Anggaran Siber Naik, Bjorka Menghilang, Anggota Polri Diduga Retas Akun Jurnalis

PENGAMAT Politik Rocky Gerung mengatakan, khusus tentang ‘65 selalu kita musti lihat bahwa itu peristiwa yang berskala internasional dan upaya untuk memulihkan keretakan bangsa ini juga makin lama makin jauh karena yang terjadi adalah ketidakadilan sosial berlanjut.

Kemudian stigma Islamofobia masih ada, dan bahkan, menguat di wilayah-wilayah tertentu. Itu mengingatkan orang bahwa kerjaan semacam ini adalah kerjaan komunis. Mungkin sekali perlu penelitian tentang kaitan itu, yaitu Islamofobia.

“Tetapi, paling tidak pemerintah tidak mampu untuk menghentikan gejala perpecahan bangsa ini berbasis pada agama,” tegas Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Rabu (28/9/2022).

Jadi, lanjutnya, masalah bangsa ini pada akhirnya tergantung pada kecepatan kemampuan dari Presiden Joko Widodo untuk bukan mengendalikan keadaan sebetulnya, “tapi memberi harapan bahwa akan terjadi kembali Indonesia yang berpikir, akan ada kembali Indonesia yang adil, akan ada kembali Indonesia yang berbasis hukum.”

“Semua orang akhirnya merasa ya memang ini negeri lagi dalam ketegangan. Jadi, bahayanya yaitu anggaran yang berlebih justru nggak bisa dikontrol oleh publik kan,” ujar Rocky Gerung dalam dialognya dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief.

Bagaimana dialog lengkap Hersubeno Arief dengan Rocky Gerung? Berikut ini dialog lengkapnya.

Halo halo, apa kabar Anda semua. Ketemu di hari Rabu, 28 September. Kebiasaan lama sebagai wartawan nggak pernah memperhatikan tanggal merah, tanggalnya sama semua, pokoknya on terus. Tinggal berapa hari lagi nih G30S PKI dan seperti biasa situasinya kalau menjelang G30S PKI menghangat gitu dan beberapa stasiun televisi ini menariknya sudah mulai memutar film G30S PKI yang sudah sempat tidak boleh tayang.

Ya, selalu, setiap September kita dag dig dug karena ingat kembali beberapa peristiwa di masa lalu yang sebetulnya adalah ideologi-ideologi perang dingin waktu itu, kemudian masuk ke Indonesia, lalu berubah jadi peristiwa yang kemudian dicatat sejarah sebagai pelaku manusia.

Sekarang kita ikuti lagi ritme yang sama, upaya untuk memperjuangkan hak asasi manusia gagal dalam beberapa hal, termasuk kegagalan pemerintah Jokowi untuk meneliti ulang dan memutuskan status dari peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan pelanggaran HAM itu.

Pada ‘65 lalu macam-macam sampai soal reformasi. Tapi khusus tentang ‘65 selalu kita musti lihat bahwa itu peristiwa yang berskala internasional dan upaya untuk memulihkan keretakan bangsa juga makin lama makin jauh karena yang terjadi adalah ketidakadilan sosial berlanjut.

Kemudian stigma Islamofobia masih ada dan bahkan menguat di wilayah-wilayah tertentu. Itu mengingatkan orang bahwa kerjaan semacam ini adalah kerjaan komunis. Mungkin sekali perlu penelitian tentang kaitan itu, yaitu Islamofobia.

Tetapi, paling tidak pemerintah tidak mampu untuk menghentikan gejala perpecahan bangsa ini berbasis pada agama. Itu dasarnya dan itu yang kita mau ingatkan bahwa bangsa ini sebetulnya bisa disatukan kembali kalau pemimpinnya punya konsep, punya konsep yang mendasar, yang juga orang tuntut otentik dari beliau, dari Presiden terutama, bukan konsep-konsep yang disodorkan oleh pembantu-pembantu dia, baik yang mempunyai kepentingan oligarkis atau yang punya kepentingan mendekat pada kekuasaan.

Jadi masalah bangsa pada akhirnya tergantung pada kecepatan kemampuan Pak Jokowi untuk bukan mengendalikan keadaan sebetulnya, tapi memberi harapan bahwa akan terjadi kembali Indonesia yang berpikir, akan ada kembali Indonesia yang adil, akan ada kembali Indonesia yang berbasis hukum. Nah itu yang nggak ada.

Dan kita mulai ragu apakah pemimpin yang akan menggantikan Pak Jokowi bisa mengatasi masalah ini. Kalau masalah ekonomi sudah pasti berat, tapi masalah perpecahan bangsa ini. Mungkin ekonomi bisa pulih, satu waktu nanti negara-negara barat menganggap oke kita bantu Indonesia, karena Pak Jokowi nggak presiden.

Tapi soal-soal sosial politik, terutama yang bersifat ideologis, itu nggak bisa dipulihkan dengan bantuan Barat. Itu hanya boleh kita kerjakan sendiri sebagai bangsa. Nah, itu yang nggak ada pada Pak Jokowi. Pengetahuan beliau tentang demokrasi itu minus sekali, di mana-mana demokrasi kebebasan, tapi indeks demokrasi kita tidak membaik.

Ya. Dan di tengah situasi Itu orang sekarang dihebohkan dengan peretasan dari sejumlah jurnalis. Peretasan jurnalis narasi terutama, karena belakangan ini kan Najwa Shihab sangat mengkritisi soal polisi gitu.

Dia sebenarnya melakukan edukasi bahwa publik harusnya tahu hak-haknya berhubungan dengan polisi, juga berkaitan dengan kasus Ferdy Sambo. Dan, kemudian mereka diretas.

Dan orang juga kemudian dikait-kaitkan kemarin ada adanya fenomena Bjorka. Kemana ini bjorka kok ngilang, karena bersamaan dengan itu DPR menyetujui penambahan anggaran untuk BSSN. Dan orang selalu curiga dengan masalah-masalah semacam itu, ini memang sengaja dimainkan itu.

Ya, itu berminggu-minggu kita bahas soal bjorka dan orang bilang bjorka itu bukan orang, bjorka itu institusi. Ya, kan orang menduga kalau dia institusi ya artinya dia resmi disodorkan untuk mengalihkan opini publik.

Tapi ketika betul tadi, di mana anggaran bidang security lalu ketemulah asumsi kita dengan politik itu bahwa DPR akhirnya secara resmi menaikkan anggaran. Sama seperti jeruk balas jeruk kan akhirnya.

Jadi bjorka itu .... Semua orang akhirnya merasa ya memang ini negeri lagi dalam ketegangan. Mungkin bagian-bagian tertentu dari sistem intelijen kita itu merasa anggaran masih kurang. Oleh karena itu, tambah lagi tuh.

Tapi, bahkan setelah anggaran berlebih, ketegangan sosial nggak berhenti juga. Kan mestinya anggaran intelijen itu diam-diam dipakai juga untuk menimbulkan kesetaraan sosial, kesejahteraan ideologi. Itu nggak jalan.

Jadi, bahayanya anggaran yang berlebih justru nggak bisa dikontrol oleh publik kan. Kalau wilayah intelijen itu nggak bisa dikontrol oleh publik, wah, itu bahaya betul. Nah, kita nggak tahu apa yang dikerjakan oleh intelijen. Tiba-tiba mungkin sudah ada di sekitar kita lalu data diserap atau upaya untuk menekan.

Proyek penekanan itu kemudian pertama-tama tentu akan diarahkan pada para jurnalis kritis. Najwa Shihab pasti sangat kritis tentang kepolisian dan memang berhak kita tahu kenapa lamban betul. Apa betul ada sesi baru di wilayah kriminal itu.

Apa benar bahwa pada akhirnya Presiden Jokowi juga cuma bisa meminta dipercepat. Begitu tahu bahwa percepatan itu bisa juga merembet ke istana, lalu berhenti sinyal-sinyal itu. Itu bahayanya tuh.

Nah, ini kan memang heboh soal peretasan sejumlah jurnalis dan sekarang jumlahnya bertambah. Tapi yang menarik tentu saja apa yang disampaikan oleh Usman Hamid, dari Amnesti Internasional, yang dia dengan tegas langsung meminta bahwa Polri untuk menertibkan anggotanya, menindak anggotanya yang melakukan peretasan.

Jadi, artinya ini amnesti internasional sudah punya data berarti ya bahwa yang melakukan peretasan itu adalah anggota Polri.

Dan saya kira ini sangat berbahaya kalau kemudian ada masyarakat yang kritis terhadap lembaga kepolisian, kemudian ada jurnalis yang kritis, dan kemudian dibalas dengan peretasan.

 Padahal, kita ingat Pak Listyo Sigit pada waktu itu siapa yang kritiknya paling keras terhadap polisi itu akan jadi teman saya. Pada waktu itu kan begitu Pak Listyo Sigit menjanjikan. Tetapi, realitasnya sebaliknya.

Ada keadaan yang kita lagi tunggu sebetulnya. Kasus Ferdy Sambo ini mau sampai di mana kira-kira. Jadi, sebetulnya kalau kasus ini dijadikan alat untuk negosiasi di kalangan petinggi Polri sendiri maka yang akan terjadi adalah fight back dari kelompok antar kelompok di situ.

Jadi, sangat mungkin ini bukan kebijakan kepolisian, tapi efeknya akhirnya membuat kita melihat bahwa Pak Lisyo Sigit akhirnya nggak mampu untuk mengasuh kasus ini, sebut saja mengasuh kasus ini supaya nggak pergi ke mana-mana.

Jadi, tanda-tanda bahwa ada fight back itu ditunjukkan bahwa sebagai Kapolri gagal atau tidak sempurna memelihara suasana menjelang Pemilu nanti. Itu berbahayanya.

Jadi, seharusnya kasus Sambo selesai, lalu kemudian masuk pada soal-soal yang sangat politis karena soal jaringan Sambo yang dianggap juga terkait dengan kepentingan-kepentingan kemenangan Pemilu satu pihak di 2019, itu macam-macam.

Jadi, sangat mungkin ada kecemasan yang terbaca dari awal bahwa kepolisian itu tahu arahnya bakal terlalu berat beban, sebut saja beban politik dari kasus Sambo ini terlalu berat.

Karena itu, mereka yang potensial untuk memperdalam kasus ini, kemudian mulai diretas. Jalan pikirannya begitu kan. Jadi, jangan sampai bagian yang merupakan kebebasan pers itu dikait-kaitkan dengan kasus ini. Justru pers membantu.

Najwa Shihab orang yang pintar, berani, dan tentu kupingnya juga ada di mana-mana, selain matanya ada di mana-mana. Ya, “Mata Najwa” itu pasti ada di mana-mana.  Kita jangan sampai Mata Najwa dimata-matai oleh ... Nggak boleh, itu tidak etis.

Ini serius, karena ini bisa terjadi pada siapa saja. Masih untung ini cuma peretasan, kalau dulu kan biasanya diikuti dengan kelompok-kelompok yang sekarang kita cukup berlega hatilah, ada kelompok-kelompok yang biasanya tugasnya tukang melaporkan dan kemudian ditangkap oleh polisi.

Tapi sejak Pak Listyo Sigit kasus-kasus semacam ini sudah mulai berkurang. Tapi ini ada intensi, ini balik lagi seperti yang Anda sebut tadi, fight back gitu, misalnya kasus Sambo, benar kita sampai sekarang mesti mengamati dengan waspada, bukan curigalah.

Misalnya sidang kode etik terhadap Brigjen Hendra Kurniawan, yang sampai sekarang ditunda-tunda terus karena katanya saksi kuncinya sakit. Nah, kita kemudian tanya apakah benar ini ada kaitannya dengan sakit atau bagian dari upaya untuk tawar-menawar yang masih belum deal sehingga sidangnya ditunda.

Jadi, ini membuktikan tersendat-sendatnya kasus ini bahwa Pak Sambo itu akarnya sangat kuat sekali. Ini permasalahannya. Jadi, daun-daunnya sudah dipangkas tapi akarnya masih memproduksi klorofil, zat hijau daun.

Dan, mulai terlihat bahwa Pak Kapolri itu sebetulnya telah melemah. Dari segi waktu sudah habis, sudah inflasi emosi publik dan belum ada keputusan itu. Keadaan ini yang kita inginkan diterangkan sebetulnya oleh Pak Mahfud MD karena Pak Mahfud yang dari awal mendorong-dorong ini kan.

Mustinya Pak Mahfud datang juga dong ke depan pers, kasih tahu bahwa ini ternyata ada hambatan-hambatan internal segala macam. Kan Pak Mahfud jago dalam memberi sinyal. Jadi, paling enggak Pak Mahfud kasih sinyallah, kasih kisi-kisi kenapa ini macet, supaya orang tahu, dia macetnya karena variabel politik atau karena variabel pembuktian atau karena menyusun dakwaan yang agak rumit.

Kan itu nggak mungkin kalau soal dakwaan kan gelar perkara sudah, segala macem, potensi dari kasus ini untuk melebar sudah dikendalikan. Kemudian apalagi? Kenapa nggak dialihkan saja ke Kejaksaan? Kan itu. Jadi, satu-satu penjelasan adalah ada akar politik yang kuat di bawah kasus Sambo.

Ya, memang betul yang Anda sebut tadi. Kalau soal Kejaksaan kan sempat dikembalikan lagi waktu itu. Kasus berkasnya Ferdy Sambo ini kan sempat dikembalikan oleh Kejaksaan karena perlu dilengkapi.

Dan orang mengawasi dengan cermat pada waktu itu, banyak, bukan hanya orang biasa tapi ada juga seorang mantan Hakim Agung MA Gayus Lumbuun misalnya mengingatkan bahkan sampai ketua Komnas HAM juga mengingatkan bahwa potensi dari Sambo untuk lepas atau untuk setidaknya hukumannya ringan, itu sangat besar.

Karena konstruksi hukumnya lemah. Padahal, hakim itu selalu punya prinsip  dia lebih baik melepaskan 1.000 orang yang salah daripada menghukum 1 orang tidak bersalah. Dan itu bisa jadi justifikasi.

Ini kasus yang sering jadi cause selebre yang diselebrasikan. Karena dalil kita dari awal Pak Sambo ini bukan sekadar seorang pejabat tinggi Polri, tapi yang punya kemampuan khusus yang sangat mungkin orang anggap diwariskan oleh Pak Tito (Tito Karnavian, mantan Kapolri).

Ada aktivitas yang di luar kontrol, tetapi dimaksudkan untuk jaga bangsa ini. Kira-kira ini. Karena itu dibikin staf khusus (Satgassus Merah Putih) supaya dia bisa melampaui birokrasi di dalam Kapolri sendiri atau birokrasi.

Pada waktu itu kita bayangkan kegiatan-kegiatan semacam itu biasa dalam kepolisian. Tetapi, waktu dia mulai memperlihatkan ada penimbunan uang, itu orang mulai curiga bahwa kalau begitu ini sarang korupsi juga dong.

Kalau begitu uang yang berlebih itu bisa dipakai untuk apa saja dong. Itu bahayanya. Kan bagian ini yang saya kira sekarang lagi dinegosiasikan diam-diam. Bagaimana kalau itu sampai harus dibawa ke pengadilan.

Tapi sebetulnya nggak ada soal juga, bangsa ini kan sudah paham dan sudah tahu bahwa polisi memang harus direformasi total itu. Sudah nggak ada soal. Yang baru para politisi di belakang itu, yang pernah ada di dalam sinyal yang sama, lalu kecipratan beberapa proyek misalnya, mungkin mereka yang mulai blingsatan, lalu mulai menunda proses ini.

Jadi, itu yang kita sebut bahwa kasus Sambo ini akan membuka banyak gorong-gorong yang akan menghubungkan apa yang terjadi oleh peristiwa di rumah-rumah yang lain. Tentu bukan kriminal tapi aktivitas politik. Jadi kira-kira itu soalnya.

Kalau kita bayangkan, kalau kita lihat dari atas, bisa pakai drone, itu jalan ke arah Sambo itu bukan sekadar jalan di sekitar daerah Duren Tiga saja, tapi ke arah Menteng, bisa ke arah Kebayoran, bahkan bisa ke arah Solo, Surabaya.

Maksud saya ke Surabaya lewat Solo. Jadi, kita lihat bahwa pemanasan di atas kertas sudah selesai dan sekarang tinggal orang tunggu ke arah mana panah-panah yang dulu itu dibuat peta itu akan berakhir sampai ujung. (Ida/sws)

401

Related Post