AGAMA

Pluralisme Represif Pemerintahan Jokowi

Pengantar: Sejak Ahok kalah pada Pilkada DKI 2017, pemerintahan Jokowi sangat represif terhadap gerakan Islam. Mengapa Profesor dari Australia Greg Fealy menyebut ada kepentingan PDIP dan NU di balik kebijakan represif dan tidak demokratis itu? Oleh Greg Fealy, Australian National University Jakarta FNN - Senin (28/09). Selama empat tahun terakhir, pemerintahan Presiden Indonesia Joko Widodo telah melakukan kampanye penindasan yang terpadu dan sistematis terhadap kaum Islamis. Ini mungkin kabar baik bagi mitra Barat Indonesia —terutama Australia— di mana survei berulang kali menunjukkan bahwa banyak yang takut akan meningkatnya konservatisme dan militansi Islam Indonesia. Tetapi Australia dan negara-negara lain harus prihatin dengan kebijakan anti-Islamis Indonesia, karena itu mengikis hak asasi manusia, merusak nilai-nilai demokrasi, dan dapat dengan baik menyebabkan reaksi radikal terhadap apa yang dilihat sebagai antipati negara yang berkembang terhadap Islam. Beberapa penjelasan diperlukan tentang siapa para Islamis ini dan tindakan apa yang diambil terhadap mereka. Umumnya, istilah 'Islamist' digunakan untuk menggambarkan Muslim yang berusaha menjadikan hukum dan nilai-nilai Islam sebagai bagian sentral dari kehidupan publik dan struktur negara. Ini bisa merujuk pada berbagai kelompok, dari mereka yang membentuk partai dan mengikuti pemilu dalam sistem demokrasi, hingga jihadis militan yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka. Pemerintah Indonesia sering melihat Islamis sebagai 'ekstremis', termasuk dalam kategori ini tidak hanya teroris dan pendukung ISIS, tetapi juga anggota atau simpatisan partai-partai Islam dan organisasi masyarakat yang tidak melanggar hukum. Apa yang disebut kelompok 'Islamis trans-nasional' secara khusus dianggap dengan kecurigaan - ini berasal dari atau menarik inspirasi dari gerakan Timur Tengah atau Asia Selatan, dan dipandang membawa pengaruh 'asing' dan fundamentalis ke Indonesia. Contoh bagusnya adalah Partai Keadilan Sejahtera yang diilhami oleh Ikhwanul Muslimin (PKS), yang telah terdaftar sejak 1998 dan menjadi bagian dari koalisi pemerintahan selama 11 dari 22 tahun terakhir. PKS memiliki catatan sempurna dalam bermain sesuai aturan permainan demokrasi, namun banyak dari anggotanya yang menjadi sasaran tindakan represif dan diskriminatif oleh negara. Represi negara dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Pegawai negeri, akademisi dan guru yang dianggap oleh badan keamanan negara aktif dalam kelompok-kelompok yang dicurigai sebagai kelompok Islam dapat dimasukkan dalam 'daftar pantauan' dan diperingatkan oleh atasan mereka, bahwa kegiatan keagamaan atau politik mereka tidak dapat diterima. Karirnya akan tersendat dan mentok, jika tidak mengubah perilaku mereka. Proses serupa terjadi di badan usaha milik negara dan perusahaan swasta. Beberapa Islamis telah disingkirkan dari posisi strategis atau ditolak promosinya. Banyak kementerian telah memperkenalkan semacam skrening dalam perekrutan pegawai baru untuk menyaring mereka yang dicurigai mempunyai pandangan Islamis. Ribuan, mungkin puluhan ribu, Islamis telah menjadi sasaran kampanye ini. Tujuannya tampaknya untuk menekan kaum Islamis agar melepaskan keyakinan mereka, atau berhenti mengungkapkan pandangan mereka secara terbuka di tempat kerja. Mengapa pemerintah Jokowi yang mengaku memegang teguh prinsip toleransi dan pluralisme melakukan tindakan tersebut? Sebagian besar partai dalam koalisi yang berkuasa Jokowi, dan terutama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), telah melihat Islamisme sebagai ancaman eksistensial bagi Indonesia dan tradisi netralitas agama konstitusional dan inklusivitas sosial. Mereka menganggap para Islamis sebagai pemecah belah karena mereka berusaha untuk mengistimewakan Muslim dan hukum Islam di dalam negara dan masyarakat. Dengan demikian menyangkal prinsip-prinsip yang mendasari negara itu. Pandangan ini juga dianut oleh organisasi Islam arus utama seperti Nahdlatul Ulama dan partai politik sekutunya (PKB) yang merupakan bagian dari koalisi yang berkuasa. Jokowi dan partai-partai pemerintah sangat khawatir pada tahun 2016-2017 ketika kelompok-kelompok Islamis memobilisasi ratusan ribu Muslim di jalan-jalan Jakarta untuk memprotes pernyataan Gubernur Ahok, Kristen Cina yang diduga menghujat Al-Qur'an. Gubernur, yang tampaknya akan meraih kemenangan besar sebelum tuduhan penistaan ​​agama, dikalahkan dalam pemilihan gubernur April 2017 dan kemudian dipenjara selama dua tahun. Peristiwa ini meyakinkan banyak orang di pemerintahan, bahwa tindakan bersama diperlukan untuk menghentikan gelombang pasang Islamisme. Memang, lebih dari beberapa menteri percaya bahwa jika Islamisme tidak dibendung dan dinegasikan selama sisa tahun kepresidenan Jokowi, maka Islamisme akan menjadi terlalu kuat untuk dikendalikan. Validitas pandangan ini dipertanyakan. Tentu saja, ekspresi konservatif Islam sedang berkembang di Indonesia, seperti halnya religiusitas konservatif yang meningkat di banyak negara Asia dan negara Barat lainnya. Tapi ini belum mengambil manifestasi politik yang koheren. Banyak Muslim konservatif menghindari politik praktis dan tidak ada partai Islam yang mampu memenangkan lebih dari 8 persen suara dalam empat pemilihan terakhir. Ya, Islamis memang menjatuhkan mantan gubernur Jakarta non-Muslim, tapi kasus itu melibatkan penistaan, yang selalu menimbulkan emosi dan semangat yang intens - tapi biasanya berumur pendek - di jalanan. Sejak saat itu, gerakan Islamis terus berjuang namun gagal mengulangi kesuksesan tahun 2016-2017. Lebih buruk lagi bagi kaum Islamis, kandidat presiden yang mereka dukung dalam pemilu 2014 dan 2019, Prabowo Subianto, tiba-tiba berubah setelah pemilu tahun lalu, bergabung dengan pemerintahan baru Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. Hal ini membuat kaum Islamis putus asa dan kacau. Jadi, sulit untuk mengatakan bahwa Islamisme membahayakan sistem politik Indonesia. Jika Indonesia memang menghargai toleransi dan keragaman, ia harus menerima legitimasi wacana Islam dan kegiatan asosiasi. Kebanyakan pandangan Islamis tidak bertentangan dengan hukum atau peraturan. Menekan Islamisme justru menekan ruang sipil dan membuat Indonesia kurang demokratis. Pemerintah Australia, mengingat telah lama mempromosikan Islam 'moderat' di Indonesia, seharusnya khawatir dengan kampanye anti-Islam. Pada saat banyak orang yang memiliki hak politik di Australia mencela apa yang mereka anggap meremehkan atau membatasi hak-hak orang Kristen konservatif di negara mereka sendiri, mereka juga harus mengadvokasi agar hak serupa diberikan kepada komunitas agama konservatif lainnya di Indonesia sebagai baik, termasuk Islamis. Toleransi keragaman agama harus menjadi penanda demokrasi yang matang dan kokoh. *) Greg Fealy adalah Profesor Madya Politik Indonesia di Departemen Perubahan Sosial dan Politik, Universitas Nasional Australia. Sumber : https://www.eastasiaforum.org/2020/09/27/jokowis-repressive-pluralism/

Khurafat Filsafat (Bagian-2)

by Irawan Santoso Shiddiq Jakarta FNN – Jum’at (11/09). Manusia menjadi sentral. Manusia menjadi objek yang mengamati. Bukan lagi objek yang diamati. Manusia pun mendefeniskkan Tuhan. Menteorikan segala sesuatunya. Termasuk alam. Itu yang disebut dengan saintifik. Maka yang mencuat adalah kebenaran ala metafisika. Era itu yang kemudian memunculkan modernisme. Era modern, eranya filsafat. Segala sesuatunya harus melewati rasio manusia. Immanuel Kant makin membuat akrobat. Kant meluncurkan teori empirisme. Hasil penyelidikan akal sekalipun, kata Kant, tak bisa diterima sebelum terbukti secara empiris. Maka, cara berpikir manusia pun makin terjerambab. Tapi manusia, sekali lagi, seolah-olah menjadi objek. Hingga Voltaire pun menelorkan kesombongannya, “Jika Tuhan menuntut ketundukan penuh, maka Tuhan adalah diktator, karenanya tak wajib dipatuhi.” Mindset inilah yang mengundang Eropa tak lagi mematuhi “Vox Rei Vox Dei” tadi. Mereka melakukan perlawanan. Dogma seolah menjadi musuh bersama. Puncaknya berlangsung Revolusi Perancis, 1789. Ini anti klimaks dari kejadian “Masacre de Paris” abad 16 lalu. Jika dulu, kaum Huguenot yang dibantai. Revolusi Perancis berbalik. Huguenot yang membantai pengikuti Gereja Roma. Raja Louis XVI digantung didepan Bastille. Gereja Roma disingkirkan. Alhasil muncul-lah teori baru soal kekuasaan. Merujuk dari teorinya Rosseau, le contract sociale. Hukum lahir berlandaskan kesepakatan manusia. Kontrak bersama. Hukum bukan lahir dari pemaksaan Tuhan. Maka, sejak revolusi Perancis, manusia seolah berhak membuat hukum sendiri. Lahirlah konstitusi yang disebut “modern state”. Tentu merujuk pada filsafat. Bahwa seolah, manusia menjadi sentral. Dengan “akal bawaan”, manusia wajib melakukan penilaian “akal bawaan” seolah menjadi sentral “kebenaran”. Makanya memunculkan rasionalitas, sebagai ajang “pembenaran”. Masa rennaisance, aqli masih disejajarkan dengan naqli. Tapi modernitas, naqli dieliminasi. Filsafat tak lagi mengakui kebenaran ala naqli. Inilah ajaran Dercartes sampai Kant. Yang kemudian diikuti Bohr, Newton sampai Marx. Maka disitulah era “segala sesuatunya adalah materi” menjadi dogma baru. Filsafat berubah menjadi “dogma” yang wajib dipatuhi dan harus diakui. Masa mu’tazilah dulu, filsafat melahirkan dogma bahwa Al Quran adalah makhluk. Sesiapa yang tak mempercayainya, maka dihukum. Maka para Khalifah, yang terjerumus mutazilah pun melaksanakan hukuman. Modernitas melahirkan “dogma” teknikal state. Ini wajib dipatuhi. Sesiapa yang menentang, dianggap ekstrimis. Jadi ini menjadi karakteristik filsafat. Pemaksaan. Filsafat bukanlah ajang berpikir. Melainkan ajang pemaksaan kehendak. Karena filsafat memaksa, bahwa kehendak seolah berada di tangan manusia. Ini yang dulu digambarkan Imam Al Ghazali, ketika menyerang filsafat-nya kaum mu’tazilah. Imam Ghazali mengatakan, qudrah dan iradah itulah berada di area Tuhan. Bukan manusia. Sementara filsafat, dengan “akal bawaan” atau “ide bawaan”, manusia seolah yang memiliki daya dan kehendak. Disinilah, yang menurut Imam Ghazali, kesesatan dari filsafat dan filosof itu. Filsafat meyakini bahwa segala sesuatunya memiliki permulaan. Itu yang disebut teori kausalitas. Sebab akibat. Imam Ghazali memberi contoh, ketika air bertemu api, maka menjadi panas. Filsafat yang “berpikir”, bahwa yang memanaskan air menjadi uap itu adalah api. Sehingga seolah daya dan kehendak itu berada di tangan manusia. Yang memantik api dan memanaskan air. Hingga uap pun terjadi. Padahal bukan. Air, api, uap, itu merupakan ciptaan Allah Subhanahuwataala. Ghazali menggambarkan, Allah Subhanahuwataala menciptakan air, api, dan uap, berikut dengan sifat-sifatnya. Bukan sekedar materinya belaka. Sifat air, tentu mengalir dan jika bertemu dengan sifat api yang panas, akan memunculkan uap. Ini bagian dari ‘kehendak dan daya-Nya Allah Subhanahuwataala. Manusia hanya menjalankan semata. Bukan “menemukan” kehendak dan daya itu. Jadi, panasnya air karena api itu, bukan disebabkan oleh api yang membakar. Melainkan sifat air dan sifat api yang saling bertemu. Dan semua benda, Allah Subhanahuwataala yang menciptakan berikut dengan sifat-sifatnya. Dan itu tak dipisahkan dari benda tersebut. Jadi keliru jika manusia “dengan akalnya” seolah yang berhasil menciptakan air yang panas. Disebabkan oleh api yang membakar. Padahal kehendak dan daya itu tetap berada pada Qudrah dan Iradah-Nya Allah Subahanhuwataala. Dan Allah Subhanahuwataala bisa dengan mudah mengubah sifat api. Tak selamanya api panas. Ketika Ibrahim Allaihisalam dibakar, Allah memerintahkan Malaikat untuk mengubah sifat api. Alhasil api menjadi dingin. Jadi yang menjaga pengaturan alam semesta ini, tentu Malaikat yang bertugas atas perintah Allah Subhanahuwataala. Nah, “cogito ergo sum” seolah mengajarkan bahwa manusia harus memikirkan segala sesuatu dalam rasionya, baru bisa dianggap sebagai “kebenaran.” Inilah yang disebut Martin Heidegger sebagai kekeliruan. “Sains tidak berpikir,” katanya dalam “Being and Time”. Modernisme bikin manusia terjerambak pada sistem. Dengan rasionalitas tadi, seolah alam merupakan sebuah sistem. Ini yang ditampik Goethe. Dan Nietszche pun menampik Socrates. “Bagaimana mungkin bahagia itu bersumber dari berpikir,” katanya. Karena memang filosof memaksa, bahwa sumber “bahagia” bagi diri manusia, adalah memenuhi fakultas akal. Fakultas rasio. Disinilah problematikanya. Modernitas membuat manusia terjebak pada “teknikal state”, yang muncul dari saintisme kekuasaan. Manusia terjerambab pada konstitusionalisme, yang seolah menjadi panduan. Itulah modernis Islam. Yang meletakkan Al Quran sebagai konstitusi. Sebuah kegilaan tersendiri. Modernitas melahirkan manusia seolah bisa mencipta dan membuat. Graham Bell seolah sebagai “pencipta” telepon. Makanya dia layak diberi materi. James Watt dianggap “pencipta” mesin uap. Dari sinilah muncul copy right. Manusia pun terjerambab pada halusinasi qudrah dan iradah yang seolah berasal dari manusia. Bukan Tuhan. Alhasil yang muncul adalah peradaban “teknikal state”. Ini yang disebut Ernst Junger sebagai “gestalt”. Manusia berubah menjadi buruh bagi yang lainnya. Karena “pencipta” terdahulu berubah menjadi majikan. Mereka-lah pemegang copy right. Yang seolah tak boleh digeser. Inilah dogma baru yang menyesatkan. Dan puncak dari pemegang copy right teratas, itulah para bankir. Mereka mencap seolah sebagai pemegang tunggal pencetak uang. Uang kertas. Selain mereka para bankir, tidak diijinkan mencetak uang, alat tukar bagi manusia di seluruh dunia. Bahkan, Presiden suatu negara, tidak diperkenankan mencetak uangnya sendiri. Inilah sihir rasionalitas. Yang membuat manusia terjerambab pada penjara khurafat. Karena filsafat membuat manusia seolah tak lagi percaya pada fitrah. Suatu aturan yang datang dari Allah Subhanahuwataala. Filsafat mengubah manusia menjadi khurafat. “Filsafat tak bisa menemukan kebenaran,” kata Heidegger. “Ma’rifatullah itulah berpikir,” ujar Shaykh Umar Vadillo, ulama Spanyol. Disinilah kita menemukan sumber kebahagiaan sejati. Plato mengajarkan, tiga unsur dalam manusia itu akal (kepala), kehendak (dada) dan nafsu (perut). Akal itulah puncak yang mengatur. Dari situlah filsafat. Kehendak lahir dari buah pikiran akal. Itulah teori filosof illahiyyun. Shaykh Abdalqadir as sufi menggambarkan, modernitas ini telah melahirkan peradaban yang menghilangkan rasionalitas. Tak bernilainya segala sesuatu yang penting, telah mendominasi pemikiran, pengajaran dan perilaku.” Ini menggambarkan bahwa modernitas tak lagi melahirkan “kebenaran” ala akal sekalipun. Kehendak, bukan lagi datang dari akal, seperti gambaran Plato. Post modernitas, melahirkan “kehendak” yang disetir oleh nafsu. Nafsu manusia berada pada puncak. Bukan lagi akal sebagai puncak. Alhasil melahirkan perabadan syahwati. Dalam bidang hukum, Lawrence Freidmann menggambarkan, hukum masa abad 20 ke atas, tidak lagi dibuat oleh para pemikir hukum, agamawan dan lainnya. Hukum abad 20 dibuat oleh praktisi hukum. Inilah hukum demi kepentingan syahwati. Hukum yang melahirkan kepentingan nafsu belaka. Alhasil tak lagi tercipta “kebenaran materil”. Pengadilan ala rechstaat, yang teorinya merupakan wadah untuk mencari kebenaran materil, kini tak lagi terjadi. Karena pencari keadilan memiliki target baru, “mencari kemenangan materil”. Bukan lagi kebenaran materil.’ Inilah buah dari khurafatnya filsafat. Karena memang Imam Ghazali telah mengingatkan, “sesungguhnya akal tak dijamin dari kesalahan. Maka tak dibenarkan mengambil hakekat ajaran agama darinya.” Inilah yang dijawab Nietszche, “Filsafat itulah berhala.” Jalan tassawuf itulah jawaban atas kesesatan filsafat. Tubuh manusia bukan terdiri dari akal, kehendak dan nafsu. Melainkan dari qalbu, akal dan nafsu. Qalbu itulah sebagai raja. Kepala pengendali atas tubuh. Dan qalbu ini akan tersingkap dengan ma’rifatullah. Pemahaman tentang Allah Subhanahuwataala dengan benar. Inilah jalan tassawuf. Disitulah akan tersingkap syariat (jalan besar) dan tariqah (jalan kecil). Inilah jalur menuju kebenaran. Kebahagiaan, kata Imam Ghazali adalah dengan memenuhi asupan pada fakultas qalbu. Bukan fakultas nafsu. Metode itu tersimpan rapi dalam pengajaran tassawuf. Dari guru-guru yang memiliki sanad sahih, sebagaimana turun temurun dari pengajaran Rasulullah Shallahuallaihiwassalam. Inilah jalan selamat dari gerusan “teknikal state” yang melahirkan “gestalt” seperti kata Junger tadi. (habis). Penulis adalah Wartawan Senior dan Direktur Eksekutif Mahkamah Institute.

Waspada, Banyak Komunis Berbaju Agama

by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN - Rabu (09/09/. Kakek politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan bernama Bakaruddin merupakan pendiri Partai Komunis Indonesia (PKI) di Sumatera Barat (Sumbar). Ini Arteria Dahlan, kakeknya Bakarudin itu pendiri PKI Sumatera Barat dan anggota Konstituante 1955,” kata Hasril Chaniago di acara ILC tvOne, Selasa (8/9/2020). Acara Indonesia Lawyers Club (ILC) asuhan Karni Ilyas yang tayang Selasa (8/9/2020) malam ramai diperbincangkan. Ramai bukan semata-mata karena membahas tentang tuduhan Puan Maharani yang menyebut orang Sumbar tidak Pancasialis. Akan tetapi, semakin membuka mata masyarakat bahwa di PDI Perjuangan itu banyak bersembunyi turunan PKI atau orang yang berpaham komunis. Saya sendiri tidak menonton acara ILC yang selalu ditunggu pemirsa di seluruh tanah air. Tidak menonton, bukan karena tidak suka, tetapi karena kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan. Adalah wartawan senior Hasril Chaniago yang membuka tabir tentang anggota DPR RI dari PDI P, Arteria Dahlan. Kakek politikus PDIP yang sering membuat kontroversi atau kegaduhan itu ternyata turunan Partai Komunis Indonesia (PKI). Artirea Dahlan menurut Hasril Chaniago adalah cucu Bakaruddin, pendiri PKI di Sumbar. “Ini Arteria Dahlan, kakeknya Bakarudin itu pendiri PKI Sumatera Barat dan anggota Konstituante 1955,” kata Hasril Chaniago di acara ILC tvOne, Selasa (8/9/2020). Selain itu, Hasril mengatakan, PRRI bukan memberontak tetapi mengoreksi pemerintah Soekarno yang dekat PKI. Setelah kemerdekaan, ada sembilan kali pergantian kekuasaan, biasa saja dalam demokrasi. “Yang tidak boleh runtuh itu negara. Dalam negara demokrasi setiap minggu itu boleh runtuh (pergsntian kekuasaan). Ini sejarah yang harus diluruskan dari bangku sekolah,” katanya. Pernyataan Hasril Chaniago itu sontak membuat banyak orang menjadi tahu Artirea Dahlan, anggota DPR dari PDIP yang juga sempat membentak-bentak ekonom senior Prof. Emil Salim. Selain itu, semakin membuka tabir, PDIP adalah tempat penampungan keturunan PKI, orang yang berpaham komunis, dan bahkan ateis. Ini bisa dimaklumi karena partai ini menurut petingginya sangat plural, sangat terbuka dan demokratis. Oleh karena itu, di partai ini juga ada penulis buku, "Saya Bangga Jadi Anak PKI, Menyusuri Jalan Perubahan, " Ribka Tjiptaning. Kita salut kepada Ribka Tjiptaning yang secara terang-terangan mengakui anak PKI. Bagaimana dengan yang lainnya yang bercokol di PDIP maupun partai lainnya? Mereka malu-malu kucing mengakui sebagai turunan PKI. Kita berharap semakin banyak yang mengikuti jejak Ribka Tiptaning, sehingga semakin jelas siapa yang komunis anti Pancasila, dan siapa yang Pancasilais sejati. Menjadi tidak wajar jika penganut paham komunis berkumpul di partai yang selalu mendengungkan paling Pancasilais itu, karena sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa." Kok bisa orang PKI atau orang yang berpaham komunis berada di PDIP? Padahal, jelas komunis itu anti Tuhan atau tidak mengakui adanya Tuhan, sedangkan PDIP itu, katanya sangat Pancasilais. Arteria Dahlan telah membantah pernyataan Hasril Chaniago. Menurut Arteria, ia tidak ada hubungan dengan pendiri PKI Sumbar. Bahkan, ia menyebut berasal dari keturunan Masyumi, keluarga taat beragama dan guru ngaji pula. Bantahannya itu sah-sah saja. Siapa pun yang dituduh atau disebut macam-macam, berhak membantahnya. Apalagi PKI dan komunis di Indonesia merupakan isu sensitif. Bisa jadi bantahannya itu benar, bisa salah. Ia hanya berusaha melindungi diri dari cacian dan cercaan banyak orang. Akan tetapi, bantahan itu ibarat pepatah, "Nasi sudah menjadi bubur." Dalam ingatan banyak orang, dan juga tulisan yang berseliweran di media sosial, yang keluar adalah, "Ternyata masih turunan PKI. Pantas kalau bicara tidak punya adab." Masih banyak kalimat lain yang muncul. Nah, jika benar Aetirea Dahlan adalah turunan PKI, tidak salah juga ia menjadi bagian dari PDI Perjuangan. Sebab, setiap orang - apalagi turunan - berhak untuk hidup layak, baik secara ekonomi, politik, sosial, keamanan dan budaya. Kalaupun di PDIP banyak turunan PKI atau penganut paham komunis, itu juga sesuatu yang wajar. Sebab, di FPI (Front Pembel Islam ) juga ada turunan PKI. Bahkan, turunan PKI dan penganut paham komunis itu ada di berbagai lini kehidupan masyarakat. Komunis di berbagai lini Yang membedakan turunan PKI yang ada di FPI dan PDIP adalah dalam hal menyadarkannya. Jika yang di FPI turunan PKI disadarkan agar kembali ke ajaran agama Islam yang benar, di PDIP tidak. Di FPI diajarkan lebih sopan dan santun terhadap yang lebih tua, sebagian turunan PKI di PDIP tidak. Contohnya, Arteria Dahlan yang menggertak-gertak Emil Salim, yang sudah sepuh. Jika turunan PKI atau penganut paham komunis dan bahkan ateis masuk ke lingkup FPI, mereka diminta bertaubat. Sedangkan di PDIP dibiarkan dengan tabiat politik kasar, dan jika perlu menghalalkan segala cara. Penganut paham komunis berkedok agama, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha harus diwaspadai. Mereka menyusup ke tengah umat beragama, khususnya agama Islam dengan cara halus. Kini mereka sedang mengkapanyekan bahwa Ketua CC PKI DN Aidit sewaktu remaja adalah muazin masjid di kampungnya, Pulau Belitung. Bisa jadi itu benar semua. Akan tetapi, nafsu politik dan birahi kekuasaan bisa mengubah jalan hidup seseorang. Saya mengatakan, "DN Aidit itu murtad menjadi kafir komunis." Masih tidak percaya DN Aidit komunis? Baca saja sejarah secara benar. PKI lah yang menghantarkannya menjadi Wakik Ketua MPRS periode 1960-1966. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

MUI Diobok-Obok, Sekjen Ancam Mundur

by Tony Rosyid Jakarta FNN – Senin (07/09). Muballigh akan disertifikasi. Wacana ini berasal dari Menteri Agama. Luar biasa dan sangat serius. Pro dan kontra muncul. Menteri Agama Farul Rozi nggak peduli. Rencana jalan terus. Kabarnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan dilibatkan dalam program sertifikasi muballigh versi Menteri Agama ini. Apakah MUI setuju? MUI belum ambil keputusan. Apakah terima tawaran untuk terlibat, atau tidak? Sampai sekarang belum ada pernyataan resmi. Namun mendadak, Sekretaris Jenral (Sekjen) MUI, Anwar Abbas meradang. Sekjen membuat pernyataan yang mengejutkan. Jika sertifikasi muballigh ini diberlakukan, Sekjen MUI, Anwar Abbas akan mengambil sikap yang tegas, yaitu mundur. Anwar Abbas membuat surat pernyataan yang diposting di salah satu group WA. Pernyataan Anwar Abbas pun viral. Dan sejumlah media membicarakannya. Kenapa pernyataan Sekjen Anwar Abas mesti diposting keluar? Kenapa tidak dibicarakan saja dulu di internal MUI saja? Apakah bijak membuat pernyataan mundur dengan memviralkannya di luar MUI? Pernyataan Anwar Abbas yang diposting keluar seolah memberi petunjuk bahwa MUI tak satu suara soal "project" sertifikasi muballigh. Ini juga seolah memberi informasi bahwa di MUI sedang menguat kelompok yang setuju dan menerima rencana sertifikasi muballigh ini. Logikanya, jika penerimaan sertifikasi muballigh nggak menguat di MUI, untuk apa Anwar Abbas membuat ancaman seperti itu. Ancaman Anwar Abbas bisa dipahami sebagai pressure terhadap menguatnya penerimaan terhadap rencana sertifikasi muballigh tersebut. Kedua, Anwar Abbas menganggap sertifikasi muballigh ini bagian dari upaya pemerintah mengontrol, mengawasi dan membatasi para muballigh. Otomatis itu sama saja mengontrol, mengawasi dan membatasi para ulama. Bagaimana negara bisa menjadi baik, jika peran "nahi munkar" ulama dibatasi? Apalagi jika dikaitkan dengan keberhasilan pemerintah mengontrol partai, TNI, kepolisian, KPK, pers, kampus dan sejumlah ormas selama ini. Maka sertifikasi muballigh semakin meyakinkan adanya upaya pemerintah untuk mengontrol semua potensi kekuatan kontrol di luar pemerintah. Ulama ini benteng terakhir rakyat. Jika ulama juga dikontrol, kelarlah negara ini. Ketika kontrol umat menguat, banyak ulama yang semakin kritis dan terlibat dengan urusan politik, pemerintah merasa nggak nyaman. Selalu takut dan was was. Dihantui kekhawatiran yang dibuatnya sendiri. Untuk menghadapi ini, isu radikalisme terus diproduksi. Menuduh "good looking" sebagai ciri radikalisme. Katrok... Katrok... Menggelikan! Rupanya, upaya ini tidak cukup berhasil. Bahkan belakangan, MUI justru terdepan menolak sejumlah kebijakan penguasa, terutama Perppu dan RUU. Terutama RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), Omnibus dan UU Minerba. Juga meminta pembubaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Hubungan MUI dengan pemerintah saat ini memang tidak begitu harmonis. Terutama sejak keluarnya Fatwa terkait kasus penistaan agama Ahok, dan maklumat MUI tentang RUU HIP. Sejak posisi ketum MUI ditinggal Kiai Ma'ruf Amin, MUI makin kritis, tegas dan berani. Sertifikasi muballigh yang digagas Kementerian Agama dengan melibatkan MUI telah menimbulkan sejumlah kecurigaan. Pertama, MUI bisa dimanfaatkan untuk menghadapi dan mengontrol kekuatan ulama dan umat yang selama ini kritis dan beroposisi terhadap pemerintah. Kedua, membatasi gerakan dakwah agar tidak masuk dalam wilayah politik. Intinya, dakwah nggak boleh kritik pemerintah. Nggak boleh bicara Khilafah, Trisila, dan Ekasila. Tidak boleh ngomongin kebijakan pemerintah dan menyinggung korupsi. Bicara iman taqwa yang hanya terkait surga neraka saja. Kalau begitu, buat apa agama ada di dunia? Oleh banyak ulama dan kalangan umat, sertifikasi muballigh jika diberlakukan, maka potensinya sangat besar mampu membonsai dan mengkriminalisasi para muballigh. Karena itu, Sekjen MUI tegas. Buat apa tetap bertahan di MUI, kalau kemudian MUI dijadikan alat penguasa untuk membonsai dan mengkriminalisasi ulama. Munduuuuuuuur! Penulis dalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Khurafat Filsafat (Bagian-1)

by Irawan Santoso Shiddiq Jakarta FNN – Ahad (06/09). Frederich Nietzsche berkata, “saya sejak lama ingin hidup di kalangan kaum Muslim, khususnya ketika iman mereka kuat. Dengan ini saya berharap bisa mengasah penilaian saya dan pandangan saya untuk menilai hal-hal kebaratan.” Nietszche memberi pesan tentang indahnya kehidupan berada dalam lingkupan kaum muslimin. Tapi ketika masa keimanan kaum muslimin sangat kuat. Bukan di era modernis Islam kini. Karena kini aqidah muslimin, jamak dikooptasi kaum modernis dan wahabbi. Mereka menggelontorkan aqidah, yang menurut Shaykh Abdalqadir as sufi, “Tauhid yang mengerikan”. Tentu dengan dalih pemurnian Tauhid. Nietszche terkagum dengan Goethe. Pujangg Jerman, yang lebih dulu menyatakan ke-Islamannya. Shaykh Abdalqadir as sufi, ulama besar dari Eropa, berfatwa, Goethe meninggal sebagai muslim. Karena Goethe jamak terkagum dengan Muhammad Shallahu Allaihi Wassalam. Ian Dallas menyebut, pandangan spiritualitas Nietszche, jamak dipengaruhi oleh Goethe. Dan satu kalimat Goethe yang sangat penting untuk manusia modern. Goethe berkata, “mustahil alam dipikirkan sebagai sebuah sistem, karena alam adalah kehidupan”. Dari Goethe menuju Nietszche. Kita akan mendapati Martin Heidegger. Filosof Jerman pada abad 21. Heidegger menggambarkan kesesatan cara berpikir ala filsafat. “Filsafat tidak menemukan Kebenaran”, katanya. Karena Nietszche sebelumnya telah berkata, “Filsafat itulah berhala”. Gambaran mereka menarik. Hingga kemudian kita mendapati ulama kesohor dari Eropa, Ian Dallas. Darinya kaum barat bisa menemukan jawaban. Dallas menggambarkan tentang Islam-nya Goethe, sampai pentingnya Heidegger bagi kaum muslimin. Terutama kaum modernis Islam, yang jamak sibuk membebek pada barat. Karena mereka telah membuat “Filsafat telah mati”. Karena Nietszche lebih dulu mengatakan, “Tuhan telah mati”. Yang membunuh Tuhan, sejatinya adalah “filsafat”. Karena buah pikiran manusia itu. Dari Dallas, “Filsafat telah mati” menemukan jawaban, yaitu kembalinya “tassawuf”. Ini pertanda matinya filsafat, kembalinya Islam. Ini pula yang disebut Nieszche sebagai “ketika keimanan muslimin menguat”. Karena dalam tassawuf itulah terjamin tentang aqidah Islam yang mumpuni. Bukan “Tauhid yang mengerikan” ala modernis Islam dan kaum wahabbi. Dari kalimat Goethe, “mustahil alam dipikirkan sebagai sebuah sistem...” menunjuk bantahan akan filsafat. Goethe hidup kala filsafat tengah menggeliat di Eropa. Kala barat keranjingan filsafat. Goethe hidup seabad setelah Rene Descartes menebar virus “cogito ergo sum” di barat. Jaman ketika Eropa berada dalam kungkungan dogma Gereja Roma. Adagium berkembang kala itu menggeliat “vox Rei vox Dei” (suara Raja suara Tuhan). Eropa terperangah dengan aqidah “jabarriya”-nya Gereja Roma. Gereja Roma tampil menjadi penafsir tunggal ajaran Nasrani, yang wajib dipatuhi. Gereja dan Raja menjadi seperti “ulama dan umara” yang memangku Eropa. Disitulah mencuat perlawanan akan kondisi kekuasaan. Karena pemaksaan “Vox Rei Vox Dei” tadi. Karena satu sisi, Raja jamak menyalahgunakan kekuasaan. Seolah memang itu segala-galanya datang dari Tuhan. Peristiwa pembantaian 2000 orang Huguenot di istana Raja Charles IX, Raja Perancis abad 16, makin memantik perlawanan terhadap “Vox Rei Vox Dei”. Christopher Marlowe, dramawan Perancis, menggambarkan apik kejadian “genosida” karena perang agama masa itu. Dallas mengutipnya dalam kitabnya kesohor, “The Entire City” (telah terbit dalam bahasa Indonesia oleh penerbit MAHKAMAH). Peristiwa “Massacre de Paris”, pembantaian 2000 orang lebih pengikut Protestan, yang dituduh bid’ah. Memunculkan semangat filsafat. Karena beragam pertanyaan mencuat, “benarkah raja tak pernah salah? Benarkah raja itu wakil Tuhan? Apakah perbuatan raja itu dianggap ‘perbuatan Tuhan? Nah, tragedi itulah yang memantik kaum Eropa untuk “berpikir” ala filsafat. Copernicus memberikan bukti. Betapa dogma seolah tak boleh digeser. Pertarungan kebenaran ala Gereja, dan kebenaran sains pun terjadi. Galileo memberikan lagi. Dan Bruno makin memantiknya. Tapi pembakaran dirinya di depan umum, makin membuat kaum Eropa jengah akan dogma. Ini terjadi ketika masa “Eropa Springs”. Ketika kaum Eropa sibuk berperang internal. Sementara jaman itulah muslimin tengah dalam “keimanan yang kuat”, seperti kata Nietszche tadi. Itulah masa Daulah Utsmaniyya tengah dalam kejayaan. Tassawuf langgeng pesat di sana. Francis Bacon lebih dulu mendobrak. Dia menteorikan dengan “being”. “Aku Ada (being), maka aku berpikir (thingking)”. Segala sesuatu, harus bertitik tolak pada manusia. Dan inilah memang filsafat. Karena memang Socrates, Plato, Aristoteles mewariskannya. Masa rennaisance itulah, filsafat di-Kristen-kan. Sementara masa mu’tazilah, filsafat seolah di-Islam-kan. Rennaisance meluncurkan karena ekspor filsafat dari kaum mu’tazilah. Masa ketika Islam dirundung kejayaan sains sebagai anak kandung filsafat. Tapi runtuh secara kekuasaan. Karena jaman mu’tazilah itulah muslimin kehilangan A- Quds sampai runtuhnya Andalusia. Di tengahnya, masa itu pula Khalifah Al Mu’tashim Billah ditangkap oleh Hulagu Khan. Itulah periode muslimin tanpa Khalifah. Masa interagnum pertama. Tapi untungnya aqidah berhasil terselamatkan. Karena ulama-ulama kembali bersuara. Paham filsafat dicegat mutakallimun, Imam Asy’ari, Imam Mathuridi dan ulama besar lainnya. Mereka membantai kesesatan filsafat dalam memahami Tuhan. Dan Imam Ghazali menyerang habis filsafat, “Tahafut al Falasifah”. Serangan Imam Ghazali itu, hingga kemudian memunculkan Shaykh Abdalqadir Al-Jilani, yang membawa kembali muslimin pada tassawuf. Inilah jalan aman untuk memahami Tuhan dan kehidupan dengan benar. Dari situlah lahir Sultan Salahuddin al Ayyubi sampai Daulah Utsmaniyya. Buah dari pengajaran tassawuf, dan menyingkirkan filsafat. Tapi filsafat kemudian menyeberang ke Eropa. Dikutip rennaisance. Thomas Aquinas memulainya. Dia mengutip ajaran Ibnu Rusyd. Aquinas menelorkan perlawanan atas dogma. Kitabnya, “Tweez Warden Theorie” (teori dua belah pedang). Dia mengutip kebenaran ganda. Dulu masa Mu’tazilah, Al Farabi, guru kedua setelah Aristoteles, menelorkan tentang teori emanasi. Kebenaran ganda. Kebenaran ala filsafat dan kebenaran ala Wahyu. Aquinas mengenalkan teori emanasi itu pada Eropa. Maka seolah filsafat juga bisa menemukan “kebenaran”. Dengan teori ala Plato, “ide bawaan” atau ala Aristoteles, “akal bawaan”. Itulah seolah-olah yang kemudian dianggap sebagai “kebenaran”. Padahal Plato mengajarkan, segalanya tak bisa diterima begitu saja, sebelum diteorikan oleh akal manusia. Itu yang disebut dengan “teori”. Masa rennaisance, sama seperti era mu’tazilah. Aqli didudukkan sejajar dengan naqli. Tapi Descartes kemudian mengubahnya. Dia mengajar teori filsafat murni. Cartesius memaksa bahwa segala sesuatunya bisa dianggap kebenaran, jika telah melewati dengan proses saringan akal manusia. “Filsafat adalah dimana manusia, Tuhan, dan alam semesta menjadi ajang penyelidikan manusia,” kata Descartes. Disinilah racun itu kemudian mewabah. (Bersambung) Penulis adalah Wartawab Senior dan Direktur Eksekutif Mahkamah Institute.

Wakafkan Tempat Tinggal Jadi Mushola, Allah Ganti 12 Rumah

Malam Sabtu solat Tahajjud, malam Minggu Tahajjud dan malam Senin Tahajjud. Malam Senin Tahajjud dan sempat solat subuh terlambat. Ketika solat Tahajjud malam Senin itulah ada semacam bisikan agar rumah jangan ditukar, tetapi harus diwakafkan menjadi musola. by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN - Jumat (4/9). Multazam. Hampir semua umat Islam, terutama yang sudah melaksanakan Ibadah Haji dan Umrah tahu nama itu. Multazam merupakan bagian dari Ka'bah yang mulia, yang terdapat di antara Hajaral Aswad dan pintu Ka'bah. Multazam adalah salah satu tempat yang diyakini umat Islam sebagai tempat yang paling mustazab untuk memanjatkan do'a kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Al-Multazam. Nama itu pun diberikan pada sebuah musola yang berada di gang sempit, di Jalan Slipi Kebun Sayur Rt 12 Rw 03, Kemanggisan, Kelurahan Palmerah, Jakarta Barat. Ya, musola tersebut berada di antara dempetan rumah penduduk yang sangat padat. Berada di pemukiman padat bisa dimaklumi karena musola ini juga awalnya adalah sebuah rumah tinggal. Bangunan dua lantai yang berdiri di atas tanah 80 meter persegi itu adalah wakaf dari H.Mulyadi (52 tahun) dan keluarga. Jika sekedar tanah wakaf tentu sudah biasa juga dijumpai pada maasjid dan musola yang sejak awal pembangunannya diperuntukkan bagi tempat ibadah kaum Muslimin itu. Akan tetapi, sebuah bangunan rumah tinggal yang kemudian diwakafkan menjadi musola tentu berbeda ceritanya dan jarang terjadi, apalagi berada di kawasan padat penduduk. Rata-rata menilai, yang tinggal di kawasan padat identik dengan kelas ekonomi menengah ke bawah. Awalnya saya mendapatkan cerita tentang wakaf ini ketika saya solat di musola itu. Ada cerita unik dan kurang masuk akal. Katanya, anak H. Mulyadi sempat jatuh dari lantai dua musola itu. Jatuh karena sang pemilik rumah sempat berubah niat. Awalnya berniat mau mewakafkan secara total rumahnya untuk musola, kemudian berubah niat menjualnya dan sebagian uangnya disumbangkan untuk membangun musola. Akan tetapi, kalau Allah Subhanahu Wa Ta'ala berkehendak, apa pun bisa terjadi. Cerita jemaah seusai solat Ashar tersebut kemudian saya cocokkan dengan Mulyadi. Ceritanya hampir sama. Ia yang ditemui di tempat usahanya, Jagal Mania di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten mengiyakan cerita yang saya peroleh itu, walau agak berbeda sedikit. Ia pun menceritakan asal-muasal rumahnya itu diwakafkan menjadi musola. "Saya itu anak jalanan. Tidak mengerti agama Islam. Tahu Islam, tapi tidak dipelajari," katanya mengawali ceritanya. Menurut Mulyadi, ia "anak jalanan" yang sudah biasa berjualan daging sapi dan menjadi jagal sapi. Ceritanya, tahun 2003, ada pedagang daging di Pasar Bendungan Hilir (Benhil), Jakarta Pusat, tiba-tiba mengajaknya menunaikan Ibadah Haji. "Tahun 2003, Pak Cecep mengajak saya naik haji. Waktu itu ongkos kalau tidak salah Rp 23 juta. Ya, ajakan itu saya terima dan langsung mendaftar. Waktu itu, daftar bisa langsung berangkat. Pergi haji sekalian belajar agama. Ya belajar solat dan lainnya," ujar Mulyadi dalam perbincangan dengan penulis, Senin, 31 Agustus 2020 malam. Menurut pengakuannya, sejak diajak naik haji dan kemudian mendaftar itulah ia benar-benar belajar solat. Ia pun dengan tekun dan khusuk belajar dan beribadah. Ia mendengarkan ceramah dari ustaz, kalau naik haji perbanyak berdoa di Multazam. Apa yang didengarnya itu dilakukannya saat tiba di Tanah Suci. Multazam di dalam Masjidil Haram menjadi tempat ia senantiasa memanjatkan doa. Suatu ketika, saat berdoa di Multazam, ada semacam bisikan kepadanya agar rumah tempat tinggalnya dijadikan musola. Di dalam hatinya, ia pun memgatakan, sepulang ke Indonesia akan mewakafkan rumahnya menjadi musola. Padahal, ia belum memiliki rumah kedua. Waktu itu, ia sudah memiliki tempat jagal atau pemotongan sapi seluas 3000 meter persegi yang dia kontrak Rp 50 juta per tahun. Akan tetapi, ia sudah bertekad bulat menjadikan rumahnya itu menjadi musola. Setiba di Indonesia, ia mengutarakan niat itu kepada keluarga. Keluarga tentu tidak keberatan jika rumah yang dibeli tahun 2001 seharga Rp 50 juta itu diwakafkan. Mendengar ceritanya yang ingin mewakafkan rumah tersebut, godaan setan justru datang. Padahal, ia sudah semakin rajin beribadah, terutama solat wajib dan sunnah. Suatu ketika, tetangga di depan rumahnya menawarkan agar tukar-menukar rumah. "Ketika itu, sambil jalan pulang solat Jumat, Pak Wari, tetangga di depan rumah saya menawarkan agar tukaran rumah. Luas rumah Pak Wari 100 meter per segi. Kan itu lebih luas dari rumah saya yang 80 meter per segi. Selain itu, Pak Wari juga menawarkan tambahan uang Rp 50 juta," kata Mulyadi yang sehari-hari dipanggil Pak Mul itu. Tawaran itu pun diterimanya. Sebab, ia bertekad rumah tukar-tambah dengan Wari itu tetap diwakafkan menjadi musola. "Sepulang shalat Jum'at saya iakan tukar rumah, sore harinya anak saya, Yusuf Shoopy Sugandha jatuh dari lantai dua. Langsung dibawa ke RS Patra Ika yang tidak jauh dari rumah. Rumah sakit tersebut merujuk ke RS Harapan Kita. Tapi RS Harapan Kita juga menolak dan merujuk ke RS Tjipto Mangunkusumo. Ya, anak saya yang masih TK dibawa menggunakan ambulans dari rumah sakit pertama sampai ke RS Tjipto," katanya mengenang peristiwa itu. Sejak jatuh anaknya tidak sadar. Sebab, jatuh dari lantai dua dengan posisi kepala belakang membentur jalan gang di depan rumahnya. Ya, jatuhnya telentang dan kepalanya membentur benda keras berupa jalan gang yang dibeton. Tiga hari tiga malam anaknya dirawat di RS Tjipto dalam kondisi tidak sadar atau koma. Sejak dirawat di RS Tipto Sabtu malam, Mul selalu melaksanakan solat Tahajjud di musola yang ada di rumah sakit itu. Malam Sabtu Tahajjud, malam Minggu Tahajjud dan malam Senin Tahajjud. Malam Senin Tahajjud dan sampai solat subuh terlambat karena tertidur. Ketika solat Tahajjud malam Senin itulah ada suara, membisikkan agar rumah jangan ditukar, tetapi harus diwakafkan menjadi musola. "Selesai solat subuh, saya telefon Pak Wari. Saya kabarkan, tidak jadi tukar rumah," katanya. Wari pun memakluminya. Mul menceritakan peristiwa luar biasa dialami anaknya. Senin, selesai solat Dhuha, anaknya sadar dan langsung memanggilnya. Anak saya langsung panggil saya, "Ayah..." "Itu terjadi setelah saya selesai Dhuha," ujar pria yang rajin puasa Senin dan Kamis itu. Semestinya, Senin siang atau sore sudah bisa keluar dari rumah sakit. Akan tetapi, dokter memutuskan keluar Selasa. Padahal, anaknya yang kini sudah kuliah itu, sudah normal. Peristiwa di bulan Muharram tahun 2003 itu, sempat menjadi pemberitaan harian terkemuka di ibukota, karena dianggap bayi ajaib. Selasa, anaknya keluar dari RS Tjipto. Akan tetapi, Mulyadi dan keluarga tidak pulang ke rumah tinggal mereka. Ia memilih membonyong seluruh keluarganya ke tempat kontrakan yang dia jadikan tempat usaha jagal sapi. Sejak pulang dari rumah sakit itu, Mul dan keluarga tidak pernah lagi tinggal di rumah mereka. Langsung diwakafkan menjadi musola. "'Saya tidak mau pulang ke sana (rumah tempat anaknya jatuh), melainkan ke kotrakan ini, "katanya merujuk tempat usahanya yang akhirnya dia beli seharga Rp 1, 2 miliar. Kini, tempat usaha pemotongan hewan miliknya (potong sapi dan ayam), sudah ditawar pengembang perumahan terkenal seharga Rp 30 miliar. Namun, ia tidak menjualnya. Satu tahun setelah peristiwa anaknya jatuh (2004), ia mampu membeli 12 unit rumah yang ukurannya lebih luas dan lebih mewah dari yang diwakafkan menjadi musola. Termasuk membeli rumah tinggalnya sekarang, di Villa Mutiara, tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Sudimara. "Allah ganti, tidak hanya ganti satu. 12 rumah Allah ganti. Dalam jangka satu tahun," katanya. Secara total, tiga tahun setelah mewakafkan rumah menjadi musola, Mul mampu membeli 12 unit rumah (sekarang tinggal 5 unit, karena sebagian dijual), membeli lahan pemotongan hewan seharga Rp 1,2.miliar, dan juga membeli sebuah villa di Kawasan Cipanas, Puncak, Jawa Barat. Villa tersebut tidak disewakan. Hanya digunakan untuk acara keluarga, dan acara keislaman, termasuk untuk acara anak-anak yatim-piatu. Bisnis ayah dari empat orang anak ini terus berkembang. Kini ia mempekerjakan 60 orang, dan terbanyak di pemotongan ayam.. Meski bisnis terus berkembang, namun selama wabah Corona Virus Disaeda 2019 (Covid-19), ia juga merasakan dampaknya. Sebelum Covid-19 atau hari-hari normal ia mampu memotong 30 ekor sapi per hari. "Sekarang turun jauh," kata Mul yang mengaku sempat dipinjamkan modal Rp 300 juta dari seseorang. Yang masih bagus pemotongan ayam. Meski turun, tapi masih mampu memasok dua truk atau 3.000 ekor ayam potong per hari ke berbagai restoran. Sebelum Covid-19, bisa memasok 4.500 sampai 6.000 ekor per hari. "Sekarang tidak ada instansi yang memesan. Kalau sebelum corona, banyak instansi yang memesan daging sapi dan ayam. Misalnya, perusahaan pelayaran," katanya. ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Kenangan Ibadah Haji Bersama Pak Harto (Bag. Kedua)

by Imron Pangkapi Jakarta FNN – Ahad (02/08). Sampai di Makkah saya terkejut bukan kepalang. Hampir semua hotel hotel besar di Makkah dipasang bendera Merah Putih dan lambang PT Tiga Utama. Ratusan bis Sapco Saudi yang mewah dibalut dengan bendera Merah Putih dan Tiga Utama. Musim haji tahun 1991 agaknya Makkah-Madinah dikuasai dengan jemahaah Haji dari Indonesia. Kami mendapat jatah di Hotel Aziz Qohair. Posisinya persis di seberang jalan layang. Kini, baik hotel maupun jalan layangnya sudah dibongkar. Posisinya sekitar belakang Tower Zamzam sekarang. Puluhan wartawan, petugas TPHI juga diinapkan di hotel ini. Saya bertemu keluarga besar Bintang dari Ujung Pandang. Ada Zainal Bintan, Firman Bintang, Ilham Bintang, dan banyak sekali tokoh dari Sulawesi. Sejumlah Guru Besar dari Universitas Hasanudin (Unhas) juga ada di sini. Saya jadi akrab dengan Prof. Halide. Sering bergandeng ke mesjid dengan beliau. Saya satu kamar dengan wartawan Republika Zaim Uchrowi, Masduki Badawi dan lain-lain. Sesak, karena di satu kamar ada sepuluh orang melantai. Hari pertama umrah, selepas thawaf dan sya'i hampir seharian saya tidak keluar dari pelataran Baitullah. Puas saya menangis melepas rindu. Tahun tahun sebelumnya saya mengikuti teraweh di Masjidil Haram melalui RCTI masih pakai decoder. Hari ini Ka'bah di depan mata saya. Suhanallaah walhamdulillaah ya robbii. Saya sedang memandang keberasan dan kemuliaan Baitullah. Melafadzkan begitu banyak rasa syukur. Allah SWT memberikan kemudahan yang luar biasa kepada saya. Kemudahan yang di luar perhitungan yang normal. Hanya dalam waktu enam hari sejak bertemu sahabat Muhammad Buang, proses perjalanan haji saya begitu lancar. Tiba-tiba saya teringat kepada Pak Domo. Bergemuruh jiwa saya. Waktu itu Pak Domo masih penganut Kristen Protestan. Beliau belum kembali ke Islam. Di depan Baitullah itu saya bermunajat agar beliau mendapat hidayah dari Allah SWT. Subhanallaah, dua tahun kemudian Pak Domo betul-betul datang ke Baitullah. Sebagai petugas haji Tiga Utama, saya membantu semua apa yang dapat dilakukan. Ikut membagikan kain ikhram bagi jamaah dari kamar ke kamar. Mengantar jamaah yang kesulitan mencari hotelnya. Saya juga selalu membawa semprot air untuk menyiram siapa saja yang kepanasan. Waktu itu cuaca sangat ekstrem. Suhu siang hari mencapai 50 drajat. Tanggal 8 Dzulhijjah, pagi-pagi saya bersama petugas Tiga Utama Muchlis Hasyim dan kawan-kawan, kami sudah berangka ke Arafah. Kami harus duluan mempersiapkan kedatangan Presiden Suharto dan jamaah Tiga Utama. Ada ratusan tenda Tiga Utama. Berkibar bendera Merah Putih di Padang Arafah. Khusus untuk Pak Harto disediakan tenda transit. Tidak jauh dari tenda utama Khotbah Wukuf. Pada masa itu, kualitas AC belum sesempurna seperti zaman sekarang. Untuk pendinginan masih tambahan menggunakan kipas angin raksasa dan bantuan semprot air. Saya harus siaga sebagai petugas semprot air. Pada hari wukuf itu, Pak Harto dan rombongan tiba di tenda Tiga Utama sekitar pukul 11.00. Pak Harto, Ibu Tien beserta seluruh anak-mantu dan kerabat dekat. Tutut dan suaminya Indra Rukmana. Bambang dan isterinya Halimah. Tomi dan Mamik masih culun. Saya ingat Prabowo suami Titik, masih muda belia dan gagah. Mereka semua mengenakan pakaian ikhraam. Pak Harto didampingi sejumlah Jenderal, antara lainPangabTry Sutirsno, Danseskoad Letjend Faisal Tandjung, Pangkostrad Mayjend Wismoyo Arismunandar. Ada juga tiga Gubernur yang terus bersama Pak Harto. Mereka adalah Gubernur Jawa Barat Yogie S Memet, Gubernur Sumut Raja Inal Siregar dan Gubernur Sumsel Ramly Hasan Basri. Adapun Ajudan Presiden Kolonel Wiranto terus melekat di samping Pak Harto. Begitu juga dengan Ketua Tim TPHI Kolonel Hendro Priyono. Saya berada di tenda transit. Sekali-sekali berdiri menyemprotkan air. Setengah jam kemudian, pukul 11.30, kami sudah di tenda utama. Saya bertugas di saf atau barisan kedua, persis di belakang Menseneg Murdiono. Kemana-mana saya membawa "senjata" alat semprot penuh air bersih. Setelah semua jamaah berada di tenda utama, berulah Pak Harto masuk. Beliau hanya berdua Pak Ande Abdul Latief. Jamaah tertegun. Pak Harto mengucapkan salam dan langsung masuk ke tenda utama. Sedangkan Ibu Tien Suharto berada di bagian belakang yang dikhususkan untuk jamaah wanita. Kamipun wukuf bersama Pak Harto dalam satu tenda. "Al-hajju, Arofah" (Haji itu Wukuf di Arafah). Khotbah Wukuf disampaikan oleh KH Qosim Nurseha dan Sholat Jum’at dipimpin KH Hikmatullah. Banyak yang menangis ketika KH Qosim Nurseha menyampaikan khotbah Wukuf. Di mana-mana terdengar isyak tangis. Di tengah keheningan rangakaian ibadah wukuf itu, saya sekali-sekali berdiri untuk menyemprotkan air. Serrrr.....! Sekitar pukul 14.00, Pak Harto dan rombongan inti pindah ke Tenda Raja Saudi di atas Bukit Arafah. Mereka melanjutkan wukuf di tempat yang disediakan pemerintah Saudi. Sejumlah tentara baret merah Saudi Arabia, dengan senjata terhunus siaga mengawal Pak Harto. Setelah Pak Harto pergi, ternyata ada satu jenderal tertinggal yaitu Gubernur Sumel Ramly Hasan Basri. Saya kenal secara pribadi dengan beliau ini. Kami sesama orang Sumsel. Karena itu saya menemaninya. Beliau "sengaja" tertinggal, karena ingin bertemu isterinya yang berhaji ikut rombongan jamaah Sumsel. Zaman itu belum ada google maaps. Mencari alamat tenda Sumsel seperti membaca "peta buta". Hampir saya dan Pak Ramly tersesat. ...Musim Haji tahun 1991 berbeda dengan keadaan sekarang. Rukun melempar jumrah penuh sesak, tapi lancar. Ketiga jumrah (wusta, ula dan aqabah) masih berupa tugu/tiang. Tingginya sekutar tiga meter. Lebarnya tidak lebih satu meter. Ketika lima tahun kemudian saya datang berhaji lagi, ketiga jumrah sudah berubah. Berbentuk cawan. Batu-batu bekas lemparan masuk ke bawah. Sekarang, sejak sepuluh tahun terakhir, ketiga-tiga jumrah sudah berubah total. Diperlebar model tembok pilar. Lebih mudah melemparnya. Saya punya pengalaman indah menikmati Masjidil Haraam lama. Saya senang sekali sholat dari berbagai penjuru. Sambil berdoa agar dapat sholat dari seluruh arah belahan muka bumi. Sholat dari berbagai benua. Menghadap dari Timur, Barat, Utara Selatan. Dari delapan penjuru mata angin. Pada bagian pelataran Ka'bah masih ada kolam air zam-zam. Kita bisa turun ke basement yang persisi di bawah Ka'bah. Ratusan cangkir dirantai di sekitar keran air zam-zam. Jamaah bisa dengan mudah berwudhu di situ. Pernah suatu kali saya ingin tahu, darimana sumber air zamzam itu? Saya memutar semua area basement. Ternyata di lorong bawah tanah ada mesin penyedot dengan pipa dragon sebesar pohon pohon kelapa. Ada petugas teknisi di ruangan balik kaca standby 24 jam. Zaman kini air zam-zam sudah tersebar dalam gentong di seluruh penjuru Masjidil Haram dan Mesjid Nabawi. Subhanallah, rindu sekali sama Baitullah...rindu lagi untuk ziarah ke Rosulullah SAW... Penulis adalah Wartawan Senior.

Kenangan Ibadah Haji Bersama Pak Harto (Bag. Pertama)

by Emron Pangkapi Jakarta FNN – Jum’at (31/07). Tahun 1991 Presiden Suharto menunaikan ibadah Haji bersama dengan keluarga.Beliau tidak menggunakan fasilitas kenegaraan. Rombongan Pak Harto berangkat haji menggunakan biro perjalanan haji PT Tiga Utama, pimpinan Ande Abdul Latief. Perjalanan Haji Pak Harto menjadi berita besar. Apalagi disertai juga dengan Ibu Tien, yang oleh sebagian masyarakat masih termakan isue yang meragukan ke-Islamannya. Pengumuman Pak Harto akan berangkat menunaikan ibadah Haji, menjadi daya tarik peningkatan jumlah jamaah Haji Indonesia yang luar mbiasa.Apalagi Haji Tahun 1991 di bulan Juni itu, diyakini sebagai Haji Akbar, karena wukuf jatuh di hari Jumat. Pada haji tahun 1991 itu belum ada ketentuan tentang quota haji. Sebanyak yang mau berangkat, Arab Saudi tak mempersoalkalnya.Sejumah pejabat, Anggota DPR, tokoh masyarakat, artis dan pengusaha ramai ramai mendaftarkan diri untuk berhaji di tahun yang sama dengan Presiden Suharto. Waktu itu saya baru berusia 34 tahun, bekerja sebagai wartawan di Harian Media Indonesia. Untuk tugas liputan perjalanan Haji Presiden Suharto, Media Indonesia sudah menugaskan wartawan Muchlis Hasyim dan Ahmad Satiri, dua wartawan Media Indonesia yang bertugas di Kementerian Agama. Muchlis Hasyim disamping sebagai wartawan, juga adalah kerabat dari Ande Abdul Latief, pemilik Tiga Utama. Karenanya dia sekaliigus ditugaskan sebagai kordinator wartawan yang akan meliput perjalanan haji Presiden Suharto. Ayahanda Muchlis Hasyim, Ustadz Ambo Mukhlis, adalah Perwakilan PT Tiga Utama di Makkah. Seminggu sebelum jadwal keberangkatan keloter terakhir, saya menghadiri acara walimatus safar untuk melepas keberangkatan sahabat saya, tokoh PPP Muhammad Buang SH. Ketika itu Buang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi V DPR RI yang membidangi perhubungan. Beliau akan berangkat haji menjelang keloter terakhir. Muhammad Buang bercerita tentang PT Garuda Indonesia yang akan menambah penerbangan ekstra karena jumlah jamaah yang membeludak. "Kalau kau mau ikut, bisa kuusakan tiketnya", kata Buang kepada saya. Mendengar tawaran Buang, saya bak tersengat lebah. Saya langsung menyambar tawaran luar biasa itu. Saya pikir, urusan lain menyusul. Yang penting terima dulu. Pendek cerita, esoknya saya membawa surat Wakil Ketua Komisi V DPR Muhammad Buang menghadap Direktur Niaga PT Garuda Indonesia, Pak Razali di Kebun Sirih. Tidak banyak cincong. Hanya dalam 30 menit saya sudah mendapatkan tiket Garuda Jakarta - Jeddah PP di penerbangan reguler. Pada masa itu Garuda Indonesia mengeluarkan tiket komersial berwarna merah. Berbentuk buku yang tipis atau kupon. Sedangkan tiket saya berupa kertas warna putih lembaran. Dikenal dengan nama "tiket putih". Tiket yang jenis ini hanya biasa dikeluarkan Garuda Indonesia khusus untuk para pejabat. Setelah tiket di tangan dan paspor yang memang sudah tersedia, saya segera begerak menemui Pak Ande Abdul Latif di kantor PT Tiga Utama Gedung Sangga Buana depan Segitiga Senen. Dengan menyerahkan tiket dan paspor, saya mohon kepada beliau agar dapat ikut serta berangkat beribdah haji dengan Tiga Utama. Masya Allah, seperti dalam mimpi. Pak Ande Abdul Latief tidak banyak Tanya sana-sini.Beliau memandang saya agak tertegun. Kemudian langsung memberi keputusan. “Kau berangkat sebagai petugas Haji”. Dia kemudian teriak ke stafnya agar paspor saya segera diproses untuk mendapatkan visa di Kedutaan Arab Saudi. Hari itu juga saya diperintahkan Pak Ande ke Gudang PT Tiga Utama yang di Jalan Proklamasi (seberang Bioskop Megaria). Saya ke sana untuk mendapatkan seluruh fasilitas jamaah Haji Tiga Utama. Saya dapat koper besar, koper kecil dan semua perlengkapan Haji di musim panas. Hanya saja untuk tanda pengenal sebagai panitia harus dikordinasikan dulu dengan pihak keamanan. Karena Pak Harto dan keluarga berhaji menggunakan fasilitas Tiga Utama. Ada sedikit screening terhadap semua petugas. Boss saya di koran Media Indonesia terkejut, karena saya minta izin berangkat Haji. Adapun untuk perjalanan dinas, Media Indonesia sudah menugaskan dua wartawan. Sehingga tidak ada lagi tambahan wartawan. Saya berangkat melalui jalur istimewa. Saya hanya dapat izin belaka, “jawab saya kepada boss. Karena berangkat dadakan, saya tidak mempunyai persiapan yang memadai. Banyak kawan yang heran prosesnya begitu cepat. Isteri dan anak anak saya kaget bukan kepalang. Antara percaya iya atau tidak... Kebetulan saya wartawan yang sehar-hari bertugas di lingkungan Politik, Hukum dan Kemanan (Polkam). Menko Polkam pada masa itu Pak Laksamama Sudomo. Saya sudah kenal beliau sejak Wapangab merangkap Pangkopkamtib. Saya datang ke Pak Domo memberitahu bahwa saya akan berangkat haji dan absen selama dua puluh hari dari kegiatan liputan lingkungan Polkam. Dijawab Pak Domo, koq ndak bilang jauh jauh hari? “Ya sudah, besok jam enam pagi datang ke sini, "perintah Pak Domo. Lepas subuh saya sudah di kantor Menko Polkam di jalan Merdeka Barat. Jam enam Pak Domo sudah tiba di kantor. Sambil jalan ke ruang kerjanya, Pak Domo memberi nasehat “bertugas yang bagus, dan ibadah haji yang sungguh sungguh”. Bertemu Pak Domo lima menit itu membuat badan terasa melayang. Ternyata amplop berisi dolar dari Pak Domo cukup untuk biaya hidup selama dua bulan di Saudi Arabia. Saya hampir melompat karena kegirangan yang luar biasa. Tiba-tiba saya ingat kepada ibunda saya di kampung. Saya memang sudah lama tak pulang ke Bangka. Sementara waktu keberangkatan ke Makkah tinggal tiga hari lagi. Saya putuskan, dari kantor Menko Polkam meluncur ke Ayumas Gunung Agung untuk mendapatkan rupiah dan riyal. Selanjutnya dari Ayumas Gunung Agung, saya go show ke Bandara Cengkareng untuk terbang ke Pangkal Pinang, karena mau berpamitan mohon restu kepada bundaku. Di Pangkal Pinang hanya satu hari. Begitu banyak titipan doa para kerabat yang minta dilafadzkan di depan Baitullah. Bahkan ada yang sudah ditulis di kertas doa yang hendak diucapkan. Maklum perjalanan haji adalah ibadah sakral bagi orang di kampung kami. Pada tahun 1991 itu, bundaku dan seluruh saudaraku belum ada yang pergi berhaji. Pada hari keberangkatan itu, enam jam sebelum jadwal terbang, saya sudah berada di Bandara Soekarno-Hatta. Tak sabar rasanya, ingin cepat sampai di tanah suci Makkah. Kami ikut penerbangan reguler khusus untuk ONH Plus. Sedang rombongan jamaah biasa berangkat via Bandara Halim Perdanakusumah. Di pesawat Boeing 747 Garuda itu, saya bertemu begitu banyak orang terkenal yang akan menunaikan ibadah haji. Ada menteri, dirjen, anggota DPR, artis, pengusaha dan lain-lain.Saya ingat ada Menparpostel Susilo Sudarman, pengusha Bob Hasan, Setiawan Djodi dan rombongannya (Rhoma Irama, WS Rendra KH Zainudin MZ, KH Nur Muhammad Iskandar). Ada artis satu kampung dengan saya Rafika Duri. Tiba di Jeddah, saya bergabung dengan Petugas Haji Tiga Utama, dibawah kordinasi Direktur "D" Badan Intelijen Strategis (BAIS) ABRI Kolonel Hendro Priyono. Kami menginap semalam di Jeddah. Baru setelah itu mengambil miqat untuk umrah pertama dan selanjutnya berhaji tamatu'. (bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior.

FPI Versus PKI

by Mangarahon Dongoran Jakarta FNN - Selasa (28 Juli 2020). Sejak Senin (27/7/2020), viral sekelompok orang yang mencoba membakar foto Imam Besar Front Pembela Islam (IB FPI), Dr. Habib Rizieq Shihab. Para pendemo yang jumlahnya ratusan orang itu dipimpin oleh Boedi Djarot. Pakaian berwarna merah mendominasi para pendemo. Tuntutan mereka para pendemo adalah menolak khilafah dan menolak Habib Rizieq kembali ke Indonesia dari pengasingannya di Tanah Suci Mekkah. Penolakan terhadap khilafah dan penyebutan kadrun atau kadal gurun adalah kalimat-kalimat yang sering dikeluarkan oleh penganut paham komunis. Ketua PKI Diva Nusantara Aidit sering menggunakan kata kadrul ini untuk menyerang kelompok Islam yang menolak PKI Menjelang meletusnya peristiwa G30S/PKI tahun 1965, PKI dan antek-anteknya sangat benci umat Islam. PKI sangat membenci terhadap ulama dan pesantren. Berapa banyak ulama atau kiai, terutama kiai NU yang dibunuh PKI. Berapa banyak pesantren yang dibakar, dan santrinya yang dibunuh oleh PKI. Para pendemo yang membawa poster bergambar Imam Besar Dr. Habib Rizieq Shihab. Sambil melakukan orasi, sebagian pendemo menginjak-injak foto Dr. Habib Rezieq Shihab. Melemparinya dengan tomat. Caci-makian pun terus keluar dari mulut para pendemo. Boedi Djarot menyebutnya manusia sampah. Dan jika pulang ke Indonesia "kita tolak rame-rame." Kalimat provokatif tersebut kemudian disambut pendemo dengan melempari poster yang diletakkan di atas aspal dengan tomat ke poster yang berisi gambar Dr. Habib Rizieq Shihab itu. Ada suara yang terdengar mengucapkan bakar. Kata bakar itu ditujukan ke poster yang bergambar Dr. Habib Rizieq Shihab tersebut. Beberapa orang jongkok dan merunduk untuk menyalaķan korek api. Mencoba membakar pinggir poster Akan tetapi, korek api yang sudah menyala, ternyata tidak bisa membakar pinggiran poster yang bahannya sangat mudah terbakar itu. Padahal, puntung rokok saja diletakkan di atasnya, pasti terbakar dan bolong. Apalagi sudah disiramin dengan minyak. Nah, karena upaya membakar hanya dengan korek api dari pinggir poster itu tidak mempan, para pendemo kemudian muncul seseorang membawa jerigen kecil berisi minyak bensin atau minyak yang mudah memantik api menyala. Lelaki tersebut pun kemudian menyiramkan minyak ke atas poster. Setelah itu korek api dinyalakan dan disundutkan ke arah poster yang sudah disiram minyak itu (bisa bensin atau minyak tanah). Api pun menyala di bagian yang disiram bensin itu. Akan tetapi, api hanya menyala sebentar. Hanya mengeringkan minyak yang disiramkan. Karena apinya padam hanya mengeringkan bensin, pendemo terlihat kesal dan marah. Tak mempan dengan api, mereka akhirnya merobek-robek poster tersebut. Tidak jelas, apakah aksi Boedi Djarot dan kawan-kawannya sebagai balas dendam atas pembakaran bendera PDIP dan bendera PKI beberapa waktu lalu. Saat aksi demo penolakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang juga terjadi di depan gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat bendera PDIP dan bendera PKI dibakar. Sayangnya, saat aksi penolakan RUU HIP, Boedi Djarot dan kawan-kawan tidak muncul. Padahal, mereka mengaku paling Pancasilais. Tidak jelas juga, apakah aksi demo Boedi Djarot dan kawan-kawan itu masih ada kaitan dengan peringatan persitiwa 27 Juli 1996 atau dikenal dengan peristiwa "Kudatuli." Yaitu, pada saat terjadi pertumpahan darah di gedung PDIP dan sekitarnya, yang memakan banyak korban tewas dan hilang. Belum yang luka-luka dan sejumlah kendaraan bermotor dibakar dan dirusak massa. Bahkan, pos polisi lalu lintas yang berada di seberang bioskop Megaria tak luput dari amukan masa. Yang pasti, tindakan yang dilakukan Boedi Djarot dan kawan-kawannya itu harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Aparat kepolisian harus bertindak tegas. Sama dengan tindakan tegas terhadap pembakar bendera PDIP (meski yang ini kabarnya disusupi). Jika tidak ada penegakan hukum, saya khawatir inilah awal perang saudara di negeri Pancasila tercinta itu. Sebab, saya percaya aksi ini akan dibalas lagi oleh pendukung Dr. Habib Rizieq Shihab dengan berdemo dan membakar dan menginjak-injak foto seseorang yang didukung Boedi Djarot. Menghina Ulama Itu Cara PKI Pernyataan tegas telah dikeluarkan Ketua Umum FPI Ahmad Sobri Lubis. Ia menyebutkan, menghina ulama, habaib, kiai dan ustaz adalah cara-cara PKI. Umat Islam harus siap mengjadapinya. "Kita siap perang. Perang bisa dimulai," kata Sobri Lubis ketika dihubungi FNN.co.id. Jika aparat keamanan, terutama polisi tidak bertindak tegas terhadap Boedi Djarot dan kawan-kawan, saya khawatir ulah mereka akan dibalas secara fisik oleh para pengagum Dr. Habib Rizieq Shihab, khususnya umat Islam dan yang sangat mencintai NKRI dan Pancasila. Buktinya, malam hari setelah peristiwa meninjak-injak dan membakar foto Dr. Habib Rizieq Shihab, sekelompok massa sudah mendatangi kediaman Boedi Djarot. Hanya saja, ia sudah kabur duluan. Kabarnya, ia kabur ke sebuah Vila milik Ketua Umum PDIP Megawati, di daerah Megamendung, Kabupaten Bogor, Jabar. Selasa (28 Juli 2020), beredar lagi video yang mengabarkan vila itu mendapatkan pengamanan yang ekstra ketat. Pengamanan di Villa milik Migawati di Megamendung pun ditingkatkan. Karena umat Islam di sekitar Villa tidak suka dengan kehadiran Boedi Djarot (jika benar berlindung di sini). Apalagi, umat Islam di Kecamatan Megamendung cukup mencintai Habaib, dan menghormati Dr. Habib Rizieq Shihab yang membangun pesantren yang terkenal dengan nama Markaz Syariah di daerah sejuk itu. Pesantrennya ini cukup terkenal. Apalagi ruangan tempat zikir Dr. Habib Rizieq Shihab sempat "disinggahi" peluru tajam, yang hingga sekarang tidak jelas pelakunya. Tidak jelaas karena laporan ke polisi tidak ditindaklanjuti. Dr. Habib RIzieq Shihab sendiri lolos dari usaha pembunuhan itu. Oh ya kembali ke pembakaran poster berisi gambar Habieb Rizieq yang tidak mempan, saya jadi teringat peristiwa 4 November 2016, saat demo terhadap si penista agama Islam, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Peristiwa yang dikenal dengan 411 itu memanas dan aparat kepolisian menembakkan gas air mata di beberapa sudut jalan di sekitar Istana Kepresidenan. Peristiwa semakin memanas justru saat menjelang Maghrib, saat Habib Rizieq dari mobil komando sudah meminta peserta aksi kembali dengan tertib. Permintaan itu tidak lama setelah Kapolri Jenderal Tito Karnivan meminta agar tidak ada lagi tembakan gas air mata. Di atas mobil komando, selain Dr. Habib Rizieq Shihab, ada beberapa ulama. Ada juga Menko Polhukam Wiranto, Menteri Agama. Wiranto dan Menteri Agama buru-buru lari ke arah Istana, meski masih sempat merasakan sedikit gas air mata. Di tengah desingan peluru gas air mata, Dr. Habib Rizieq Shihab tetap bertahan di atas mobil komando yang sudah penuh dengan gas air mata. Sedangkan ustaz Arifin Ilham dan beberapa orang lainnya terpaksa dilarikan ke Rumah Sakit Budi Kemuliaan, karena sesak nafas akibat menghirup gas air mata. Alhamdulillah, Habib Rizieq tidak apa-apa. Ketika kembali ke markas FPI di Petamburan, Jakarta Pusat, Dr. Habib Rizieq Shihab tetap merendah di hadapan pengagumnya. "Alhamdulillah, itu semua atas pertolongan Allah," ucapnya.** Penulis adalah Wartawan FNN.co.id

Jalan Dakwah Akan Selalu Diisi Pejuang Tangguh

by Ahmad Khozinudin SH. Catatan Hukum atas Pemanggilan Ustadz Edy Mulyadi, Sekjen Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama oleh Polda Metro Jaya. Pemanggilan tersebut, terkait pembakaran bendera yang berlogo PDIP saat demontrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) di depan gedung DPR. Jakarta FNN – (14/07). Beredar viral kabar dan informasi di sosial media, bahwa pada hari Rabu, tanggal 15 Juli 2020 Ustadz Edy Mulyadi, Sekjen GNPF Ulama dipanggil penyidik Polda Metro Jaya. Ihwal pemanggilan, adalah sebagai saksi dalam kasus pembakaran bendera berlogo PDIP. Secara prosedur, panggilan ini adalah hal biasa. Namun, secara substansi suka atau tidak, panggilan ini perlu disikapi secara politis. Mengapa demikian? Mengingat konsepsi negara hukum yang kita anut dan bangga-banggakan di negeri ini, telah bergeser menjadi negara kekuasaan. Iya, kita semua sedih melihat kondisi penegakan hukum di negeri ini. Aparat penegak hukum sebagai alat negara untuk menegakkan hukum, sudah bergeser menjadi alat kekuasaan. Anggapan negara hukum cuma sarana untuk melegitimasi kepentingan kekuasaan dalam penegakkan hukum. Parameternya sederhana. Jika wibawa presiden atau pejebat negara lainnya yang dicela, aparat begitu sigap untuk memproses hukum. Bahkan, diantaranya tanpa pemeriksaan pendahuluan, langsung ditangkap dulu baru diperiksa. Palnggaran hkum oleh aparat sudah menjadi pemandangan yang biasa untuk ditonton. Kasus Ali Baharsyah adalah contoh kongkritnya. Ali dianggap menghina presiden Jokowi karena mengunggah video Presiden Go Block. Padahal Video tersebut merupakan kritik Ali Terhadap kebijakan PSBB. Bukannya Lockdown. Ali juga mengkriktik rencana kebijakan Darurat Sipil yang memang pernah diwacanakan oleh Jokowi. Di media, Ali Baharsyah diframing sebagai penghina Presiden. Meskipun, pasal penghinaan presiden tidak ada dalam berkas penyidikan. Ali disidik dengan pasal berlapis, namun tak ada satupun pasal penghinaan Presiden terhadapnya. Ali Baharsyah langsung ditangkap. Tanpa ada pemanggilan. Juga tanpa proses pemeriksaan pendahuluan. Saksi juga ikut ditangkap dan diperiksa bersamaan dengan penangkapan Ali Baharsyah. Dan sedihnya lagi, praktik hukum yang seperti ini dilakukan oleh Mabes Polri. Institusi yang semestinya menjadi teladan lembaga kepolisian. Bagaimana jika yang dilaporkan penghina umat Islam ? Dipaastikan hukum apapun yang digunakan, menjadi tumpul. Polisi loyo, dan prosedur menjadi ketat. Sudah terlalu banyak laporan polisi yang dibuat oleh umat Islam. Namun tidak ada proses hokum yang ditinndak lanjuti, kecuali untuk kasus Ahok. Contoh paling terbaru adalah, kasus pelaporan Deny Siregar oleh elemen Umat Islam di Tasikmalaya. Deny Siregar dilaporkan ke polisi, karena menteror para Santri Tahfidz Alqur’an sebagai calon Teroris. Kalau mau menggunakan pasal ITE, Deny Siregar bisa dijerat pasal 28 ayat (2) dan pasal 27 ayat (3) Jo pasal 45 UU ITE. Deny Siregar bisa disidik dengan perkara menebar kebencian dan permusuhan kepada santri berdasarkan SARA. Bisa juga dengan pencemaran wibawa Santri. Ancaman hukumannya 6 tahun penjara, sehingga bisa langsung ditahan. Sampai hari ini, Deny Siregar belum juga diperiksa. Apalagi ditahan sampai ditahan. Pada saat yang sama, Denny marah-marah dan melaporkan kebocoran data Telkomsel. Polisi langsung sigap. Polisi bergerak cepat, dan langsung menangkap pelaku di Surabaya. Terkait perkara yang dijadikan dasar pemanggilan Ustadz Edy Mulyadi oleh Polda Metro Jaya. Kasusnya adalah pembakaran bendera berlogo PDIP. Videonya telah banyak beredar. Foto orang-orang yang diduga sebagai pelaku juga sudah bisa diidentifikasi sejak dini. Kenapa musti yang dipanggil adalah Sekjen GNPF Ulama? Bisa saja ada yang berdalih, karena Ustadz Edy Mulyadi adalah Ketua Panitia atau Korlap aksi demonstrasi menolak RUU HIP yang diduga menghidupkan kembali neo komunisme dan PKI. Yang didalamnya terdapat peristiwa pembakaran atas bendera berlogo PDIP. Hanya saja, apakah pemeriksaan dengan model yang sama terjadi pada pejabat Telkomsel untuk kasus kebocoran data Deny Siregar ? Apakah penyidik melakukan pemeriksaan pada Dirut Telkomsel atau minimal kepala area Jawa Timur dalam penangkapan tersangka? Saya menduga kuat hal ini tidak dilakukan. Kembali pada kasus pembakaran bendera berlogo PDIP. Sehari setelahaksi, Ustadz Edy Mulyadi telah dipanggil dan diperiksa penyidik Polda Metro Jaya seputar aksi ANAK NKRI tolak RUU HIP. Dengan gamblang Ustadz Edy Mulyadi menjelaskan latar belakang, tujuan, jobdes ketua panitia, juga penjelasan terkait pembakaran bendera berlogo PDIP sebagai accident. Bukan insident. Semestinya, dengan kecakapan yang sama Polisi bisa segera menangkap pelaku pembakaran bendera berlogo PDIP. Sebagaimana polisi secepat kilat dapat menangkap pembocor data Deny Siregar atau menangkap Ali Baharsyah. Semestinya Ustadz Edy Mulyadi selaku Sekjen GNPF Ulama tak perlu diperiksa. Karena sebelumnya juga sudah diambil keterangannya. Semestinya, polisi segera memburu pelaku pembakaran bendera berlogo PDIP. Bukan malah sibuk mengorek keterangan dari Ustadz Edy Mulyadi. Apalagi, ada kader PDIP yang telah mengancam polisi. Jika dua hari pelaku tidak ditangkap, maka kader PDIP ini akan mengambil langkah sendiri. Terkait Ust Edy Mulyadi, kita segenap umat Islam wajib memberikan dukungan dan pembelaan. Panggilan saksi kadangkala bisa ditingkatkan menjadi tersangka. Pemanggilan ini, juga harus dimaknai sebagai agenda "kontra kritik" terhadap gerakan penolakan RUU HIP yang makin marak, terutama dari numat Islam. Apalagi menjelang sidang Paripurna DPR RI pada Kamis, 16 Juli mendatang. Saya tidak khawatir pada pribadi Ustadz Edy Mulyadi yang juga Wartawan Senior itu. Sebab beliau adalah orang yang telah mengambil pilihan perjuangan, dan memahami resiko dan konsekuensi perjuangan. Jalan da’wah selalu dilalui oleh pejuang-pejuang yang tangguh. Segala resiko menghadang di depan mata. Pengetahuan saya terhadap beliau, cukup memiliki legitimasi. Karena saya pernah berhari-hari menginap bersama beliau. Keliling diskusi di Jawa Timur dengan beliau. Sehingga, pengetahuan dan pengenalan terhadap beliau telah melampaui syarat sebagaimana ditetapkan oleh Amirul Mukminin Khalifah Umar Bin Khatab Radiyallahu Anhu. Beliau adalah orang yang Allah SWT tetapkan berada di jalan dakwah. Siap untuk menanggung segala konsekuensinya. Beliau juga termasuk orang-orang yang Allah SWT hadirkan untuk menjadi pembela bagi agama Islam. Beliau adalah pejuang Islam yang tangguh. Kita semua wajib berada bersama dengan beliau. Memberikan dukungan dan pembelaan kepada beliau. Sebab beliau memang telah mewakafkan dirinya untuk kepentingan Islam. Sementara kita wajib mewakafkan diri kita. Selain untuk membela Islam juga membela para pejuang Islam. Pemanggilan terhadap beliau, merupakan tindakan yang menyingkap dan menyentuh wibawa perjuangan. Kita sangat pahami bahwa tidak ada tindakan hokum, khususnya yang dialamatkan kepada pengemban dakwah, kecuali terkandung motif politik. Hanya ingin menekan gerakan da’wah dari para pejuang Islam. Kita wajib bersiap-siaga dalam menghadapi dinamika RUU HIP. Sebab pemanggilan kepada Ustadz Edy Mulyadi ini juga tak lepas dari konteks politik, khususnya dinamika RUU HIP. Semoga Allah SWT karuniakan kesabaran dan keikhlasan kepada Ustadz Edy Myulyadi. Semoga tetap Istiqomah berada di jalan perjuangan, membela Islam. Penulis adalah Aktivis, dan Advokat Pejuang