Anies Presiden, Rocky: Beban Ekonomi dan Politik Lebih Berat, Minggu Kedua Sudah Ditagih

APAKAH sekarang ini Presiden Joko Widodo sudah berperan juga sebagai Raja Indonesia? Haruskah seorang Bakal Calon Presiden mendatang minta restu ke Jokowi agar bisa memenangkan kontestasi Pilpres 2024?

Dalam acara HUT ke-58 Partai Golkar di JIExpo, Kemayoran, Jakarta pada 21 Oktober 2022 lalu, misalnya, Presiden Jokowi sempat berpesan supaya partai politik tak keliru dalam menentukan Capres-Cawapres 2024.

“Jangan sembarangan menentukan calon pilot dan kopilot yang akan dipilih rakyat. Juga jangan sembarangan memilih calon presiden dan wakil presiden,” kata Jokowi mengingatkan.

Peringatan Presiden Jokowi tampaknya ditujukan kepada Nasdem yang sudah mendeklarasikan dukungannya kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan sebagai Bacapres 2024.

Pernyataan Jokowi di atas bisa ditafsirkan bahwa Nasdem “sembarangan” memilih Anies sebagai Bacapres 2024. Sementara warga Jakarta yang pernah dipimpin Anies selama 5 tahun, sudah merasakan perubahan, Jakarta lebih baik.

Janji-janji kampanye yang pernah dilontarkan Anies pun sudah dipenuhinya, tidak ada yang tertinggal.

Tampaknya, Jokowi memang sedang galau dan panik, kepada siapa nantinya dia akan bersandar. Sementara Ganjar Pranowo, meski sudah direstuinya, tapi nasibnya hingga kini tidak jelas. PDIP belum juga mencalonkannya.

Sementara, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang tadinya diharapkan menjadi kendaraan untuk mencalonkan Ganjar, tidak juga menentukan sikapnya. Itu juga karena Ketum Golkar Airlanggar Hartarto sendiri juga ingin didukung Jokowi sebagai Bacapres 2024.

Apalagi, belakangan secara terbuka, Presiden Jokowi terkesan mendukung Menhan Prabowo Subianto maju Pilpres 2024. Setelah Jokowi menang dua kali Pilpres, “Setelah ini jatahnya Pak Prabowo,” kata Jokowi 

Itulah sikap Jokowi dalam beberapa hari belakangan ini. Dukung sana-sini dengan mengabaikan etika politik, seolah dia sudah menjadi Raja.

Sinyal-sinyal tersebut terungkap dalam wawancara wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dengan pengamat politik Rocky Gerung, dalam kanal Rocky Gerung Official, Rabu (9/11/2022). Berikut petikannya.

Senang sekali ini kita terus bisa update situasi yang, meminjam bahasanya Bung Rocky, karena terlalu banyak kekacauan di sana-sini.

Iya, banyak kekacauan dan orang nggak punya perspektif, lalu karena nggak punya perspektif menjadi fanatik. Kan fanatik itu kalau nggak dituntun oleh perspektif, oleh cara pandang, lalu masuk dalam cara pandang buta. Cara pandang buta itu nggak mau peduli itu siapa dia, ada apa di situ, pokoknya gua suka sama dia tuh. Langsung tuh.

Dan itu yang menyebabkan perselisihan internal para pendukung masing-masing capres maupun antar-para pendukung. Jadi, saya balik lagi bahwa teman-teman semua ini, FNN ditugaskan oleh peradaban untuk menuntun pembersihan politik dari kalangan fanatik, dari kalangan feodal.

Itu buruknya. Dari kedua belah pihak, mau oposisi mau petahana, semuanya ingin kita clear-kan. Supaya ada level playing field yang betul-betul hanya didasarkan pada kemampuan membaca politik secara rasional.

Ini menarik kalau Anda sudah membahas soal ini. Mari kita bahas soal moral etika berkaitan dengan pencapresan. Ada dua fenomena: Pertama, fenomena tentang Anda sendiri yang saya juga mesti menjelaskan kiri kanan di mana orang mempertanyakan tentang sikap Anda, berkaitan dengan pernyataan Anda tentang LBP yang cocok jadi wakilnya Anies itu.

Sampai sekarang, tadinya saya pikir ini cuma bercandaan, ternyata serius, banyak orang nangkapnya. Kedua, ini kritik dari teman kita sendiri, tentang Pak Jokowi yang memberikan restu dan mengendors secara langsung Pak Prabowo untuk jadi calon presiden.

Ini dianggap sebagai menyalahi etika dan terkesan negara kita ini sekarang berubah jadi monarki. Kalau monarki berarti Pak Jokowi bakal jadi raja dong. Silakan Anda mulai dari mana. Yang Anda dulu deh.

Orang terus-menerus mengaitkan saya sebagai pendukung Anies, pendukung AHY, ya jelas saja karena saya nggak mendukung Jokowi, nggak mendukung Ganjar kan. Tapi, bukan mendukung dalam pengertian menjadi tim relawan. Saya mendukung setiap orang yang punya gagasan masuk di dalam wilayah politik.

Jadi yang punya gagasan itu. AHY punya gagasan, Anies punya gagasan, maka saya dorong supaya masuk ke situ. Tapi bukan itu intinya. Intinya adalah supaya gagasannya AHY, gagasannya Anies, dihadapkan langsung dengan gagasannya Ganjar. Kan itu.

Dengan kata lain saya juga mendorong Ganjar datang ke dalam wilayah debat publik di pers, di FNN, supaya kita adu gagasan, bukan adu jual spanduk. Itu masa lampau. Ngapain spanduk ada di mana-mana, tetapi gagasannya kita nggak tahu. Jadi itu konteksnya.

Lalu pada waktu seminar dengan FNN, orang bertanya, siapa yang layak jadi wapres. Saya nggak peduli mau siapa jadi wapres nggak ada urusan dengan saya. Cuma saya uji, Anies memberi syarat. Wapres itu ABC, lalu kita uji siapa yang mampu itu.

Nggak ada yang mampu, maka saya sodorkan. Kalau parameternya adalah kemampuan menambah elektabilitas dari wilayah non-muslim, kan mesti begitu pengertiannya, maka LBP. Kenapa? Karena LBP datang dari wilayah yang bukan wilayah Anies, jadi tambah.

Kalau syarat kedua Anies adalah yang mampu untuk menertibkan kasak- kusuk, bahkan saya pakai bajingan-bajingan begundal di DPR, ya Pak Luhut. Kenapa? Karena Pak Luhut ngerti permainan koboi-koboi yang ada di DPR. Terpenuhi yang kedua.

Yang ketiga, kalau Anies mensyaratkan wakil presidennya mampu untuk mengelola pemerintahan secara birokratik junto teknokratik, pasti cuma Pak Luhut. Karena Pak Luhut berhasil menyelesaikan banyak soal terus sehingga dapat banyak penugasan dari Pak Jokowi. Kan itu masuk akal kan?

Lalu orang marahin saya, marahin FNN, kok Rocky pro Luhut. Bukan saya pro Luhut, tapi parameter Anies hanya ada pada Luhut. Kan gitu.

Jadi orang-orang ini, yang otaknya dangkal juga, jadi fanatik pada Anies, lalu musuhin saya tuh. Padahal, saya justru menguji parameter itu. Lain kalau dikatakan kan AHY bisa. Loh, saya bilang iya AHY juga saya dorong, tetapi di dalam parameter Anies AHY enggak masuk. Kenapa?

AHY enggak punya pengalaman teknokratik, belum pernah memerintah. Jadi, orang marah ke saya. Loh, Anies yang bikin (persyaratan).

Kalau sekarang misalnya saya bilang, oke, AHY enggak bisa, berarti siapa yang punya pengalaman di pemerintahan. Gibran. Sekarang saya bilang tuh, Anies ambil Gibran saja wakil presidennya kan? Kan Gibran punya pengalaman jadi walikota. Nanti orang marah lagi ke saya.

Itu namanya orang sudah masuk pada fanatisme. Padahal, kita ingin supaya politik ditumbuhkan dengan parameter-parameter akademis. Kalau kita uji sekarang Gibran, Gibran masuk kriteria ketiga dari Anies, punya pengalaman pemerintahan.

Gibran mampu nggak menertibkan perkelahian politik nanti di DPR, karena saya bayangkan kalau Anies menang, tetap saja partai politik bukan dikuasai Anies. Kan tetap minoritas PDIP, partai pendukung Nasdem segala kan. Jadi, hal semacam itu yang kita uji.

Apakah Gibran punya pengalaman pemerintahan? Punya, walikota. Apakah Gibran mampu? Belum tentu dia mampu. Apakah Gibran nambahin suara, pasti nambahin suara dari wilayah PDIP. Jadi, Gibran tinggal satu soal. Jadi semua kita ukurkan berdasarkan parameter yang dibuat oleh Anies sendiri. Kan begitu.

Aher boleh dimajukan karena Aher punya pengalaman pemerintahan. Boleh nggak Aher menambahkan suara, ya sama juga tuh. Aher dengan Anies sama tuh suaranya. Syarat kedua dari Anies, mampu menertibkan persaingan politik di DPR, kelihatannya tidak mampu, karena PKS juga sedikit.

Sama nasibnya dengan Demokrat. Mana mungkin Demokrat mampu untuk menguasai parlemen. Tetapi, kalau Aher lebih mungkin karena presiden Anies terpilih, lalu suara pergi ke PKS tuh, maka suara PKS naik tuh. Saya nggak membayangkan Anies terpilih suara Nasdem naik. Lain itu.

Jadi Anies terpilih presiden, tapi Nasdem suaranya ya segitu-gitu saja kan? Orang menganggap ya lebih baik pasangkan saja. Kalau saya memilih Anies, sebagai muslim misalnya, maka saya akan memilih PKS. Kira-kira begitu ukurannya. Enggak ada terbalik begitu.

Jadi kalkulasi Nasdem juga bisa keliru. Nah, semua ini adalah permainan di kepala untuk kita atur. Kenapa politik tumbuh dengan kekacauan ini. Karena nggak ada nol persen. Kan itu intinya kan. Jadi, karena tukar tambah, Anies terpaksa mesti pasang parameter, yang memang secara awal orang langsung lihat kesan bahwa Anies memang ingin serius.

Nah, bahkan saya tambahkan, seandainya Anies dapat calon wakil presiden yang memenuhi kriterianya, pertama menambahkan suara, kedua mampu mengendalikan politik di Parlemen, dan ketiga dia akan mampu menjalankan pemerintahan. Oke. Wakil presidennya sudah cocok, siapapun namanya.

Terus tiba-tiba, dua minggu pertama tagihan dari kreditur internasional tuh, dua minggu berikutnya tagihan dari China soal harus bayar kelebihan atas anggaran di kereta cepat, macam-macaam.

Dua minggu kemudian ada ketegangan di Indo Pasifik, nah lantas itu bubar pemerintahannya tuh. Karena Anies akan digoyang kembali oleh petahana, karena dia menang bukan atas dukungan Pak Jokowi.

Jadi, Anies akan mendapat oposisi lebih besar justru ketika dia menang. Dan, ketika dia menang, beban politik dan ekonomi yang dibebankan oleh Presiden Jokowi mulai ditagih di minggu kedua, kalau dia menang. Ini semua bayangan di kepala dan kita mesti mampu untuk bikin konstruksi di kepala, begitu.

Supaya relawan juga paham, nggak sekadar memilih, tetapi ada konsekuensi-konsekuensinya. Nah, itu sebetulnya intinya kenapa kita hentikan fanatisme itu.

Soal Etika Politik Jokowi

Yang kedua tadi soal Bivitri. Bivitri bagus menerangkan soal itu karena Bivitri memang pakar hukum tata negara, dia bisa melakukan perbandingan secara ketatanegaraan dunia. Memang nggak ada dalam tradisi Presiden itu muncul sebagai raja di dalam sistem Republik.

Lain kalau Pak Jokowi itu raja maka boleh semua orang minta restu sebagai Sabdo Pandito Ratu. Jadi kita balik lagi pada feodalisme kan. Gerindra sudah putuskan Pak Prabowo calon presiden. Itu keputusan Gerindra, keputusan dari sebuah partai, dan itu keputusan tertinggi kehendak anggota.

Ngapain lagi minta izin pada Pak Jokowi. Kalau Pak Jokowi bilang nggak bisa, misalnya, lalu Gerindra mau ngapain? Demikian juga Golkar, memutuskan Pak Airlangga jadi calon presiden, tapi saya minta izin dulu.

Artinya, Airlangga atau Prabowo nggak peduli dengan keputusan kongres atau munasnya, kan? Jadi, hal-hal semacam ini mesti kita terangkan dan Bivitri mengingatkan bahwa ini bukan monarki loh. Justru karena demokrasi maka kekuatan rakyat itu ada pada partai politik, bukan pada presiden.

Presiden itu kan dipilih di dalam sistem yang kompetisinya fair. Jadi, kalau presiden kasih sinyal saya maunya Prabowo, itu artinya presiden tidak tahu etika demokrasi. Ya boleh saja dia bilang diam-diam, empat mata, tetapi dia mengucapkan ke publik artinya dia punya preferensi.

Apa hak presiden untuk mengatur munas. Jadi, Presiden akan bilang Munas Golkar itu harus dibatalkan, demikian Munas Demokrat. Semua munas harus dibatalkan karena saya hanya peduli Munas Gerindra.

Itu nggak boleh diucapkan. Jadi, mestinya Pak Prabowo juga mengatakan, iya, terima kasih Pak Presiden, tetapi itu bukan cara demokratis. Airlangga juga bisa bilang begitu. Supaya orang tahu bahwa Gerindra itu dipimpin Prabowo, bukan oleh Jokowi.

Supaya orang tahu bahwa Golkar itu dikendalikan oleh Airlangga, bukan oleh Jokowi. Supaya orang ngerti bahwa PKB itu adalah milik Cak Imin (Muhaimin Iskandar), bukan milik Pak Jokowi. Kan itu intinya. Jadi, begitu sebetulnya kalau saya teruskan logika dari Mbak Bivit tadi.

Saya coba komentari, tetapi sekaligus pertanyaan lagi kepada Anda, politik yang Anda sebut tadi fanatisme berlebihan, sekarang anak-anak muda menyebutnya baper.

Baper ini enggak boleh dalam politik dan yang perlu kita ingatkan sebagai media, FNN itu menjaga jarak pada semua kekuasaan, pokoknya kita jaga jarak pada semuanya.

Tetapi, one day, media itu juga harus punya keberpihakan. Dan, itu jelas parameternya kapan kita mesti berpihak. Yang kedua, saya kira saya tadi mikir-mikir ketika Anda menjelaskan itu, tetapi sebenarnya Pak Jokowi juga enggak bisa disalahkan sendirian.

Karena Pak Prabowo itu bolak-balik memuji Pak Jokowi di mana-mana, berkali-kali. Bahkan Pak Prabowo sudah menyatakan kalau terpilih jadi presiden ingin membentuk kabinet seperti kabinet Pak Jokowi.

Pak Airlangga juga bilang begitu bahwa capres dari KIB harus konsultasi dulu ke Pak Jokowi. Begitu juga dengan Puan Maharani yang sebenarnya dia juga petugas partai, dia datang kepada Pak Jokowi dan dia minta-minta dukungan untuk menjadi calon presiden.

Jadi, Pak Jokowi juga punya kecenderungan semacam itu, tapi para politisi kita juga punya seperti itu. Jangan-jangan ini kultur baru di kita, kultur demokrasi monarki.

Iya, kalau dirumuskan, relawannya baper, tokoh-tokohnya caper. Pak Parbowo caper itu, atau kalau saya mau lebih tajam lagi, cemen. Pak Prabowo mesti bilang gitu karena dia ada di dalam. Nggak mungkin dia mengatakan bahwa yah, itu payah Pak Prabowo.

Pak Prabowo ada di dalam, Airlangga ada di dalam. Jadi kita mesti bedakan mereka sebagai Menteri, terpaksa mesti muji-muji Jokowi kan. Tetapi, begitu ada persaingan politik, batas itu hilang. Dia mesti kembali pada konstituennya yang menghendaki otonomi.

Jadi itu intinya sebetulnya. Kita nggak ada soal, Airlangga muji-muji, tetapi orang akan ingat Airlangga itu pemimpin Golkar. Jangan sampai keputusan Golkar dianulir hanya karena pujiannya pada Jokowi. Jadi, kesulitannya begitu.

Di mana ini dimulai? Ini semua dimulai oleh kesalahan Pak Jokowi sendiri yang dulu menghendaki supaya nggak ada partai politik masuk. Sekarang partai politik masuk. Kita nggak bisa membedakan ini Airlangga atau Prabowo menteri atau sebagai ketua partai.

Jadi, kacau perpolitikan kita. Etika itu yang musti kita bersihkan. Dengan kata lain, mereka yang memihak pada presiden, ya sudah bilang saja bahwa kami tidak akan bersaing dengan Presiden Jokowi.

Tapi, diam-diam kan Airlangga mulai menarik diri dari KIB dan mulai kasih sinyal bahwa dia bisa bersaing. Jadi, sebetulnya itu yang disebut sebagai pragmatisme. Pragmatisme artinya mengambil keputusan ketika semua hal sudah diuji. Itu namanya pragmatisme.

Ditemukan kembali pengertian baru. Kalau sekarang bukan pragmatisme tapi oportunisme, kalangan oportunis. Ya, ini para penjilat sebetulnya. Kita tidak ingin lihat Indonesia tumbuh dalam ludah yang berlebihan dari para penjilat. (ida/sws)

459

Related Post