AGAMA

Denny Siregar dan Penegak Hukum 4.0

by Asyari Usman Jakarta FNN - Senin (14/07). Sekarang menjadi terbalik. Kerugian Denny Siregar (DS) yang justru menjadi perhatian Polisi. Yang menjadi fokus pengusutan. Sedangkan penghinaan atau ujaran kebencian terhadap umat Islam oleh Denny Siregar menjadi hilang. Setidaknya kabur. Polisi mengerahkan seluruh kekuatan terbaiknya untuk memburu pembocor data Denny Seregar. Hasilnya? Dalam sekejap saja dapat ditangkap karyawan lepas (outsourcing) Telkomsel. Dia diduga mengambil data pribadi DS yang viral di medsos. Sangat cepat. Polisi sigap sekali melacak dan menangkap pembocor data. Pria berusia 27 tahun, FPH. Luar biasa hebat operasi penangkapannya. Polisi juga memburu pemilik akun Opposite6891. Jika dilihat dari ketangkasan mereka menangkap FPH, tentulah operasi kedua ini tidak terlalu sulit. Sebaliknya, pengaduan Forum Mujahid Tasikmalaya (FMT) terkait ujaran kebencian yang diucapkan DS terhadap anak-anak pesantren, tak jelas tindak lanjutnya. Sejauh ini DS belum diapa-apakan. Fokus perkara beralih. Sekarang, kebocoran data DS seolah menjadi hal yang jauh lebih penting. Lebih urgen dari pelecehan DS dalam tulisan “Adek2ku Calon Teroris Yang Abang Sayang”. Padahal, ribuan santri dan puluhan pesantren di Tasikmalaya terlecehkan oleh tulisan DS. Kalangan santri menjadi sasaran ujaran kebencian Denny. Polisi sangat serius melayani isu kebocoran data pribadi DS. Menkominfo pun ikut turun tangan. Menteri Jhonny Plate sampai meminta Telkomsel agar melakukan pengusutan. Di kepolisian, tak kurang polisi berbintang langsung menjelaskan perihal penanganan kebocoran data pribadi DS. Tampaknya, keluhan Denny didengar dengan cermat oleh Polisi. Dan langsung mengerahkan tim pemburu. Sebentar saja terduga bisa diamankan. Pastilah bisa kalau Polisi mau. Memang selama ini Pak Polisi selalu mengalami ‘kesulitan’ untuk menangkap para pelaku pidana yang melecehkan, menghina dan membenci Islam dan umat Islam. Ada kesan kalau para pelaku berada di pihak oposisi, sering bisa cepat disergap. Tapi, kalau pelakuknya adalah orang-orang yang masuk rombongan penguasa, mereka cenderung tidak terdeteksi. Susah melacak dan menangkap mereka. Begitulah situasinya saat ini. Selalu saja ada alasan untuk tidak memproses berbagai perkara yang diperkirakan akan merugikan orang-orang yang berada di pihak penguasa. Anda merasakan itu sebagai ketidakadilan. Tetapi, Polisi tampaknya tidak berterawang seperti itu. Bagi mereka, ketidakadilan adalah konsep nilai yang bias (memihak) pada sikap idealis. Sedangkan ‘sikap idealis’ sudah lama ditinggalkan karena tidak ‘updated’ dengan para penegak hukum 4.0. Yang bermakna ‘empat-kosong’, yaitu keempat pundi kewarasan yang tidak lagi diisi dengan nutrisi ‘justice for all’ –keadilan untuk semua. Para penegak hukum 4.0 itu sudah lama menggunakan ‘disposable wisdom’ (kearifan sekali pakai). Inilah jenis kearifan yang bekerja sesuai keperluan dan standar yang koruftif. Para penegak hukum tidak lagi dibekali ‘incorruptible wisdom’ (kearifan yang tak terbeli) –kearifan yang berasal dari pertimbangan yang komprehensif. Kearifan yang sukar digoda. Yang tak mudah tergerus oleh segala bentuk tekanan. Hari ini, publik perlu mengawal kasus ujaran kebencian Denny Siregar. Meskipun Anda semua bisa menebak ‘halte terakhir’ (last destination) pengaduan FMT, tetapi Anda tidak boleh jera. Tidak boleh surut. Kita harus terus berusaha agar penegak hukum 4.0 perlahan bisa direhabilitasi mejadi penegak hukum 5.1. Yaitu, penegak hukum yang pancasilais. Yang mengutamakan sila 1 dari 5 sila di Pancasila. Penulis adalah Wartawan Senior

Denny Siregar Tak Perlu Minta Maaf ke Umat Islam

by Asyari Usman Jakarta FNN – Selasa (07/07). Pegiat medsos pro-penguasa, Denny Siregar (DS), didesak untuk meminta maaf kepada seluruh santri dan kiyai. Dia dituduh menghina dan melecehkan seluruh santri dengan postingan di akun Facebook-nya. Denny membuat judul “Adek2ku Calon Teroris yg Abang Sayang”, sewaktu dia menuliskan ‘nasihat’ kepada anak-anak yang memakai ikat kepala dengan kalimat syahadat. Warga Tasikmalaya, Jawa Barat, merasa terhina oleh postingan DS. Forum Mujahid Tasikmalaya (FMT) melaporkan Denny ke Polres setempat. Nah, perlukan DS meminta maaf? Menurut hemat saya, tidak perlu. Sebab, sedramatis apapun permintaan maaf dia, DS tidak akan berubah dari watak dan sifat aslinya. Sikap asli DS adalah membenci umat Islam garis lurus. Jadi, permintaan maaf DS, kalau jadi dia sampaikan, hanya sekadar basa-basi saja. Dia akan tetap Denny Siregar yang senantiasa berpikir, berbicara, dan bertindak membenci umat Islam. Karena itu, tidak ada gunanya dia meminta maaf. DS tidak akan beranjak dari ‘stand point’ kebenciannya terhadap umat Islam yang berakidah dan bermuamalah berdasarkan Alqur’an dan Hadist Nabi Muhammad Saw. Saya malah menyarankan agar DS melanjutkan saja misi anti-Islamnya. Melanjutkan terus saja aktivitas pelecehannya kepada umat Islam. Mungkin itu lebih baik bagi DS yang telah terbentuk sebagai orang yang tidak suka dengan Islam. Dan juga lebih baik bagi umat Islam. Mengapa? Karena umat bisa tetap terang melihat siapa DS yang sebenarnya. Lagi pula, apakah Anda berharap polisi akan berlaku adil dalam menindaklanjuti pengaduan FMT? Kalau saya tidak. Polisi dan instansi-instansi penegak hukum lainnya tidak akan pernah menegakkan keadilan selagi Denny Siregar sebagai subjeknya. Sudah berkali-kali dia dilaporkan dengan bukti-bukti yang jelas. Tidak ada hasil apa-apa. Dia malah semakin menjadi-jadi. DS adalah orang yang sangat diperlukan oleh para penguasa. Diperlukan dalam misi menghina-hina dan melecehkan umat Islam. Dia juga diperlukan untuk menjilat-jilat penguasa. Diperlukan dalam tugas untuk memancing-mancing emosi umat Islam. DS sangat berguna untuk membalik-balikkan akal sehat menjadi akal sakit. Dia juga diperlukan dalam misi penyebaran kesesatan berpikir dan kesesatan dalam berakidah. Toh, tugas itu telah dilaksanakan dengan sangat baik dan sempurna oleh DS. Telah sukses besar. Jadi, sekali lagi, umat Islam tidak usah mendorong DS meminta maaf. Dan juga tidak usah menerima pemintaan maaf dari dia kalau itu diucapkannya. Toh, dia telah bertekad akan melaporkan balik pelapor kalau tuduhan kepada dia tidak bisa dibuktikan. Artinya, DS tidak akan pernah punya itikad baik terhadap umat yang dilecehkannya. Tidak usah lagi suruh dia meminta maaf. Yang perlu dilakukan oleh umat adalah mencarikan solusi untuk Denny agar dia berhenti menjadi penghina dan pencerca Islam dan umat Islam. Solusi yang siftanya permanen. Yaitu, solusi dekonstruktif yang memerlukan kreativitas umat. Umat harus melakukan dekonstruksi terhadap pemikiran-pemikiran DS. Langkah dekonstruksi itu dapat saja dilakukan melalui dialog langsung dengan beliau dalam bahasa yang abstrak. Langkah itu jauh lebih penting, darpada mendorongnya untuk meminta maaf kepada umat Islam. Saya menduga, Denny lebih cepat memahami bahasa abstrak yang tak beraturan itu. Yang lazim disajikan tanpa kaedah atau norma yang jelas. Hanya dengan cara ini Denny Siregar akan senyap. Semoga berhasil. Penulis adalah Penulis Wartawan Senior

Umat Islam Siaga Satu, PKI Akan Bangkit Lewat RUU HIP

By Asyari Usman Jakarta, FNN (13 Juni 2020) - Umat Islam harus Siaga satu. PKI akan bangkit. Begitulah yang bisa disimpulkan dari maklumat tegas dan keras yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. MUI sangat serius. MUI dari semua provinsi (34 provinsi) menurunkan tanda tangan di maklumat penting ini. Maklumat MUI yang bersuara satu itu berkaitan dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sedang dibahas di DPR. Menurut MUI dalam maklumatnya kemarin (12/6/2020), RUU HIP –kalau disahkan sebagai UU— bisa menjadi landasan hukum untuk membangkitkan kembali paham komunis dan kendaraannya, yaitu PKI (Partai Komunis Indonesia). Untuk itu, MUI mengeluarkan ‘perintah khusus’ kepada umat Islam. Bersegeralah dalam posisi waspada. MUI tidak lagi berbasa-basi. PKI semakin dekat. Itu intinya. MUI melihat situasi dan kondisi yang ada saat ini sama dengan berlomba cepat. Sekali lagi, MUI sangat serius. Mereka mengatakan RUU HIP harus ditolak. Alasan utamanya antara lain bahwa jelas ada upaya untuk meniadakan agama. MUI wajar resah. Misalnya, untuk apa Pancasila harus diperas menjadi Trisila dan kemudian menjadi Ekasila yaitu “Gotong Royong”? Apa urgensinya? Tentu hanya akal-akal simpatisan PKI. MUI menyebut mereka sebagai oknum-oknum yang masih penasaran atau bercita-cita untuk menghidupkan kembali paham komunis dan PKI. Melalui konsep Trisila dan kemudian menjadi konsep “Gotong Royong” itu, agama disetarakan dengan kebudayaan. Inilah yang akan terjadi jika RUU HIP diresmikan menjadi UU. MUI tidak bisa menerima peniadaan Tap MPRS XXV/MPRS/1966 di dalam RUU HIP. Tap MPRS ini melarang PKI dan penyebaran komunisme dan marxisme-leninisme. Bagi MUI, langkah ini sangat jelas tujuannya. Yaitu, untuk menghidupkan paham-paham anti-Islam ini. Penganut komunisme pasti akan menghabisi umat Islam. Maklumat ini tidak panjang. Hanya delapan poin. Poin penutupnya memperingatakan, kalau maklumat tidak dihiraukan maka umat Islam akan bangkit bersatu melakukan upaya menolak paham komunis. Penulis adalah Wartawan Senior

Ibadah Haji Jadi Mainan Karena DPR Hanya Pajangan

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Kamis (04/06). Meski diduga ibadah haji akan tertunda tahun ini, namun pembatalan sepihak dari Kementerian Agama (Kemenag) cukup mengejutkan. Kali ini yang mereaksi keras, justru dari DPR-RI. Alasannya, pembatalan tanpa pembahasan bersama antara Pemerintah dengan Dewan. padahal agenda pertemuan telah dirancang. Kemenag mengambil keputusan "mendahului" pembahasan dengan dewan. Alasan pembenaran yang disampaikan ke publik, karena "diminta oleh Presiden". Jadi, penyebab pengambilan keputusan untuk pembatalan ibadah haji tahun ini adalah Presiden. Pemerintah diduga malah khawatir, jika nantinya Pemerintah Arab Saudi ternyata membuka pintu untuk dilaksanakannya ibadah haji tahun 1441 H ini. Tentu saja dengan keyakinan wabah covid 19 telah teratasi. Kekhawatiran ini dikaitkan pada persiapan atau penggunaan dana haji. Untuk itu, pemerintah mengusulkan agar penggunaan dana haji yang dari APBN dapat digeser dulu. Dialokasikan dulu untuk mengatasi wabah covid 19. Rencana ini telah disetujui oleh DPR, dengan catatan Pemerintah Arab Saudi memang menutup pelaksanaan ibadah haji. Tanpa menunggu kebijakan atau keputusan dari Pemerintah Arab Saudi, Kemenag telah mengumumkan pembatalan ibadah haji untuk tahun ini. Akibatnya Dewan meradang. Terkuaklah bahwa pembatalan ini merupakan permintaan dari Presiden. Ada prediksi, sesuai Perppu No. 1 tahun 2020 yang disetujui DPR menjadi UU No.2 tahun 2020, bahwa penggunaan dana APBN yang dikaitkan dengan penanggulangan Covid 19 tidak perlu mendapat persetujuan dari DPR. Juga tidak perlu dipertanggungjawabkan secara hukum. Timbul pertanyaan, adakah dana haji dari APBN sudah digunakan? Sehingga perlu keputusan sepihak dan tergesa-gesa dari Kemenag untuk membatalkan ibadah haji? Pertemuan Menteri Agama dengan Komisi VIII DPR RI semoga tidak hanya bersifat formalitas belaksa. Pertemuan yang tidak menjadikan pelaksanaan ibadah haji menjadi mainan semata. Keseriusan sangat dituntut. Apalagi sebagaimana Menag sampaikan bahwa pembatalan ini adalah permintaan Presiden. Artinya, Presidenlah yang bertanggung jawab. DPR menyebut sebagai pelanggaran Undang Undang. Haji kini menjadi obyek dari "fait accompli". Mau tidak mau, yang lain harus menyetujui. Sepertinya bakal menjadi kebiasaan Pemerintah dengan mengentengkan posisi Dewan. Beberapa Perppu adalah contoh. Demikian juga RUU yang baru ditetapkan menjadi undang-undang. Menteri Agama tidak cukup dengan meminta maaf karena nasib 200.000 calon jamaah haji yang sudah membayar lunas BPIH yang menjadi kewajiban mereka. Presiden harus diminta keterangan oleh Dewan. Apa alasan Presiden memerintahkan Menteri Agama membatalkan pelaksanaan ibadah haji tahun ini sebelum adanya keputusan rasmi dari pemerintah Arab Saudi? Meminta penjelasan Presiden tentang pembatalan pelasanaan ibadah haji tahun ini adalah bagian dari hak-hak yang dimiliki Dewan. Hak DPR yang diatur secara jelas dalam konstitusi UUD 1945. Penjelasan Presiden ini sekaligus untuk mempertanggungjawabkan kepada rakyat, khususnya calon jama'ah haji. Bahwa covid 19 itu merupakan penyebab semua dapat memaklumi. Akan tetapi kepastian hukum harus terklarifikasi dan terverifikasi. Jama'ah tidak boleh dirugikan. Dana jama'ah itu tidak boleh terganggu dengan alasan apapun. Dana itu sangat besar. Jumlahnya mencapai trilyunan rupiah. Negara tidak boleh mencari kesempatan dalam kesempitan. Urusan kepentingan rakyat, jangan sampai tumbal dari kebijakan pemerintah. Apalagi yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah wajib dalam hukum Islam. Pandemi corona jangan menjadi penghalal atas nama kedaruratan. Setelah Menag mengaku salah atas perintah Presiden, maka selanjutnya Presiden yang mesti dimintai pertanggungjawaban. Pertanyaan beratnya adalah, berani dan punya nyalikah DPR RI untuk melakukan itu kepada Presiden? Inilah keraguan terbesar dari sebagian besar rakyat Republik Indonesia saat ini. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

Ibadah Haji Batal, Uang Jemaah Disandera

Oleh H. Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - PENGUMUMAN pemerintah yang membatalkan keberangkatan jemaah haji tahun 2020 ini bukan berita mengejutkan. Sebab, sejak akhir Maret 2020 yang lalu kerajaan Arab Saudi sudah memberikan tanda-tanda bakal ditiadakannya ibadah haji tahun ini. Masalahnya, tanda-tanda yang disampaikan oleh Menteri Urusan Haji dan Umrah Kerajaan Arab Saudi Muhammad Saleh bin Taher Banten itu, dianggap pemerintah melalui Kementerian Agama salah kutip oleh media. Padahal, sudah jelas Pemerintah Arab Saudi (PAS) meminta atau mengimbau agar umat Islam mengurungkan niatnya menunaikan ibadah haji tahun ini. Jumlah jemaah haji tiap tahun berada pada kisaran 2 sampai 3 juta jemaah dari seluruh dunia. "Kerajaan berkewajiban menjamin keselamatan semua umat muslim yang beribadah di Mekkah dan Madinah," kata Menteri urusan Haji dan Umrah, Muhammad Saleh bin Taher Banten kepada televisi lokal setempat. "Oleh sebab itu, kami meminta semua umat muslim di seluruh dunia untuk menunda perjalanan haji sampai situasinya membaik," katanya dalam wawancara pada 31 Maret 2020 dengan latar belakang halaman Masjidil Haram yang dipenuhi suara serangga. Jika pemerintah Indonesia, terutama Kementerian Agama, dan lebih khusus Menteri Agama Fachrul Razi dan Komisi VII DPR RI peka terhadap pernyataan tersebut, maka sejak saat itu urusan proses pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) sudah dihentikan. Akan tetapi, entah pemikiran apa yang menempel di otak pejabat Indonesia yang berkait dengan itu, sehingga pemerintah dan DPR sepakat agar BPIH tetap dilunasi. Semua tahu, pemerintah Arab Saudi telah mengambil keputusan penting, yaitu menghentikan layanan proses visa umrah dan turis sejak Kamis, 27 Februari 2020. Keputusan tersebut dikeluarkan guna mengantisipasi merebaknya wabah Virus China atau Corona Virus Disaesa 2019 (Covid-19) yang pertama kali terjadi di Kota Wuhan, Republik Rakyat China pada awal Januari 2020. Sejak keputusan menghentikan pelayanan visa umrah dan visa turis dikeluarkan, banyak yang memperkirakan akan berdampak pada penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 1441 Hijriyah/2020 Masehi. Apalagi, keputusan pelayanan visa tersebut kemudian diikuti penutupan Masjidil Haram (Mekkah) dan Masjidil Nabawi (Madinah) untuk kegiatan shalat Jum'at, dan meniadakan shalat fardu di masjid yang ada di seluruh Arab Saudi. Penduduk diminta shalat di rumah masing-masing. Bahkan, pemerintah kerajaan memberlakukan jam malam pada Hari Raya Idul Fitri, mulai 23 sampai 27 Mei 2020. Lalu mengapa pemerintah Indonesia masih terus meminta BPIH dilunasi? Mengapa pemerintah masih percaya diri bahwa Ibadah Haji tahun ini masih dilaksanakan Pemerintah Arab Saudi? Padahal, prediksi ilmuwan, Covid-19 di Indonesia baru berakhir pada 23 September 2020 atau mundur hampir sebulan dari sebelumnya 28 Agustus 2020. Kita berharap prediksi 23 September 2020 itu bisa benar. Kita berharap tidak mundur lagi. Sebab, kalau maju sangat sulit masuk akal, mengingat penanganannya yang kurang tegas dari pemerintah pusat. Sedangkan masyarakat, terutama di daerah yang memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), kurang disiplin. Menteri Agama Fachrul Razi juga sempat mengatakan masih menunggu kepastian dari pemerintah Arab Saudi hingga 20 Mei 2020 yang lalu. Akan tetapi, setelah hampir 13 hari tak ada jawaban, barulah dimumkan ditunda, Selasa, 2 Juni 2020. Mengapa tidak ada jawaban dari PAS? Sebab, mereka konsisten dengan keputusannya demi menyelamatkan rakyatnya. Dalam bahasa agama Islam, PAS istiqamah dalam kepurusan dan kebijakannya. Mereka tidak mau banyak korban manusia akibat Covid-19 yang mewabah ke hampir seluruh belahan dunia. Arab Saudi tidak memikirkan berapa besar dampaknya terhadap ekonomi. Mereka lebih mengutamakan nyawa satu orang warga ketimbang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bisa dikejar tahun-tahun mendatang. Sementara nyawa satu orang penduduk yang hilang tidak akan bisa diganti dengan apapun. Pemerintah Indonesia kurang tajam dalam membaca sinyal-sinyal yang sudah lama dikeluarkan PAS. Termasuk penghentian total penerbangan dari dan ke negara kaya minyak itu. Jika penerbangan dihentikan, lalu mengangkut calon jemaah haji menggunakan apa? Kapal laut? Pake onta? Keteguhan Arab Saudi yang belum mengumumķan secara resmi ibadah haji tahun dibatalkan (hanya tanda-tanda), bukan tanpa alasan. Ya, alasannya karena mereka tidak mau terlalu dalam masuk dalam jebakan "disalahkan." Selain tentu karena dalam mengeluarkan tanda-tanda sebelumnya juga sebenarnya sudah melibatkat ulama-ulama Saudi yang waro' dan juga banyak pejabat yang waro'. Mengapa pemerintah ngotot agar bakal calon jemaah haji melunasi BPIH? Umat Islam yang berkeinginan haji tahun ini seakan-akan disandera oleh Kementerian Agama. Ibarat kata pepatah, "Dilunasi mati ayah, tidak dilunasi juga mati ibu." Buktinya bisa dilihat dari masa perpanjangan pelunasan BPIH sampai dua kali. Masyarakat Curiga Pelunasan reguler untuk tahap pertama semula dijadwalkan pada 19 Maret hingga 17 April 2020. Jadwal ini diperpanjang hingga 30 April 2020. Kemudian, pelunasan tahap kedua yang semula dijadwalkan pada 30 April hingga15 Mei 2020, diubah menjadi 12 hingga 20 Mei 2020. Dari sinilah kelihatan pemerintah bernafsu menyandera uang rakyat (baca bakal calon jemaah haji). Sudah tahu Covid-19 belum mereda dan puncaknya akhir Mei sampai awal Juni, kok masih tega memerpajang sampai 20 Mei 2020? Ada 210.000 bakal calon jemaah haji 2020. Total uang yang sudah terkumpul kurang lebih 600 juta dolar. Suatu angka yang sangat fantastis buat "dipermainkan" di masa sulit ini. Karena angkanya yang cukup besar, maka wajar masyarakat curiga dana itu akan digunakan untuk macam-macam. Apalagi, setelah membaca pernyataan Pelaksana tugas Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimayu yang memastikanakan memanfaatkan dana simpanan yang dimiliki untuk membiayai penyelenggaraan ibadah haji 2020 untuk kepentingan stabilisasi nilai tukar rupiah. Anggito mengatakan, saat ini BPKH memiliki simpanan sebanyak 600 juta dolar Amerika Serikat atau setara Rp 8,7 triliun kurs Rp 14.500 per dolar AS. Dengan begitu, dana itu akan dimanfaatkan untuk membantu Bank Indonesia dalam penguatan kurs rupiah. Sedangkan total dana yang dikelola badan yang dipimpinnya Rp 135 triliun dan digunakan dalam berbagai bentuk lembiayaan, termasuk pembelian SUKUK. Betul ada dua opsi dari Kemenag bagi mereka yang sudah melunasi BPIH tahun 2020. Pertama menarik kembali uangnya, sehingga tidak ikut dalam ibadah haji tahun 2021. Kedua, tidak menarik kembali uangnya, dengan harapan bisa mengikuti ibadah haji tahun 2021. Biasanya, masyarakat apatis terhadap opsi pertama. Alasanya, ruwet…ruwet…ruwet. Belum lagi uangnya akan dipotong biaya admintrasi. Menjadi pertanyaan, mengapa dana haji bisa dialihlan ke yang lain-lain? Tentu jawabannya ada di kantong pejabat yang berkuasa dan berkepentingan. ** Penulis, Wartawan Senior

Mozaik Virus Keadilan Umar Bin Abdul Aziz

By Dr. Margarito Kamis, SH, M.Hum (Hai Qarun), janganlah engkau terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (yaitu) negeri akhirat, dan janganlah melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia, dan berbuat baiklah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerusakan (QS. Al-Qashash, ayat 76-77). Jakarta FNN – Senin (01/06). Seisi dunia, dimanapun sedih, terbenam dalam rindu, ratapan dan rintihan tak berdaya. Pergilah wahai corona ke asalmu, entah dimana. Pergilah, entah ke Lauh al Mahfudz, atau dimana pun. Ya aku (corona) akan pergi dan tinggal di batas semesta, entah dimana itu. Percayalah. Aku akan pergi kala pemerintah-pemerintah kalian memiliki ilmu. Bukan pengetahuan, tentang rahasia setiap jiwa, rahasia Dia, tentang takut pada Dia, tentang rahasia Al-Fatihah, tentan sabar, ihlahs, qana’a, tentang syukur, tentang kesetaraan, tentang indahnya keberpihakan pada fakir, dan lainnya. Percayalah. Sombong, angkuh, bodoh dan sejenisnya masih aku lihat terlilit dileher pemimpin-pemimpin kalian. Mencla-mencle untuk urusan yang telah jelas, masih jadi baju keseharian hidup para pemimpin kalian. Membelokan hukum dengan congkak, terlihat dalam semua aspek kehidupan. Butiran-butiran hikmah kepemimpinan yang baginda Nabi Allah Muhammad Sallallahu Alaihi wa Sallam ukir dengan Nur-nya, yang tak tertandingi, tak kalian ambil. Semuanya kalin biarkan bagai buih. Tak ada yang menangkapnya, apalagi menyelam ke dalam hakikatnya. Itulah payahnya para pemimpin kalian. Kalian aku ingatkan, akan terus begini, sekalipun akau pergi ketika waktunya tiba. Percayalah. Sejauh kalian tak menempuh jalan hati yang menjadi mahkota para pemimpin terdahulu, kuyakinkan kalian kesedihan terus menemani. Tuan Corona, kami pakai demokrasi, apa mungkin menempuh jalan itu? Wahai mahluk manusia, ini tak ada urusan dengan demokrasi, sosialis, atau syariah. Tidak. Ini soal takut pada Allah Subhanahu Wataala, Dia yang Maha Tahu, Maha Adil, dan Maha Bijaksana. Tidakkah kalian tahu itulah jalan Umar Bin Abdul Aziz. Amirul mukminin di kekhalifaan Umayah, dulu. Umar Bin Abdul Aziz Bin Marwan Bin Hakam termasuk salah satu gubernur terbaik Bani Umayyah. Umar, Amirul mukminin ini memiliki nasabh hingga ke Sayidina Umar Bin Khattab. Ibundanya, Ummu Ashim binti Ashim bin Umar Bin Al Khattab, anak dari Ashim bin Umar bin Al-Khatab, Al-Faqih Asy-Syarif Abu Amr Al-Quraisy Al-Adawi. Bebas Dalam Berpendapat Tersohor dengan ilmu dan ahlaknya yang indah, seindah pelangi diujung senja. Memberi nasihat berkilauan selaksa kemilau berlian kepada para gubernur. Itulah Umar muda. Sosok hebat ini lahir tahun 63 H (682 Masehi ini). Hebat Amirul Mukmin berada di level itu pada usia yang terbilang belia untuk urusan seberat itu. Amirul Mukminin Umar memerintah setelah Sulaiman Bin Abdul Malik. Ia mulai memerintah pada tahun 717 M. Singkat sekali pemerintahannya. Ia meninggal pada tahun 720 M (semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu merahmatinya dengan Rahimnya) kala pemerintahannya berada di tahun ketiga. Berlian tetaplah berlian. Tiga tahun yang singkat itu menjadi tahun-tahun dengan keadilan begitu gemilang. Naik ke tampuk kekuasaan tanpa meminta. Apalagi pake uang, dan berlutut pada cukong. Tidak mau membungkus dirinya dengan tirik licik, licin, picik, tipu-tipu, khas pemimpin di alam demokrasi punya ambisi memasuki kekuasaan. itulah Amirulmukminin. Tidak ada rekayasa aparat negara menekan orang. Memutarbalikan hukum, dan berjanji lalu mengingkari janji. Laksana fajar yang merekah membuka pagi. Pada pidato sesaat setelah didaulat oleh Sulaiman Bin Abdul Malik, khalifah sebelumnya, membelah kegelapan. Amma ba’du, begitu Amirul Mukiminin mengawali pidatonya. “Sesungguhnya aku diuji dengan jabatan tanpa pernah terpikirkan aku akan memikulnya. Apalagi memintanya dan berdasarkan musyawarah kaum muslimin”. Kebebasan memilih dan berpendapat, berhembus begitu kuat dalam kata “sesungguhnya aku membebaskan kalian untuk membaiat kepada siapa saja. Oleh karena itu, pilihlah orang yang pantas menurut kalian. Seketika itu, tulis Ali Muhammad Ash-Shallabi, masa berteriak serempak “sungguh kami memilih engkau, wahai Amirul Mukminin, dan kami setuju dengan engkau. Oleh karena itu pimpinlah kami dengan adil dan baik”. Pesan refleksif, tapin bukan apokalipstik pun memadati kata demi kata dalam lanjutan pidatonya. Wahai manusia, begitu Amirul tegaskan, siapa yang berteman dengan kami, maka hendaklah ia berteman dengan lima perkara. Jika tidak maka hendaklah ia tidak mendekati kami. Perkara-perkara itu adalah: Pertaman, menyampaikan kepada kami keperluan orang yang tidak dapat menyampaikannya. Kedua, membantu kami dalam kebaikan dengan sekuat tenaga. Ketiga, menunjukan kebaikan kepada kami. Keempat, tidak menyebut kejelekan rakyat di dekat kami. Kelima, tidak melakukan hal-hal yang tidak berguna. Aku pesankan kepada kalian agar selalu bertakwa kepada Allah. Tak takwa adalah pengganti segala sesuatu dan tidak ada sesuatu pun pengganti takwa. Perindahlah bathin kalian, niscaya Allah Yang Maha Mulia pasti membaguskan lahir kalian. Perbanyaklah mengingat mati, dan bersiap-siaplah sebelum kematian mendatangimu. Kematian adalah penghancur kelezatan. Mengadili Dirinya Sendiri Terang-terangan Amirul Mukinin memahat sekali lagi “kebebasan memilih pemimpin dan kebebasan berpendapat, ”pada episode paling awal ini. Tone-nya meninggi, katanya, wahai manusia, siapa yang taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala, maka wajib menaatinya. Sebaliknya, siapa yang maksiat kepada Allah, maka tidak ada taat padanya. Taatlah kalian kepadaku, selama aku taat kepada Allah. Sabaliknya, apabila aku maksiat kepada Allah, maka tidak ada taat kepadaku dari kalian. Sesungguhnya kota-kota di sekitar kalian, jika penduduknya taat sebagaimana kalian taat, maka aku adalah pemimpin kalian. Jika mereka membangkang, maka aku bukan pemimpin kalian. Menghindari debat tentang agama dan syariat adalah dekorasi indah pemerintahannya. Kebijakan refleksif ini adalah cara Amirul memastikan dirinya hanyalah pelaksana. Baginya syariat telah jelas menghalalkan apa yang halal menurut Allah, dan mengharamkan apa yang haram menurut Allah. Lima sebab diatas, ia sodorkan sebagai panduan relasi dirinya dengan siapapun. Amirul Mukmin konsisten di titik itu. Manusia juga diingatkan untuk mengetahui hal-hal buruk, dan mengingat kematian. Lugas ia berjanji tak akan memberikan kepada seseorang secara bathil dan tak akan menahan hak orang. Musyawarah dengan para ahli menjulang disepanjang pemerintahannya. Keadilannya mengalir menyentuh semua aspek hidup rakyatnya. Ia menyamakan dirinya dengan semua rakyatnya. Kesamaan derajat, yang didunia barat baru diusahakan secara perlahan-lahan pada abad ke-13, ia alirkan ke semua orang. Islam maupun non Islam. Yang penting rakyatnya. Keadilan ia alirkan dari dua firman Allah Subhanahu Wata’ala berikut. Dua firman itu adalah “sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan” (Al-Qur’an, An-Nahl: 90). “Dan wahai orang-orang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (orang yang tergugat) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu, karena ingin menyimpang dan dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” (Al-Qur’an Ann-Nisaa; 135). Memukau, Umar menghiudpkan semua isi pidatonya dengan mengadili dirinya sendiri begitu memulai pemerintahan. Hasilnya semua harta yang dimilikinya sebelum jadi khalifah dilepas. Amirul Mukminin membekali hidup dirinya dan keluarganya hanya dengan dua dirham. Bawahannya ia pandu dengan pesan “hanya mempekerjakan orang berilmu”. Kepada mereka, Amirul memerintahkan memberi makan orang-orang yang hendak berhaji. Buatlah rumah makan di daerah, sehinga siapa saja kaum muslim yang lewat dijamu makan sehari semalam. Juga rawatlah binatang kendaraan mereka. Tak tertandingi untuk ukuran seprogresif apapun pada saat ini. Dia perintahkan Gubernur di Irak untuk memperbaiki pagar rumah seorang ibu, Dzi Asbah, yang dirusak seseorang. Begitu ia dilapori bahwa seorang rakyatnya ditawan penguasa Romawi di Konstantinopel, Amirul Muminin juga segera mengirim utusannya menjumpai raja Romawi. Takdir tak mengenal waktu, dan orang. Sakaratulmaut tak mengenal usaha pemimpin. Ketika utusannya jumpa Raja Romawi, dan sang raja menyetujui melepaskannya, ternyata orang itu telah meninggal dunia. Kebaikan orang itu meluluhkan Raja, tapi maut telah mendahuluinya. Kecintaan Kepada Rakyatnya Disisi indah lainnya, Amirul Mukminin perintahkan gubernurnya membayar hutang rakyat. Terus saja bersinar dengam keadilan. Pemerintahnya beri sumbangan kepada orang-orang yang dipenjara. Ia juga mendatangi untuk mengetahui apakah ada orang yang fakir. Bismillahirrahmanirrahim, begitu kalimat pembuka salah satu suratnya kepada Adiy bin Artha’ah dan kepada kaum muslimin. Aku katakan kepada kalian bahwa aku hanya sebagai hamba Allah, Tidak ada Tuhan selain Dia. Amma ba’du, parhatikanlah orang-orang dari ahlu dzimmah dan bersikaplah yang lembut kepada mereka. Apabila ada seseorang di antara mereka, begitu isu suratnya, telah dewasa namun tidak memiliki harta, maka berilah bantuan kepadanya. Apabila ia memiliki kerabat, maka perhatikanlah kerabatnya itu dan berilah mereka nafkah. Tak ada waktu yang mampu menyempitkannya, Umar mengunjungi mereka. Apabila mereka memberikan sayuran, Umar akan membayarnya. Bila mereka tidak mau menerima, Umar tidak akan pergi sampai mereka menerimanya. Sungguh terlalu indah untuk dilupakan, terlalu manis untuk dikesampingkan. Dirinya dan keluarganya tampil dengan pakain yang lusuh. Masa Allah, ketika seorang Ibu dari Irak mendatanginya melaporkan keadaan hidupnya, si ibu menemukan Amirul Mukminin sedang bekerja membereskan rumahnya, yang reot. Dikiranya tukang batu, ternyata dialah sang Amirul Mukminin. Dengan kelembutan yang membalut seluruh dirinya, ia meminta dengan lembut sang Ibu menyampaikan masalahnya. Kata si ibu, saya meminta tolong Amirul Mukminin memperbaiki rumah saya. Ternyata rumah Amirul Mukmin seperti ini. Tak usahlah. Tapi kasih sayang Amirul Mukminin bicara. Membekali kepergian pulang si ibu dengan sepucuk surat untuk disampaikan ke gubernur. Begitu surat diberikan ke gubernur, gubernur memberitahu ibu itu bahwa Amirul Mukminin telah pergi, kembali keharibaan untuk selamanya (semoga Allah yang Maha Rahim melimpahkan kepadanya nikmat yang tak terkira). Insya Allah. Amirul Mukminin meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan fakir. Masya Allah. Dari sela-sela linangan air matanya menjelang sakaratul maut, perlahan kata-kata terakhirnya mengalir menuju anak-anaknya. “Wahai anak-anakku, aku meninggalkan kalian dalam keadaan miskin, tak punya apa-apa.” Basah lagi pipi salehnya disela kata “wahai anak-anaku, aku telah tinggalkan kebaikan yang sangat banyak untuk kalian.” Apabila kalian bertemu dengan salah satu dari kaum muslimin di jalan, atau kalian bertemu dengan ahlu dzimmah, maka kalian akan melihat sendiri kebaikan itu.” Pembaca FNN yang budiman, indah keadilannya membuat seorang ahlu dzimmah mau menyerahkan tanahnya secara gratis untuk Amirul Mukminin, untuk dijadikan tempat pemakaman dirinya. Tapi Amirul Mukminin menolak, sembari mengatakan andai engkau tak mau, maka aku tak mau dimakamkan di tanah ini. Luluh, karena cintanya kepada Amirul Mukimin, dia mau menerimanya. Di tanah inilah Amirul Mukminin dimakamkan. Ia meninggalkan uang 14 dinar untuk anak-anaknya yang berjumlah 16 orang. Amirul Mukminin pergi untuk selamanya ke hakharibaan dalam usia 39 tahun. Sungguh kebesaran keadilan pemerintahannya memukau. Meluluhkan semua orang. Kesedihan pun memeluk Raja Romawi, yang kala itu sedang menerima utusannya. Dialah yang memberitahu sang utusan, bawah Amirul Mukminin telah wafat. Anggun dengan keadilan. Memukau dengan ketulusan dan keihlasan. Bersinar di lintasan syukur dan takut pada Dia Yang Maha Adil, begitulah Umar Bin Abdul Azis. Begitulah bang Amirul Mukminin ini hingga akhir hayatnya. Pemimpin zaman now? He he berjarak jutaan mile darinya. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate.

Islam Tidak Boleh Dikalahkan, Ayo Lawan

By M. Rizal Fadillah Jakarta FNN – Selasa (26/05). Setelah berpuasa sebulan penuh, kini umat Islam menunaikan misi lanjutan. Misi tersebut sebagai bukti suksesnya melasanakan ibadah selama Ramadhan. Sebagai Mu'min, ia mengemban dua amanah, yaitu amanah ibadah dan amanah khilafah. Amanah ibadah telah dijalankan melalui ketaatan 'maghdhah' nya. Amanah khilafah adalah bekerja mengelola dan memakmurkan bumi dengan sebaik-baiknya. Menyatakan tidak kepada korupsi, suap, zalim, licik, tamak, curang dan maling. Semua itu harus dilawan. Apapun resikonya. "Qum Fa anzir"--Bangun dan beri peringatan. Tugas mulia adalah bangun dan membangunkan manusia. Agar selalu sadar bahwa manusia itu berada dalam kelalaian dan terjebak di kehidupan remang-remang ataupun hitam. Dalam kegiatan budaya, ekonomi, politik maupun agama. Peringatan adalah cahaya. "Wa Robbaka fakabbir"--Besarkan asma Allah. Hanya Allah SWT yang besar. Yang selain Allah, kecil semua. Tidak ada persoalan besar dan berat dalam pandangan Allah. Kita hanya diuji untuk menghadapinya. Solusi ada pada-Nya. Agama harus dibesarkan. Syari'at-Nya mesti dimuliakan. Menghina atau meminggirkan agama akan berakibat pada kemurkaan Allah. Kehidupan yang sulit dan sangat pahit. "Wa tsiyaabaka fathohhir"--Pakaian bersihkan. Pakaian itu performance. Dalam bahasa agama adalah akhlak. Akhlak yang mulia. Pakaian sendiri dan pakaian orang lain yang harus dibersihkan. Membangun peradaban yang bersih dan mulia. Buang kultur korupsi, suap, zalim, licik, tamak dan lainnya. Pada masyarakat yang berbudaya, curang maling, korupsi, suap, zallim, tamak dan licik adalah masyarakat yang berpakaian kotor, jorok, dan compang-camping. "Wa rujza fahjur"-- Hapuskan dosa Hati suci menjadi modal akhlak yang bagus. Dzikrullah dan istighfar untuk jalan penyucian diri. Dengan hati yang suci, terbina tatanan yang beradab. Beda hati dan amal menyebabkan diri dan pemimpin berwatak tukang bohong, munafik, dan riya. Citra yang palsu dengan blusukan. "Wala tamnun tastaktsir"-- Jangan pragmatis. Dalam perjuangan memang perlu kalkulasi. Tetapi hitungan matematika tidak menjamin kemenangan. Dalam sejarah, jumlah yang kecil bisa menghancurkan yang banyak. Ada keberanian, tawakkal, serta pertolongan Allah. Pragmatisme dan hedonisme sering menjadi musuh agama. Akarnya materialisme. Hidup adalah keyakinan bukan semata hitungan. "Walirobbika fashbir"-- Hanya kepada Allah bersabar. Pelajaran shaum itu shabar. Kesabaran adalah kekuatan. Menghadapi tantangan terhadap agama, baik yang mengganggu, merusak, maupun yang hendak menghancurkan, umat Islam harus menggalang kekuatan dan shabar melakukan perlawanan. Insya Allah kemenangan akan didapat. Semangat juang adalah untuk merebut kemenangan tersebut "hayya 'alal falaah". Tindak lanjut shaum ramadhan tentu saja langkah konkrit. Bukan menunggu datangnya ramadhan lagi. Karena kita tidak tahu akan usia yang sampai atau tidak ramadhan mendatang. "Faidza faraghta fanshob". Jika sudah lewat satu tahap, maka masukilah tahap berikutnya. Setelah lewat ajang pembinaan dan perkaderan selama ramadhan, kini saatnya kita berada di lapang perjuangan yang sebenarnya. Misi agama adalah memenangkan pertarungan, "liyudzhirohu 'alad dieni kullihi". Memenangkan budaya, dan memenangkan peradaban. Satu catatan, agama Islam ini tidak boleh dikalahkan, dipinggirkan, atau dinistakan oleh budaya dan peradaban korupsi, suap, zalim, licik, tamak, curang dan maling. Ayo bela, muliakan dan menangkan! Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (9): Toleran Sepanjang Tidak Diusik

Saya sempat menegur keras Ketua RW tempat kami tinggal. Saya anggap tidak toleran karena mengedarkan surat yang mengajak warga mengadakan kerja bakti saat libur Natal. Kalau hari Ahad/Minggu, tidak masalah karena sudah rutin merah. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - EFFY menganggap saya seperti saudara. Demikian juga saya. Istri saya dan dia cukup akrab, meski baru bertemu yang ketiga kali. Saya merasakan Effy benar-benar menyambut kami seperti saudara. Kami di bawa ke kantor suaminya, Eko yang membuka praktik sebagai pengacara di Kota Kediri. Satu malam pertama kami harus menginap di rumahnya. Padahal, kami sudah biasa menginap di pondok bersama orangtua santri. Harap maklum, penginapan di pondok itu bukan hotel, tetapi ruang kelas yang dikhususkan bagi orangtua yang berkunjung untuk menginap. Ya, seperti maktab saat saya naik haji tahun 1999, satu ruang bisa 15 sampai 20 orang. Bedanya, di Tanah Suci ada kasur cukup bagus dan menggunakan AC. Sedangkan di pesantren, kami biasa menggunakan kasur bekas santri yang sudah lulus dan penyegar udara alami. Banyak orangtua yang memilih menginap di pesantren, ketimbang di hotel, walaupun orangtua santri orang-orang mampu. Mereka memilih menginap di pondok agar lebih dekat dengan anak karena jarang ketemu. Tentu juga agar saling kenal satu sama lain, terutama orangtua santri dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Papua dan daerah lain di Indonesia. Bahkan, orangtua santri yang datang dari Malaysia pun ada yang memilih menginap di wisro (wisma rohani) - sebutan kami terhadap penginapan di pesantren. Effy yang menjemput kami pun ikut ke pesantren. Selesai mengantarkan anak ke pesantren (karena datang juga ke Stasiun Kereta Api Kediri bersama temannya dari Malaysia), kami kembali ke ke rumah Effy (rumah khusus menginap tamu-tamunya). Effy mengantarkan kami sampai ke lantai dua. Dia juga menjelaskan arah kiblat kalau mau shalat. Ya, begitulah indahnya persaudaraan, meski berbeda agama dan berbeda ras. Selama di mobil yang saya setir ke pesantren dan balik ke pusat Kota Kediri, saya bertanya banyak hal, termasuk kalau mau ke Jombang naik bis dari mana. Maklum, selain mengunjungi anak, saya yang menjadi Pemimpin Redaksi Harian Umum Kabar Banten, di Serang (anak usaha Pikiran Rakyat Bandung) mengemban tugas meliput Muktamar NU ke-33 di Jombang. Effy sudah menjelaskan kalau mau menggunakan bis bisa naik dari simpang tiga menuju pondok atau dari terminal. Dan saya sudah siap naik bis keesokan harinya, setelah mengantarkan istri ke pesantren. Akan tetapi, pagi-pagi Effy mengabari mau mengantarkan saya dan istri ke pondok. Benar, pagi selesai sarapan kami sudah siap berangkat bersama suaminya. Selesai mengantarkan istri , saya ikut mobil Effy yang dikemusikan suaminya. Maksud saya menumpang sampai ke simpang tiga, tempat mengentikan bis jurusan Jombang. Sesampai simpang tiga mobil belok ke kanan dan tidak berhenti. Ketika saya bilang berhenti di mana, dijawab mau mengantarkan saya ke tempat memberhentikan bus yang menuju ke Jombang di depan. Jadi tidak perlu ke terminal atau loket busnya. Beberapa kali saya tanya tempat menunggu bis, selalu dijawab Effy dan suaminya, Eko, nanti ada yang lebih dekat. Setelah cukup lama dalam perjalanan, mobil tidak berhenti juga. Akhirnya Effy baru mengatakan mau mengantarkan saya sampai Jombang. Katanya, sekalian ada urusan suaminya. Saya diantarkan sampai ke Alun-Alun Kota Jombang, tempat Muktamar NU ke-33. Sebenarnya, ada rasa kurang enak, karena saya baru pertama kali bertemu dengan suami Effy. Dalam pikiran saya, kalau saya tidak toleran dan selama ini tetap menjalin perdahabatan dengan Effy, mana mungkin suaminya seperti itu (sampai mengantarkan ke Jombang). Masih selama di Kediri. Effy juga mengajak saya berkunjung ke Pondok Pesantren Lirboyo. Bagi saya, hal itu merupakan kesempatan emas bisa berkunjung ke sebuah pesantren yang didirikan dan diasuh Kiai Langitan. Saya sudah lama berkeinginan mengunjungi pesantren yang diasuh Kiai Langitan. Selain mengunjungi Pesantren Lirboyo, Effy juga menawarkan memgunjungitempat wisata Katolik. Bagi saya tidak masalah. Toh waktu ke Roma, Italia juga saya berwisata ke Vatikan (saat meliput pertemuan Organisasi Pangan Dunia/FAO), dan masuk ke area Varikan saat kunjungan kenegaraan Presiden Abdurrahman Wahid (Gu Dur). Pun juga saya berwisata ke pagoda terbesar di Yangon, Ibukota Myanmar sebelum pindah, saat saya dan rombongan melakukan studi banding tentang kehutanan (terutaka kayu jati) dan gajah. Saya katakan Effy menawarkan, karena ia khawatir saya tidak mau. Akan tetapi, saya langsung mengiyakannya. Maka jadilah kami berkunjung ke tempa itu. Kami meluncur ke obyek wisata umat Katolik yang ditempuh sekitar 15 menit dari pusat kota. Sesampai di sana, kami turun. Setelah melihat-lihat, dan mendengarkan sedikit penjelasan, kami pun berfoto, layaknya berfoto di tempat wisata lainnya sebagai kenang-kenangan. Setelah menyelesaikan kunjungan di Kediri, kami lanjut berwisata ke sebuah candi dilanjut ziarah ke makam Bung Karno di Blitar. Kemudian dilanjutkan ke arena Muktamar NU di Jombang dan ziarah ke makam pendiri NU, KH Hasyim Asy'.ari. Effy tetap ikut walau berada di acara agama Islam. Saat di arena muktamar, tentu ia menyesuaikan pakaian. Saya yang harus melakukan liputan penutupan muktamar meninggalkan istri saya dan Effy berkeliling melihat-lihat arena muktamar, termasuk stand pameran yang masih buka. Itulah indahnya toleransi, lekatnya persahabatan. Andaikan saya dan umat Islam apalagi FPI tidak toleran, sudah dipastikan negara ini akan kacau. Andaikan umat Islam yang mayoritas tidak toleran, saya tidak bisa membayangkan nasib saudara-saudaraku yang minoritas yang hidup bersampingan di tengah pemukiman mayoritas. Umat minoritas aman-aman saja. Tak ada yang mengusik, sepanjang umat Islam yang mayoritas tidak diusik. Seperti perumpamaan lebah di tulisan saya sebelumnya. Saya juga mencoba toleran di lingkungan saya tinggal.Beduk keliling yang ditabuh anak-anak untuk membangunkan sahur saat bulan Ramadhan kami hentikan melalui rapat pengurus sewaktu saya menjadi Ketuan Dewan Kemakmuran Masjid Masjid Al Muhajirin, Perumahan Buana Permai, Kota Tangerang. Alasan dihentikan ada tiga. Pertama, tidak semua penduduk perumahan beragama Islam. Saya tahu jumlahnya sangat sedikit, mungkin tidak sampai 10 persen dari 300 kepala keluarga yang ada. Tapi, saya harus bersikap toleran kepada mereka, karena kalau beduk yang dibawa anak-anak lewat di depan rumahnya, bisa mengganggu yang lagi istirahat tidur. Mereka (nonmuslim) tidak akan berani protes. Kedua, sudah banyak alarm, baik si HP, di jam tangan maupun jam dinding. Ketiga, ada orang yang sedang sakit dan kurang enak badan. Keputusan rapat DKM itu ditentang segelintir orang, dan sampai ada yang membawa-bawa Wali Songo. "Wali Songo juga pake bedug keliling," demikian kalimat yang sampai ke saya. Saya jelaskan, Wali Songo tidak meminta jemaahnya membawa beduk keliling untuk membangunkan sahur. Sebab, semua bedug di tempat Wali Songo itu besar-besar. Bagaimana mau dibawa keliling? Alagi bedug yang ada di masjid/makam Sunan Gunung Muria yang ada di gunung. Mau ziarah ke sana saja kita hanya bisa sampai dengan menggunakan ojek, selain tangga semen yang panjang bagi yang kuat. Oh ya, saya juga sempat bersuara keras kepada seorang Ketua RW suatu waktu. Ceritanya, karena Ketua RW itu mengedarkan surat agar warga kerja bakti tanggal 25 Desember. Saya katakan, hargai agama Kristen yang merayakan Hari Natal. Sebab, Natal bagi agama Kristen merupakan perayaan agama, dan berbeda dengan hari Ahad/Minggu. BPIP tidak Pancasilais Dalam ajaran Islam ada hari Jum'at dan tidak masalah jika kebetulan tanggal merah diadakan kerja bakti. Jangan coba-coba mengajak kerjabakti saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Atau saat tanggal merah Maulid Nabi dan Isyra' dan Mi'raj Nabi Muhammad. Pasti ada yang protes. Contoh sudah ada. Ketika konser digelar pada peringatan malam Nuzulul Qur'an yang baru lewat, banyak yang protes atas konser yang digelar BadanPembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu. Apakah seperti itu yang dikatakan Pancasilais? Kok BPIP menjadi Badan Pengacau Ideologi Pancasila?Hasil protes umat Islam, pemenang lelang sepeda motor Joko Widodo, ternyata bukan pengusaha, tetapi seorang buruh tani di Jambi. Juga rencana konser Iwan Fals yang mau digelar pada malam takbiran. Umat Islam protes, dan Iwal Fals akhirnya menggeser konser itu ke hari lain, menjadi Selasa (26 Mei 2020/3 Syawal 1441 Hijiriyah) malam. Iwan Fals mendengar suara umat Islam. Ia memahami betapa malam takbir itu adalah sebuah peristiwa sakral yang mestinya diisi dengan takbir, tasbih, tahlil dan tahmid serta puja dan puji kepada Allah Ta'ala dan solawat kepada Nabi Muhammad. Ya, semua harus seperti itu. Sebab, melakukan sesuatu yang kurang berkenan di hati dan mata umat, akan membawa mudharat. Apalagi, umat berdoa dan dipimpin ulama, terutama ulama waro, bisa berdampak jauh. Sekali lagi, "Mulut ulama itu bisa menjadi madu dan bisa menjadi racun." (Habis)** Penulis, Wartawan Senior.

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (8): Islam Ajarkan Saling Kenal

Tiga putra saya bebas berteman dengan siapa pun, agama apa pun dan dari suku apa pun. Hanya selalu saya ingatkan, jangan tinggalkan shalat dan jangan mau terpengaruh dan dipengaruhi ajaran agama manapun, selain ajaran Islam. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - TOLERANSI perlu dirajut, sehingga bibit-bibit permusuhan bisa segera musnah. Toleransi sangat ditanamkan dalam ajaran Islam dan juga Pancasila. Tanpa toleransi, pertemanan, persahabatan akan tercabik-cabik. Bahkan bisa ke tingkat yang lebih luas. Tanpa toleransi, kerukunan di tingkat lingkungan akan hambar, toleransi di level negara akan merana. Membangun toleransi itu harus dimulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan dan seterusnya. Tanpa diawali dari diri dan keluarga sendiri, toleransi itu hanya sebuah basa-basi. Ya, saya ambil contoh persahabatan saya dengan Marsia Hutauruk yang sekarang sudah menjadi pendeta di Pulau Nias Sumatera Utara. Kami membangun persahabatan karena saling memahami posisi masing-masing. Bagi saya berteman dengan siapa pun, apa pun agama dan suku apa pun tidak masalah. Dalam hal agama Al-Qur'an mengajarkan saya, "Bagi kamu agama kamu, bagi saya agama saya."Al-Qur'an juga memerintahkan agar saling kenal-mengenal."Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujarat ayat 13). Saling kenal-mengenal itu adalah perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala melalui Al-Qur'an. Karena itu perintah dari Allah Yang Maha Kuasa, maka saya wajib melaksanakan dan mengamalkannya. Tentu, saling mengenal di sini bagi saya ada batasan yang tegas, yaitu agama lain jangan coba-coba mengusik aqidah saya dan keluarga. Jangan coba-coba mempengaruhi saya dengan berbagai hal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sepanjang hal itu menyangkut pergaulan tidak masalah. Bukankan tiap hari umat Islam selalu berintegrasi atau berhubungan dengan agama lain dalam hal jual-beli atau bisnis? Tidak pernah ada masalah, dan selama ini semua berjalan bagaikan air mengalir. Itulah indahnya toleransi yang sudah dibangun secara turun-temurun di bumi Pancasila ini. Atas dasar perintah saling mengenal itu juga saya menanamkan kepada ketiga anak saya agar bergaul boleh dengan siapa saja, dari suku mana saja dan agama manapun. Tetapi, ingat, jangan meninggalkan shalat. Jika bergaul dengan agama lain, ketiga anak saya yang sejak TK sampai SMP selalu di sekolah Islam (kecuali anak ketiga yang lanjut ke Pondok Modern Gobtor dan kini kuliah di UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta) saya wanti-wanti agar jangan mau dipengaruhi ajaran agama lain, selain Islam. Karena perintah saling mengenal itu, saya juga tidak ambil pusing berteman dengan siapa pun. Sebagai wartawan yang sejak tahun 2000 hampir selalu pake peci ke lapangan, saya bergaul dengan berbagai narasumber, termasuk yang beragama Kristen, Budha dan Hindu. Malah salah seorang pengusaha beragama Katolik cukup fanatik (saya tahu dia penyandang dana sejumlah gereja dan sekolah Katolik), sering meledek janggut saya yang panjang. Suatu ketika saya agak kaget dibuatnya, karena mengatakan, "Makin panjang saja ini jenggot," katanya sambil memegang jenggot saya. Hal itu dilakukannya dalam beberapa kali saya bertemu dengannya. Kalau saya intoleran, sudah pasti marah. Tidak ada batas Saling mengenal tidak ada batas. Yang menjadi pembatasnya adalah ketakwaan. Karena dengan siapa pun kita berteman, yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Jadi jelas batasannya, ketakwaan. Karena perintah saling mengenal itu juga, selain dengan teman SMP, saya juga masih menjalin pertemanan dengan kawan semasa kuliah yang berbeda agama dengan saya. Saya berteman akrab dengan Effy namanya. Sebenarnya, semua teman semasa kuliah yang non-muslim pun masih berteman lewat WA grup dan sekali-sekali mengadakan pertemuan. Cuma kadang teman agama lain di grup itu seringkali menulis hoax (bohong) atas beberapa postingan saya. Ini terjadi hanya karena berbeda sudut pandang dalam membacanya. Atau mungkin hanya karena perbedaan pilihan politik. Effy yang sekarang tinggal di Kediri, Jawa Timur adalah salah satu teman kelompok diskusi saya. Ada Fatmawati (biasa dipanggil Gadis), sekarang di Banda Aceh, ada Sabri Piliang (Jakarta), Darmadji (Pekanbaru), M.Tarokoh (Tangerang), almarhum Achmad Furqon, Sri Handayani (Australia). Ada cerita menarik dari Effy. Ketika saya kabari anak saya nomor 3, Sultan Ucok Sulainan Dongoran sekolah di Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Effy meminta saya agar mampir ke Kediri. Akan tetapi, sampai tiga tahun anak di Ponorogo, saya tidak sempat memenuhi permintaannya itu. Padahal, saya sudah menjawab, "Insya Allah akan mampir." Alhamdulillah, tahun ke-4, anak saya ditugaskan ke Gontor 3 Kediri. Saya pun mengabari Effy tentang itu. Effy yang mendapatkan kabar itu langsung mengatakan, harus mampir ke rumahnya. "Awas ya, Hon, kalau ke Kediri gak mampir, " begitu kalimat yang masih saya ingat. Saya menjanjikan akan mampir. Alhamdulillah, janji itu terwujud pada awal Agustus 2015. Saya ke Kediri bersama istri dan anak kedua. Saya ke Kediri sekalian meliput Muktamar Nahdhlatul Ulama ke-33, di Jombang. Jarak Kediri dan Jombang cukup dekat dengan menggunakan kereta api. Saya kabari Effy tentang rencana kedatangan saya. "Pokoknya ditunggu," katanya. Ketika pagi hari kami turun di Stasiun Kereta Api Kediri, ternyata Effy dan karyawan suaminya sudah menunggu. Mobil sudah siap membawa kami. Oh ya, karena kami masuk pagi hari, Effy membawa kami sarapan pagi di sebuah warong soto. Katanya, soto cukup terkenal di KotaKediri. (Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior

Jangan Ajari Saya Toleransi dan Pancasila (7): Berteman dengan Pendeta

Sebagai pendeta, banyak yang tidak menyukai Marsia, termasuk pendeta. Sebab, ia selalu berbicara apa adanya dan tidak memakan babi. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - KEMBALI ke FB saya yang diserang pendukung penjual lapo tuak itu, saya menantang mereka satu per satu untuk membuktikan bagaimana membangun dan menjalin toleransi itu. Saya menjelaskan, bagi saya menjual minuman keras itu haram dan melanggar aturan perundang-undangan. Penjualan tuak di bulan suci Ramadhan dan dijual di tengah mayoritas Islam, jelas menunjukkan sikap tidak toleran, dan bahkan sangat angkuh. Ketika ada seorang bertanya, "Apakah saya salah jika hanya sendiri atau satu keluarga di tengah kaum muslim kemudian minum tuak?" Saya jawab, kalau minumnya di dalam rumah dan tidak mabuk serta teriak-teriak keluar itu urusan Anda. Akan tetapi, tentu ada tatakrama lingkungan yang harus dijaga dan dipatuhi. Saya pun mengatakan, jjka saya seorang Muslim dan tinggal di tengah mayoritas Kristen dan tiap hari memutar kaset atau saya membaca Al-Qur'an keras, apakah Anda tidak terusik? Pertanyaan saya itu dijawab nyeleneh. "Itu perbandingan yang ngawur," begitu jawaban atas pertanyaan saya itu. Saya menceritakan tentang kawan saya semasa SMP yang Kristen dan sekarang menjadi pendeta di Pulau Nias, Sumatera Utara. Meski saya pake jenggot, peci putih, pakaian gamis, dan dia pendeta, komunikasi kami berjalan baik. Padahal, sejak tamat tahun 1979, kami tidak pernah ketemu secara fisik. Marsia Hutauruk nama teman saya itu. Jum'at, 8 Mei 2020 siang, saya menyapanya lewat WA. Kemudian dilanjutkan percakapan lewat telefon hampir satu jam. Kami membicarakan banyak hal, termasuk toleransi, tentang lapo tuak yang Deli Serdang, Sumut yang ditutup warga bersama FPI, dan tentu masa-masa SMP dulu, karena banyak yang mengatainya kafir. Ia menyebutkan, dari sekian banyak teman SMP yang sempat bertemu di media sosial, hanya saya yang masih komunikasi. Yang lain (saya tidak menulis namanya, meski Marsia menyebutnya), sudah hilang kontak. Ia heran kenapa teman-teman menghapus pertemanan. "Saya heran juga, sementara kamu yang pake jenggot dan peci putih tidak menghapus pertemanan dengan saya," katanya. Dia bercerita, meski sudah jadi pendeta, tidak masalah dengan agama Islam dan agama lain. Sebab, dia juga punya saudara dan famili yang masuk Islam atau mualaf, dan juga saudara yang sudah turun-temurun beragama Islam. Marsia bercerita, sebagai pendeta, banyak yang tidak menyukainya, termasuk tidak disukai sesama pendeta sendiri. Sebab, ia bicara apa adanya dan tidak pernah memikirkan penghasilan dari kegiatannya itu. Terlebih lagi kawan ini juga tidak makan babi dan menenggak minuman keras. "Kalau datang ke acara, ya nasik kotak isinya itu (babi). Padahal saya tidak memakanya. Haram bagi saya," katanya. Prihatin Kepada mereka yang memakannya saya katakan, "Itu harum bagi kamu, tapi haram bagi saya." Saling menghormati itu sangat penting. Ia juga prihatin dengan peristiwa penjualan tuak di saat umat Islam melaksanakan ibadah puasa. Ketika saya posting berita penangkapan Geral Lundu Nainggolan karena menghina Nabi Muhammad dan Habib Bahar, ia pun mengatakan tidak boleh saling menghina. "Itu tdk boleh saling menghina & menjelekkan, apalagi situasi sekarang lagi menghadapi ujian berat covid 19. Ada-ada saja. Tidak punya hati nurani. Harus saling menghormati dan menghargai apalagi masalah agama. Bagaimana manusia seperti itu ya?" kata Marsia dalam pesan yang dikirim ke WA saja. (Bersambung)** Penulis, Wartawan Senior