Apakah Selamanya Harus Diam dan Pasrah Menerima Keadaan?

Kehidupan rakyat dipaksa oleh aturan-aturan yang membuatnya tunduk dan tak berdaya, bahkan yang bukan dituntun oleh keyakinan agamanya sendiri. Rakyat Indonesia terlalu lama mengalami ambigu, berikrar pada Tuhan namun berlaku meninggalkan perintahNya. Mengakui kelemahan manusia sembari terus memuja dan mengagungkan kelalaiannya. Keimanan ciut dan tak bernyali dihadapan kekuasaan tiran.

Oleh: Yusuf Blegur, Aktivis 98 dan Ketua Senat Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945  Jakarta Periode 1996-1997.

SETELAH hampir 8 tahun harus mengurung akal sehat dan mengubur spiritualitas. Rakyat seperti tak lagi memiliki kebijaksanaan dan kepantasan. Semuanya masih soal makan-minum, pakaian dan tempat tinggal. Selebihnya terikat pada kebiasan  berinteraksi sosial, bekerja, tidur, buang hajat dan memenuhi kebutuhan biologis.  Nyaris tak berbeda dengan habitat mahluk lainnya. Hanya nilai-nilai yang  masih dimiliki dan bisa bertahan, yang membedakannya dengan segala perilaku hewan. 

Dalam ranah kehidupan pribadi dan keluarga, hanya sedikit ruang-ruang religi tersedia. Semua lahir dan batin penuh sesak dijejali hawa nafsu dan ambisi. Materi dan kebendaan lainnya menutupi setiap pandangan, menghalangi sorot mata batin. Kehidupan dibangun semata-mata memburu kenikmatan dan kepuasan. Cemas dan ketakutan akan dunia menjadi hantu yang nyata. Mengabaikan sejatinya orientasi dan relasi sosial dan trasedental. Faktor ini boleh jadi membuat kehidupan rakyat memiliki disparitas yang timpang dengan keberadaban. Beragama tapi sepi dari kehadiran Ilahi.

Di republik yang diklaim sebagai buminya Panca Sila dan Adab ketimuran. Kemanusian dan Ketuhanan begitu porak-poranda mengiringi kehidupan rakyatnya. Kata dan tindakan tak lagi sejalan dan harmonis. Kemudharatan terlau kuat mengungguli kemaslahatan. Kedzoliman tumbuh subur di lahan kebenaran yang tandus. Banyak  penguasa yang ingin menggantikan peran Tuhan. Begitu angkuh, sombong dan arogan pada sesamanya yang lemah, namun begitu ramah dan hangat pada kejahatan.

Rakyat sejatinya memang hanya bisa berharap pada pertolongan Tuhan, meski tak tahu kapan waktunya dan seperti apa solusiNya. Mungkin tak semudah dan secepat yang dibayangkan rakyat. Tuhan seperti menunggu kemauan dan kesungguhan umatnya. Bersiap pada keberanian yang mampu menghadapi rasa takut. Keyakinan tak melulu mengandalkan Tuhan untuk merubah nasib bangsanya sendiri. Rakyat sepertinya harus menerima kenyataan pahit jika ingin meraih kebenaran. Menempuh segala resiko meski kebenaran itu tak kunjung digenggamnya.

Meskipun demikian, agama telah memberi rambu-rambu yang mengarahkan jalan lurus. Meski berkelok-kelok dan kerapkali menemui jalan terjal, perjalanan tak boleh berhenti. Pencerahan tak mustahil dijangkau , bagai matahari yang tak pernah lelah menyinari. Begitupun sang musafir menapaki jalan kebangsaan. Haruskah rakyat Indonesia menyerah karena lelahnya mencapai tujuan?. Diselimuti  badai pasir dan kerikil tajam, mungkinkah bangsa Indonesia terseret tenggelam ditelan bumi. Akankah kesengsaraan dan nestapa terus menghinggapi negeri?. Apakah  rakyat harus selamanya diam dan  pasrah  menerima keadaan?.

Biarlah proses yang menjelaskan dan sejarah yang akan menoreh catatannya. (*)

411

Related Post