohonan masyarakat sekitar lapo tuak yang mayoritas Muslim agar menutup usahanya, terutama di bulan Ramadhan, bulan suci umat Islam. Bahkan, ada suruhan dari pemilik lapo yang mendatangi pihak FPI, dan diduga menyodorkan sejumlah uang agar kegiatan di kedai itu tetap jalan. Jelas FPI menolak. Sejak kapan FPI mau disogok? Imam Besar Habib Rizieq saja yang dicoba disogok Rp 1 triliun agar membatalkan demo 212 menolak mentah-mentah. Wah, kalau mau disogok, FPI sudah menjadi ormas Islam yang kaya raya, tetapi sudah pasti dicaci-maki dan ditinggal anggota, pendukung dan simpatisannya. Sejak lama, banyak yang berusaha menyogok FPI. Usaha menyogok datang dari berbagai kegiatan bisnis haram, mulai dari importir minuman keras, importir video porno, bandar narkoba, bandar judi (sewaktu judi masih merajalela), sampai tukang sabung ayam. Nah, di media sosial, pihak yang membela pemilik lapo tuak juga menulis macam-macam, mencoba memojokkan dan mengadu-domba antara FPI dan umat Islam. Mereka dengan keangkuhannya menyebut, "Mana toleransi orang Islam. Mau cari makan saja tidak boleh." Ada lagi kalimat, "Saya tidak benci Islam, tapi saya benci FPI. Bubarkan FPI. FPI tidak punya izin." Yang lebih menyedihkan dan membuat emosi, ada tulisan di medsos yang kalimatnya, "Buka warung nasi dan kopi kok dilarang, padahal pintunya sudah ditutup kain, sehingga orang dari luar tidak dapat melihat (yang makan dan minum di dalam)." Padahal, pemilik lapo, Lamaria Manulang jelas mengakui menjual tuak (minuman yang terbuat dari air aren yang dicampur bahan tertentu, sehingga bisa memabukkan). Alasannya, karena ada supir angkot yang memintanya menjual barang haram bagi umat Islam itu. Katanya, tuak untuk obat corona virus diseade 2019 (Covid-19). Waduh hebat sekali ya. Aneh! Siapa sebenarnya sopir angkot itu? Apakah provokator atau hanya alasan yang dibuat-buat perempuan pemilik lapo? Atau sudah kongkalikong antara pemilik lapo dan sopir angkot. Sudah tahu tuak diharamkan umat Islam, kok masih berani menjualnya, terutama di bulan Ramadhan dan di daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Facebook saya pun habis-habisan diserang pendukung penjual tuak itu. Dari nama-nama dan marganya, saya pastikan semua Nasrani atau Kristen. Makanya, saya sempat mengirim pesan ke WA Grup, "Saya lagi 'berperang' melawan kelompok B-3." Mereka menyerang dari berbagai penjuru. Mulai dari kata-kata menuding saya pendukung khilafah, pendukung FPI, alumni 212, tidak toleran, kok puasa tidak sabar dan macam-macam. Bahkan menuduh saya seorang radikal. Saya akan mulai dari uraian atas tuduhan mereka tidak toleran atau intoleran dari FPI, umat Islam dan saya. Saya selalu menjawab, betapa indahnya toleransi itu jika masing-masing memahami makna dan artinya. Saya juga sering menjawab, "Jangan ajari saya toleransi." Toleransi dalam pandangan saya memiliki makna yang luas dan dalam. Tidak hanya dalam beragama, tetapi toleransi itu juga menyangkut hubungan antar suku, ras dan golongan. Bahkan, toleransi itu bagi saya juga menyangkut hubungan keluarga, hubungan antar partai dan seterusnya. Sebab, jika makna toleransi itu hanya pada agama, artinya pemahamannya sangat dangkal dan sempit. Apalagi cuma toleransi antar umat beragama. Padahal, ada juga toleransi inter (sesama) umat beragama. Dalam Islam, toleransi sudah dipupuk antara pengikut Mazab Imam Hanafi, Mazab Imam Maliki, Mazab Imam Syafi'i dan Mazab Imam Hambali. Dalam praktik sehari-hari, toleransi antara muslim yang bergabung dalam Nahdhalatul 'Ulama atau NU sebagai pengikut Imam Syafi'i dan Muhammadiyah sebagai pengikut Imam Hambali terus dipupuk dan dibina. Di dalam keluarga saja, misalnya kita harus toleran, saling mengerti dan saling memahami. Jika tidak toleran (misal, suami seenaknya pada istri dan anak-anak), bisa dipastikan ikatan keluarga itu cepat bubar. "Bapaknya kejam, suka mukul, suka berkata kasar dan lain-lain," begitu saya beberapa kali merekam perbincangan dengan wanita yang bercerai dengan suaminya. "Jangan ajari saya toleransi," demikian kalimat yang hampir selalu saya tulis untuk menjawab serangan dari kaum radikal kafir Kristen ke Islam dan saya melalui FB. Kelompok yang menyerang saya menulis beragam kalimat yang sangat menyakitkan dan melukai umat Islam. Saya tahu, mereka memancing saya agar emosi. Akan tetapi, selalu saya jawab dengan kalimat yang logis dan masuk akal. Misalnya, ketika mereka menyebut pimpinan kadrun (kadal gurun, bagi kelompok 212), saya jawab apa adanya. "Pimpinan kadrun (maksudnya Habib Rizieq Shihab), kabur ke luar negeri. Tidak berani pulang. Takut ya dan kalimat lainnya," tulis salah seorang pemilik akun FB. Saya cuma menjelaskan, "Habib Rizieq bukan kabur. Dia hanya mau menyelamatkan istri dan anak-anaknya yang diancam dibunuh dan diperkosa. Habib Rizieq tidak takut mati. Siap kapan dan di mana pun dibunuh. Akan tetapi, istri dan anak-anak (semua anaknya perempuan) takut dan trauma," jawab saya. Sama halnya saya dan Anda. Kalau cuma diancam dibunuh saya tidak takut, mungkin juga Anda. Tapi kalau sampai istri dan anak Anda diancam dibunuh dan diperkosa, Anda masih berpikir bagaimana menyelamatkan mereka. Lagi pula, cukup wajar dalam setiap pertikaian politik, seseorang yang berseberangan dengan pemerintah mengasingkan diri. Coba banya cerita Nelson Mandela, pemimpin oposisi Filipina, pemimpin oposisi Myanmar dan lain-lain yang mengasingkan diri demi perjuangan menegakkan kebenaran. Intoleran masuk klenteng Kok tidak lapor ke polisi? Percuma melaporkannya. Sebab, ruang zikir Habib Rizieq di Pesantren Mega Mendung, Puncak, Bogor Jawa Barat yang ditembaki orang tidak dikenal dan sudah dilaporkan, tidak ada kelanjutannya. Belum lagi saat Habib Rizieq ceramah di daerah Cawang, Jakarta, dua mobil penuh bensin (satu sudah terbakar) dan meluncur ke arah jamaah dan panggung) juga tidak ada kelanjutannya. Tentang kalimat mereka yang menulis , "Saya tidak benci Islam, tapi benci FPI apalagi izinnya tidak diperpanjang." Saya jawab bahwa berdasarkan undang-undang, tidak diperlukan perpanjangan izin sebuah ormas (organisasi kemasyarakatan) apa pun, tidak hanya FPI. "Jika Anda benci FPI berarti benci Islam juga," tulis saya. Ketika mereka mengeluarkan video ada orang ceramah memakai peci putih, pake koko dan kain sarung menyebut FPI tidak perlu, saya pun mengirimkan video anggota FPI yang melakukan penyemprotan disinfektan di Klenteng, Petak 9, Jakarta. Kalau FPI tidak dibutuhkan dan intoleran, apakah pengelola klenteng akan membiarkan mereka masuk? (Bersambung).** Penulis, Wartawan Senior.

ANTISIPASI WABAH VIRUS CORONA ATAS JATUHNYA BULAN HARAM - 2

Oleh Mochammad Sa'dun Masyhur Jakarta, FNN - Tulisan sebelumnya telah diuraikan siklus perubahan alam dan hubungannya dengan perhitungan atas jatuhnya bulan haram, khususnya bulan Rajab, sebagai bulan ke 7 dalam urutan kalender hijriyah. Ternyata bulan Rajab ini, yang sekarang masuk di hari ke 12, dalam catatan para ahli astronomi Jawa, ditandai sebagai masa puncak terjadinya penyebaran wabah penyakit yang menyerang seluruh mahluk hidup di dunia. Maka dengan pertimbangan telah teridentifikasinya pasien suspect virus corona di Indonesia yang diumumkan resmi Presiden 3 hari lalu, judul tulisan ini sedikit digeser menjadi, Antisipasi Wabah Virus Corona, Atas Jatuhnya Bulan Haram. Aspek yang sangat menarik dari QS. 9. Attaubah, ayat 36 yang menerangkan tentang perhitungan 4 bulan haram, persis pada bagian tengah ayat itu memuat larangan agar manusia tidak menthzolimi nafs (sebagai sel-sel genetik), dirimu sendiri, (falaa tathzlimuu fiihinna anfusakum). Kandungan ayat di atas relevan dinyatakan berhubungan dengan perihal menjaga kesehatan nafs. Dan dijamin dapat dibuktikan secara ilmiah, bahwa nafs yang dimaksud Alquran adalah sel genetik. Dunia medis menemukan bahwa pada setiap makhluk hidup, memiliki materi genetik yang terdiri atas kromosom, gen, DNA, dan RNA, yang akan diturunkan melalui proses reproduksi. Struktur sel genetik adalah suatu molekul besar kompleks yang saling berpilin membentuk heliks ganda, berupa polimer dari ratusan hingga ribuan nukleotida. Setiap nukleotida ini terdiri dari: gula pentosa deoksiribosa, gugus fosfat, dan basa nitrogen. Dalam kaitan itu, otomatis unsur-unsur lain yang bertentangan dan berlebihan, utamanya unsur gula apalagi sintetis, lemak jenuh dan polutan atau radikal bebas akan merusak sel genetik. Tentang muasal nafs sebagai sel genetik ini, sepenuhnya diciptakan dan berasal langsung dari Allah SWT. Untuk pertama kalinya nafs itu diciptakan, bersamaan dengan penciptaan Adam dan istrinya, yang dinyatakan Alquran sebagai min nafsin wahidatin, tepat dimaknai sebagai sebagian daripada sel-sel genetik yang tunggal. Fakta temuan mutahir berkaitan dengan bahan sel genetik di dunia, sangat mengejutkan. Ternyata nafs semula, memang bukan berasal dari bumi. Fakta itu diketahui dalam Prosiding National Academy of Sciences, (Nov 2019). Dalam jurnal ilmiah itu, Furukawa, seorang ilmuwan dari Universitas Tohoku, Jepang menyatakan, bahwa untuk pertama kalinya ilmuwan menemukan gula dan blok bangunan penting kehidupan, termasuk asam amino (komponen protein) dan nukleobase (komponen DNA dan RNA) pada meteor yang jatuh ke bumi. Subhanallah. Sayangnya dalam kesempatan sempit ini tidak mungkin membahas secara menyeluruh perihal nafs, yang disebut Alquran sebanyak 198 kali itu. Semoga Allah melimpahkan keberkahan umur, untuk membahas bersama, setelah menyelesaikannya dalam bentuk buku, yang sudah separo jalan. Setidaknya dari jejak ayat sebelumnya, pada QS. 9. Attaubah, ayat 35, menyebut secara eksplisit bagian lambung (junuub), tulang belakang (thzuhur) dan dahi (jibah, sebagai pelindung), merupakan bagian-bagian tubuh, penentu dalam mekanisme dan metabolisme pertumbuhan atau kerusakan sel genetik, yang berujung kematian (kullu nafsin dzaaiqotul maut). Mengingat berbahayanya kerusakan sel genetik tersebut, beriring dengan keterangan awal ayat itu tentang siksa neraka jahanam, pada ujung ayat yang sama disampaikan ancaman yang keras. “Inilah harta benda (nutrisi) yang kamu simpan (berlebihan) untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (sakit akibat kerusakan nafsmu itu), karena apa-apa yang kamu simpan sendiri." Dari berbagai keterangan di atas dan berkaitan dengan kandungan ayat yang menerangkan tentang jatuhnya bulan haram serta mewabahnya virus corona di dunia, prinsip utama amalan yang tepat dilakukan kaum muslimin adalah semua amalan, yang dapat menjaga kesehatan nafs sebagai sel genetik. Adapun secara spesifik, untuk menghadapi mewabahnya virus corona, berikutnya akan disampaikan beberapa hal penting antisipatif, BERSAMBUNG #SERI 3 (TERAKHIR) Penulis adalah Holistic Healing Consulting, Expert and Inventor Medical Quran, tinggal di Bogor, Indonesia.

PM India Narendra Modi, Ekstremis Hindu dengan Ideologi Fasis

By Asyari Usman Jakarta, FNN - Amukan virus Corona sudah sampai ke 84 negara. Indonesia baru konfirmasi dua kasus, Senin (2/3/2020). Ketakutan dunia pada virus ganas ini membuat isu-isu penting domestik dan internasional menjadi tertutupi. Di antara yang terabaikan media di Indonesia adalah kerusuhan anti-Islam di India. Kerusuhan di Delhi, ibukota India, pada 27/2/2020 yang menewaskan lebih 49 orang (sebagian besar warga muslim), adalah peristiwa yang ‘diinginkan’ oleh Perdana Menteri (PM) Narendra Damodardas Modi. Dia ‘merestui’ itu. Tidak tepat disebut ‘kerusuhan’. Sebab, massa ekstremis Hindu-lah yang melancarkan serangan membabibuta terhadap kaum muslimin. Massa ekstremis Hindu membakar sejumlah masjid dan pertokoan milik orang Islam. Mengeroyok warga muslim yang tidak bersenjata. Hebatnya, Polisi di Delhi hanya berdiam diri. Tidak melakukan pencegahan. Bahkan mereka ikut meneriakkan slogan-slogan anti-Islam bersama massa ekstermis Hindu. Ada juga kabar yang menyebutkan bahwa polisi melakukan tindakan brutal terhadap madrasah-madrasah milik kaum muslimin. PM Narendra Modi adalah ‘arsitek’ penyerangan warga muslim. Dalam arti, kerusuhan itulah yang dia dambakan. Terlihat jelas dari reaksi Modi yang bungkam berhari-hari selama kerusuhan itu berlangsung. Modi pasti sadar akan terjadi kerusuhan. Dia tahu peris perubahan konstitusi India yang dipaksakan melalui parlemen yang dikuasai partainya, BJP (Bharatiya Janata Party), akan menyulut reaksi keras umat Islam. Amandemen yang diprakarsai Modi mendiskrimanasikan 200 juta umat Islam di India. Dengan amandemen itu, semua warga minoritas dari negara-negara tetangga India yang menganut agama Hindu, Budha, Kristen, Jain, Sikh dan Parsi dimudahkan menjadi warga negara India begitu mereka masuk sebagai pencari suaka atau alasan lain. Sedangkan orang Islam tidak diberi hak itu. Kemudian, parlemen yang dikuasai Modi juga mengubah status otonomi Kashmir yang berpenduduk mayoritas muslim. Status otonomi itu dicabut. Sebegitu jahat agenda Modi. Amandemen konstitusi yang menyudutkan warga Islam ini menyulut aksi. Unjukrasa terjadi di mana-mana selama tiga bulan belakangan. Apa yang menyebabkan PM Modi anti-Islam dan terinspirasi fasisme? Kronologinya simpel saja. Modi adalah penganut paham ekstrem Hindu. Bagi dia, di India hanya Hindu yang boleh ada. Itulah isi kepala Modi. Itulah keinginan natural politisi Hindu esktremis tsb. Dia mendambakan pelenyapan kelompok-kelompok minoritas di India. Khususnya Islam. Ideologi fasis itu tersemai ketika Modi masih remaja. Dia ikut menjadi anggota Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS). RSS lebih-kurang berarti Orgnasisasi Relawan Nasional. Para pendiri RSS terinspirasi oleh gagasan fasisme Adolf Hitler di Jerman dan Bennito Mussolini di Italia. Hitler dan Mussolini ingin menjadikan negara mereka tanpa golongan minoritas. Narendra Modi merasa cocok dengan RSS. Dia masuk ke ormas ini sejak 1971. Masih berusia 21 tahun. RSS adalah ormas yang melakukan kerja-kerja yang membantu kaum miskin Hindu di India. Tujuan politik RSS adalah menjadikan India sebagai ‘negara Hindu’ (Hindu Rashtra) berdasarkan ‘Hindutva’ (Hinduness atau kehinduan). RSS memang berpotensi mencapai cita-cita ini. Mereka punya jutaan anggota semi-militer aktif (paramilitary). Mereka terlatih dengan disiplin militer dan memiliki sturktur kemiliteran. Pada 2014, anggota RSS antara 5-6 juta orang. Modi ‘merintis’ Hindu Rashtra ketika dia menjadi Menteri Besar (Chief Minister) di negara bagian (provinsi) Gujarat pada 2001. Pada 2002, terjadi kerusuhan antara orang Hindu dan warga muslim yang menyebabkan lebih 1,000 warga muslim terbunuh. BJP dan sekutunya Vishwa Hindu Parishad (Dewan Hindu Dunia atau VHP) menghasut massa Hindu agar menghajar umat Islam. Modi sendiri waktu itu melecehkan umat Islam yang sedang berada di kam-kam pengungsian. Inilah yang diuraikan oleh Rana Ayyub, wartawan India yang menulis buku “Gujarat Files: Anatomy of A Cover Up”. Ketika itu Rana berusia 19 tahun dan ikut menjadi relawan yang membantu warga muslim korban pembantaian Gujarat 2002. Rana menulis tentang Narendra Modi, “I have witnessed his lust for power and his ease with bloodshed from close quarters.” (Saya menyaksikan nafsu kekuasaannya dan rasa senang dia melihat pertumpahan darah). Kata Rana, Modia sampai sekarang tidak pernah merasa bersalah dalam peristiwa pembantaian Gujarat itu. Dia tak pernah menyebut-nyebut kerusuhan itu apalagi meminta maaf. Itulah sekilas tentang fasisme pikiran Narendra Modi. Dia ikut pemilihan parlemen nasional atau Lok Sabha pada 2014. BJP menang. Modi dilantik menjadi PM. Di periode kedua jabatannya sebagai PM sejak dilantik Mei 2019, Modi unjuk kekuatan. Dia menang besar di pemilu 2019 itu. Dia semakin yakin bahwa melenyapkan Islam dari India adalah target yang didukung sebagian besar umat Hindu. Modi berhasil membentuk umat Hindu basis pendukungnya menjadi akar rumput yang ekstrem dan brutal. Modi adalah ekstremis Hindu yang memainkan sentimen nasionalis-Hinduisme. Jelas sekali dia naik menjadi PM melalui jalur ekstremisme Hindu yang menghendaki pembentukan negara Hindu India tanpa Islam. Dia adalah ekstremis Hindu yang bermuka dua. Dia memang sangat lihai melakonkan muka dua itu. Terutama di depan para pemimpin asing, khususnya para pemimpin dunia Islam, yang bertamu ke India atau ketika dia bertamu ke negara-negara lain. Di pentas internasional, Modi memoles ekstremisme Hindu di wajahnya menjadi seorang negarawan palsu. Dia pandai berkomunikasi dengan para kepala negara dan pemerintahan asing. Seolah dia bukan seorang yang bergagasan fasis anti-Islam. Para pemimpin negara Islam kemudian memuliakan Modi dengan penghargaan tertinggi. Termasuk dari Palestina, Uni Emirat Arab (UAE), Afghanistan, Arab Saudi, dst. Dia juga dipilih sebagai tokoh yang berpengaruh oleh sejumlah media besar di dunia, termasuk majalah TIME untuk 2014, 2015, dan 2017. Majalah Forbes pada 2015. Begitu juga CNN-IBN pada 2014. Bloomberg pada 2015. Semua penghargaan itu tak pantas untuk pikiran kotor fasisme PM Modi. Dia tak layak disebut negarawan. Tangannya berlumuran darah umat Islam di India. Para pemimpin internasional dan dunia Islam harus disadarkan tentang ideologi fasis Narendra Modi.[] 5 Maret 2020 Penulis wartawan senior.

Gaduh Daur Ulang Salam Pancasila

Oleh Dimas Huda Jakarta, FNN - Belakangan ini jagat media sosial diramaikan meme dan sindiran “salam Pancasila”. Hal ini sebagai respon pernyataan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi, yang konon ingin mengusulkan penggantian salam “assalamu’alaikum” dengan “salam Pancasila”. Ada karikatur pasangan suami istri memijat bel di luar pintu sambil sang suami mengucapkan “salam pancasila…salam pancasila” ketika tidak ada jawaban, si istri berkomentar “mungkin kita ini dikirain sarap..pi”. Ada video juga ketuk-ketuk “salam Pancasila” berulang ulang tak ada jawaban. Akhirnya ia bilang “mungkin ini bukan orang Indonesia..tak cinta Pancasila” sambil balik pergi. Lalu, beredar pula meme “jika ada yang berucap salam pancasila maka jawabnya salam jiwasraya, salam bpjs, salam asabri, salam jual BUMN, salam devisit dan ngutang”. Kesannya memang heboh. Persoalannya, benarkah Yudian mengusulkan untuk mengganti ucapan assalamualaikum dengan salam Pancasila? Pada Sabtu, melalui keterangan tertulis, BPIP menyampaikan tidak pernah mengusulkan penggantian “assalamualaikum” dengan “salam Pancasila”. Direktur Sosialisasi, Komunikasi, dan Jaringan BPIP, Aris Heru Utomo, menjelaskan maksud ucapan Kepala BPIP itu tidak sebagaimana yang diartikan banyak orang saat ini. Usul penggantian “assalamualaikum” dengan “salam Pancasila” boleh jadi diambil dari pernyataan Yudian saat wawancara dengan Detik.com. Wawancara itu didokumentasikan dalam sebuah video yang diunggah oleh Detik.com pada Rabu 12 Februari 2020 pada artikel yang berjudul "Blak-blakan Prof Yudian Wahyudi: Kepala BPIP Sebut Agama Jadi Musuh Terbesar Pancasila". Video wawancara itu berdurasi sekitar 39 menit. Framing yang dilakukan oleh sejumlah situs tentang "usulan mengganti “assalamualaikum” dengan “salam Pancasila" berasal dari menit 29:05 video tersebut. Dialog itu dimulai dengan pertanyaan dari host terkait dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1978-1983, Daoed Joesoef. Pertanyaan itu merupakan lanjutan dari dialog sebelumnya tentang bagaimana mewujudkan persatuan di tengah kemajemukan agama. "Saya teringat dengan catatan Prof. Daoed Joesoef, mantan Mendikbud. Dia orang Aceh, muslim. Tapi, ketika menjadi menteri, tidak pernah sekalipun mengucapkan Assalamualaikum di hadapan publik. Tapi, ketika pribadi, dia fasih betul. Mungkinkah nilai-nilai semacam Daoed Joesoef itu diterapkan lagi oleh pejabat kita?" demikian pertanyaan yang dilontarkan oleh host Detik.com . Berikut ini jawaban lengkap Yudian yang ditranskrip dari video wawancara Detik.com: "Dulu, kita sudah mulai nyaman dengan selamat pagi. Tapi, sejak Reformasi, diganti dengan Assalamualaikum. Total, maksudnya dimana-mana. Tidak peduli deh ada orang Kristen, ada orang Hindu, pokoknya hajar aja. Karena ini mencapai titik ekstremnya, maka sekarang muncul kembali. Kalau salam, harus lima atau enam (sesuai jumlah agama yang diakui di Indonesia). Ini kan jadi masalah baru lagi sebenarnya. Sekarang, sudah ditemukan oleh Yudi Latif atau siapa begitu, yang namanya salam Pancasila itu. Maksudnya kan sudah sangat jelas. Jadi, salam itu maksudnya mengucapkan permohonan kepada seseorang sekaligus mendoakan agar selamat. Kalau bahasa Arabnya ya assalamualaikum. Sekarang, kita ambil contoh, ada hadis, 'Kalau Anda jalan, ada orang duduk, Anda harus mengucapkan salam.' Itu kan maksudnya adaptasi sosial. Sekarang, itu saya ulang. Anda kan sudah di zaman industri, zaman teknologi. Kalau mau membalap pakai mobil, salamnya gimana coba? Kan pakai lampu atau pakai klakson. Jadi, kita akan menemukan kesepakatan-kesepakatan, katakan haruslah. Kalau sekarang, kira-kira untuk mempermudah, kita perlukan kembali seperti yang dikatakan Pak Daoed Joesoef. Di dalam public service, cukup dengan kesepakatan nasional. Misalnya, salam Pancasila, umpama. Ini yang perlu dipikirkan hari-hari ini, daripada ribut itu para ulama, 'Kalau kamu ngomong shalom, itu berarti kamu jadi orang Kristen.' Karena yang begitu-begitu sensitif bagi muslim. Padahal, mendoakan orang kan boleh-boleh aja. Wong Nabi Muhammad saja pernah mendoakan raja Kristen kok. Dia meninggal, didoakan, disalati oleh Nabi. Ada unsur kemanusiaannya di situ. Kita juga begitu. Mestinya, ngomong 'shalom' ke orang Kristen tidak ada masalah teologis wong itu hanya untuk menyampaikan supaya kita damai kok. Bagi orang Kristen, mengucapkan salam kan juga tidak menjadi bagian keyakinan teologisnya. Itu kan katakan kode etik sosial yang tidak masuk ke dalam akidah. Kalau kita bisa pahami itu kan tidak ada masalah." Menyimak jawaban Yudian dalam wawancara tersebut maka sejatinya mengganti “assalamualaikum” dengan “ salam Pancasila” sekadar wacana untuk merespon pertanyaan wawancara terkait problem yang tengah dihadapi oleh bangsa ini. Selain itu, Yudian tidak menitikberatkan ucapannya pada salam umat Islam, Assalamualaikum, melainkan juga pada salam umat Kristen. Selamat Pagi Pernyataan Yudian soal salam ini bukan yang pertama mengundang polemik. Pada 1987 K.H. Abdurrahman Wahid sudah diberitakan seperti itu. Majalah Amanah memuat wawancara dengan Gus Dur yang seolah-olah akan mengganti “assalamualaikum” dengan “selamat pagi, selamat sore, dan selamat malam”. Wartawan dan sastrawan, Ahmad Tohari, sempat mencoba meluruskan bahwa apa yang dikatakan Gus Dur tidak persis seperti itu. Kala itu Ahmad Thohari adalah anggota Dewan Redaksi Majalah Amanah. Ia mendengarkan rekaman wawancara wartawan Amanah, Edy Yurnaedi, dengan Gus Dur secara utuh. Intinya, menurut Tohari, Gus Dur mengatakan kemajemukan di dalam masyarakat muslim di Indonesia sudah menjadi kenyataan sejak berabad lalu. Meskipun sebagian besar umat Islam Indonesia menganut Mazhab Syafi’i namun ada juga yang mengambil mazhab lain. Bahkan penganut Islam Syi’ah, Ahmadiyah, abangan pun ada. Menurut Gus Dur, tingkat penghayatan umat pun amat bervariasi dari yang hanya berkhitan dan bersyahadat waktu menikah sampai yang bertingkat kiai. Namun, ujar Gus Dur, kemajemukan itu harus tetap terikat dalam ukhuwah islamiyah atau ikatan persaudaraan Islam. Artinya, sesama umat Islam yang berbeda aliran maupun tingkatan pemahaman seharusnya saling menyambung rasa saling hormat. Gus Dur sangat tidak suka terhadap istilah Islam KTP atau Islam abangan. Baginya, semua orang yang sudah bersyahadat dan berkelakuan baik ya muslim. Mereka yang ketika bertamu masih memberi salam dengan ucapan kula nuwun (Jawa), punten (Sunda) atau selamat pagi, ya muslim karena syahadatnya. “Kalau begitu Gus, ucapan assalamu alaikum bisa diganti dengan selamat pagi?” tanya Edy Yurnaedi. “Ya bagaimana kalau petani atau orang-orang lugu itu bisanya bilang kula nuwun, punten atau selamat pagi? Mereka kan belum terbiasa mengucapkan kalimat dalam bahasa Arab kayak kamu?” Itulah inti pendapat Gus Dur dalam wawancara dengan Edy Yurnaedi. Menurut Ahmad Tohari, Edy mengusulkan wawancara itu dengan penekanan bahwa Gus Dur menganjurkan mengganti assalamu alaikum dengan selamat pagi. Alasannya, Majalah Amanah yang kala itu baru berumur satu tahun harus membuat gebrakan dalam rangka menarik perhatian pasar. ” Kan nanti Gus Dur akan membantah. Dan bantahan itu kita muat pada edisi berikut. Nah, jadi malah ramai kan? Ini cuma taktik pasar kok,” ujar Edy kala itu. Kafrawi Ridwan yang waktu itu jadi pemimpin redaksi lebih suka mengambil sikap momong kepada yang muda. Maka usul Edy ditawarkan kepada rapat. Tentu ada yang pro dan kontra. Celakanya lebih banyak yang pro. Mereka beralasan seperti Edy, cuma taktik pemasaran, dan Gus Dur mereka yakini akan membantah. Dan terbitlah edisi assalamu alaikum itu. Benar saja, masyarakat riuh. Gus Dur menuai kecaman. Oplah majalah terdongkrak. Dan Edy melanjutkan aksinya dengan mewawancarai kembali Gus Dur. Diharapkan Gus Dur akan membantah bahwa dia telah menganjurkan mengganti assalamu alaikum dengan selamat pagi. Tapi Edy amat terkejut ketika Gus Dur dengan enteng menjawab, buat apa membantah. “Biarin, gitu aja kok repot.” Konon pada saat itu oplah majalah Amanah naik. “Hanya saja terjadi fitnah di tengah masyarakat. Secara pribadi saya pernah minta Gus Dur berbuat sesuatu untuk menghentikan fitnah yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tapi dasar Gus Dur. Dia tetap pada pendirian akan membiarkan fitnah itu berhenti sendiri,” ujar Ahmad Tohari. Sayang fitnah itu ternyata berumur panjang. Bahkan sampai saat ini. “Gus Dur sendiri tetap berjiwa besar, tetap bersahabat, meskipun banyak yang terpaksa salah paham. Gus Dur tidak pernah mengusulkan mengganti assalamu alaikum dengan selamat pagi. Untuk hal ini saya akan menjadi saksi bagi Gus Dur,” demikian Tohari, dalam tulisannya berjudul “Kulo Nderek Gus Dur” yang dimuat Suara Merdeka, 2010 silam. Tiada tuhan selain Tuhan Sebelum Gus Dur, ada juga Dr. Nurcholish Madjid yang membuat gaduh karena makalahnya yang menulis kalimah thoyyibah “Laa ilaaha illallaah” diterjemahkan menjadi “tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar). Terdengar unik karena berbeda dari pemaknaan umumnya “tiada Tuhan selain Allah”. Bagi Cak Nur, mengganti kata Allah dengan Tuhan adalah absah karena hanya masalah bahasa yang substansinya sama. Namun, terjemahan ini diprotes oleh seorang peserta seminar dengan menyebut terjemahan itu hukumnya haram. Seminar itu diselenggarakan Harian Pelita di Jakarta, 1 April 1985. Media memberitakannya. Selama setahun lebih hal itu menjadi polemik. Cak Nur juga pernah memunculkan jargon “Islam Yes, Partai Islam, No!” yang kemudian banyak disalahpahami, terutama oleh para aktivis partai Islam. Cak Nur dianggap anti-partai Islam. Pikiran-pikiran Yudian tentang salam Pancasila hanyalah kelanjutan dari apa yang sudah pernah dilontarkan tokoh-tokoh sebelumnya. Dan, lucunya, respon yang dihasilkan sama: gaduh. Penulis wartawan senior.