Angkasa Pura II Tersingkir dari Halim oleh Oligarki Lewat Modus Yayasan

Oleh Djony Edward, Jurnalis Senior FNN

Ada kabar kurang sedap di bandara Halim Perdanakusuma. PT Angkasa Pura II, BUMN bidang pengelolaan bandara udara, yang mengelola bandara Halim Perdanakusuma sejak 1920, mulai 20 Juli 2022, pengelolaan bandara seluas 21 hektare itu sudah diserahterimakan ke PT Angkasa Transportindo Selaras (ATS), anak perusahaan Lion Group.

Kabar ini sungguh kurang menggembirakan, oleh karena bandara Halim yang sedang menjalani renovasi senilai Rp6 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) itu ke depan akan dikelola oleh swasta, yakni ATS. BUMN Angkasa Pura yang telah mengelola bandara itu selama 38 tahun itu harus gigit jari. Bagaimana mungkin aset negara yang selama ini dikelola BUMN, artinya kas masuk kantung negara lagi, kini harus dikelola oleh swasta? Artinya aliran dana pindah ke swasta, ada apa dengan Halim? Apa latar belakangnya, tetiba swasta yang ‘mengangkangi’ bandara bersejarah itu?

Selanjutnya Angkasa Pura II sebagai pihak yang selama ini melaksanakan pengelolaan operasional bandara Halim Perdanakusuma, akan keluar dari kawasan bandara Halim Perdanakusuma. Kesepakatan tersebut juga sudah melalui proses beberapa kali rapat, antara pihak AP II, TNI AU dan PT ATS, terakhir pada rapat 20 Juli 2022.

Setelah berita pengelolaan bandara Halim Perdanakusuma ini ramai di media, para pihak terkait pun gelagepan memberi konfirmasi. Yang pertama memberi konfirmasi adalah Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsma TNI Indan Gilang Buldansyah. Ia mengatakan pengalihan pengelolaan bandara Halim itu berdasarkan putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung (MA) Nomor 527/PK/Pdt/2015, TNI AU memiliki kewajiban menyerahkan lahan seluas 21 Ha dan apa saja yang berdiri di atasnya ke ATS.

Direktur Perumusan Kebijakan Kekayaan Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Encep Sudarwan menimpali. Ia menyatakan alih kelola Bandara Halim Perdanakusuma kepada pihak swasta harus memerlukan izin dan persetujuan dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan. Karena lahan 21 hektare di Halim itu adalah barang milik negara (BMN), sehingga peralihan pengelolaan harus mendapat persetujuan Kementerian Keuangan.

Tentu saja fenomena yang selangkah lagi merugikan BUMN, sekaligus merugikan negara itu, atas persetujuan para pihak. Mantan Sekretaris BUMN Muhammad Said Didu menyangkan ‘penyingkiran’ BUMN profesional sekelas Angkasa Pura II oleh perusahaan swasta PT ATS sungguh sangat disayangkan. Seolah Kementerian Keuangan dan TNI AU lebih merestui pihak swasta menguasai bandara sendiri, seolah membenarkan oligarki menguasai aset negara.

“Penyerahan Bandara Halim ke Lion Grup bukti nyata kerja Oligarki. Setelah direnovasi dg habiskan uang Negara APBN sktr Rp 6 trilyun - langsung diserahkan ke swasta. Kurang enak apalagi?” demikian cuitan Said Didu lewat akun Twitternya @msaid_didu pada Sabtu (23/7).

Said Didu pun merinci, kontrak pengelolaan asset negara seperti Bandara Halim melalui alur-alurnya sebagai berikut. Pertama, proses di pengguna Asset (TNI-AU). Kedua, usulan pengguna asset (TNI/TNI-AU) ke Kementerian Keuangan. Ketiga, persetujuan penggunaan oleh Kemenkeu.

“Jadi berpindahnya pengelolaan Bandara Halim dari BUMN AP II ke Lion Grup silakan tanya ke lembaga tersebut,” lanjutnya.

Said Didu mengisahkan bagaimana Angkasa Pura II tersingkir dari bandara Halim Perdanakusuma sehingga kini jatuh ke tangan swasta milik Rusdi Kirana tersebut. Dia menjelaskan banda Halim adalah aset TNI AU yang awalnya dikelola Angkasa Pura II, tapi penguasa Halim bekerjasama dengan yayasan dan yayasan tersebut membuat kontrak dengan ATS. Hingga akhirnya Angkasa Pura sebagai BUMN yang seharusnya mendapat kue bisnis dari negara, malah disingkirkan.

“Ceritanya "panjang dan berliku", ringkasnya : Bandara Halim adlh asset TNI yg awalnya dikelola oleh API II, tapi penguasa halim "kerjasamakan" dg Yayasan dan Yayasan tsb buat kontrak dg swasta akhirnya AP II "tersingkir". Hal seperti ini yg bisa jelaskan adlh Kemenkeu dan TNI,” demikian cuitan Said Didu lainnya.

Penguasaan pengelolaan aset negara saja bisa dikadali dengan modus yayasan, bagaimana dengan nasib aset-aset negara lainnya nanti? Yayasan seperti apa?

Pihak Lion Group sempat membantah bahwa ATS sudah tidak lagi menjadi bagian dari Lion Group. ATS, menurut Corporate Communications Strategic of Lion Air Group Danang Mandala Prihantoro, tidak lagi menjadi bagian dari Lion Air Group sejak Desember 2020. Menurut Danang, atas fakta tersebut maka Lion Air sama sekali tidak terkait dengan status kepengelolaan Bandara Halim Perdanakusuma.

ATS merupakan anak perusahan dari PT Whitesky Airport Asia milik Whitesky Group. Perusahaan tersebut bergerak di bidang operator maskapai penerbangan tidak berjadwal berbasis helikopter di Indonesia.

Lepas dari bantahan yang ada, penjelasan yang diberikan, fakta menunjukkan keberpihakan Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan TNI AU justru diberikan kepada swasta. Seperti ada gerakan melemahkan BUMN, melemahkan NKRI, bahkan melemahkan kekuatan negara lewat praktik-praktik seperti ini. Semoga ada kekuatan besar, tangan kuat yang meluruskan kembali cara kita mengelola negara agar sebesar-besarnya manfaat untuk NKRI, untuk BUMN dan untuk bangsa ini.

1000

Related Post