ASPI: Perlu Kolaborasi untuk Perkuat Riset Sel Punca di Indonesia

Seorang peneliti mengamati sel melalui mikroskop disela acara peresmian Pusat Penelitian dan Pengembangan "Stem Cell" (Sel Punca) di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (11/7). Pemerintah melalui Kemenristek Dikti mendukung upaya penelitian dan inovasi pengembangan riset sel punca (stem cell) untuk memperbaiki kesehatan masyarakat.

Jakarta, FNN - Ketua Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI) Rahyussalim mengatakan perlu kolaborasi dan sinergi antarpemangku kepentingan, termasuk pemerintah, periset/ahli, dan industri, untuk memperkuat riset sel punca di Indonesia yang bermanfaat bagi dunia kesehatan.

"Yang lebih penting perlu kolaborasi dan sinergi dari para pihak yang terlibat," kata dia dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Ia menuturkan untuk dapat memperkuat riset sel punca di Indonesia, perlu upaya memperbanyak pelaku riset sel punca, baik perorangan maupun kelompok, baik dari riset dasar maupun klinis.

Selain itu, perlu dukungan pemerintah berupa regulasi yang mempermudah riset dan pelayanan sel punca.

Ia mengatakan posisi sumber daya manusia (SDM) periset di Indonesia, baik pada tahap dasar (basis) maupun klinis yang serius pada pengembangan dan penggunaan sel punca, masih sedikit.

Penelitian sel punca terdiri atas riset dasar/preklinis (in vitro dan in vivo) dan riset klinis di mana ada fase 1 untuk dosis dan prosedur, fase 2 untuk keamanan dan efektivitas, serta fase 3 komunitas (hilirisasi produk/post market).

"Selama ini riset sel punca di Indonesia masih berkutat pada riset sel punca mesenkimal. Kita di ASPI ada pada fase 1, ini yang kami kerjakan," tutur Rahyussalim.

Menurut dia, di dunia sudah ada 6.000 uji klinis sel punca, sedangkan angka riset sel punca (stem cell) di Indonesia masih kecil.

Maka dari itu, ASPI berupaya memperkuat penelitian sel punca dan melakukan harmonisasi.

Untuk pengembangan riset sel punca, ASPI mengacu dan mengadopsi kepada organisasi International Society for Stem Cell Research (ISSCR) yang sudah mempunyai pedoman (guide line) tentang sel punca.

Rahyussalim menuturkan ASPI menyambut baik skema Pusat Kolaborasi Riset yang difasilitasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk bisa mewujudkan penguatan dan harmonisasi riset sel punca di Indonesia.

Pelaksana Tugas Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati BRIN Iman Hidayat mengatakan peranan asosiasi profesi seperti ASPI strategis dalam pengembangan riset dan inovasi sel punca.

Untuk itu, ia mendorong ASPI bekerja sama dengan BRIN atau rumah sakit untuk bisa membuat pusat kolaborasi riset sel punca.

Melalui skema pusat kolaborasi riset tersebut, katanya, selain dapat mengakses skema fasilitasi pendanaan dari BRIN, juga dapat merekrut mahasiswa sebagai asisten riset yang bertujuan membangun riset dan SDM yang kompeten.

Dorong Riset

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendorong akselerasi riset sel punca (stem cell) untuk pengobatan di Tanah Air melalui pengembangan kapasitas sumber daya manusia (SDM) terampil, penambahan infrastruktur riset, pendanaan riset, dan program riset.

"Peran BRIN saat ini adalah mengakselerasi riset dan inovasi sel punca di Indonesia, yaitu dengan menciptakan ekosistem riset yang membuat seluruh stakeholder (pemangku kepentingan) bisa tumbuh," kata Pelaksana tugas Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati BRIN Iman Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Iman mengatakan jika ekosistem riset sel punca untuk pengobatan terbangun dan bangkit, dan seluruh pemangku kepentingan terfasilitasi, maka diharapkan akan muncul inovasi-inovasi unggul di bidang kesehatan.

Pria lulusan dari Chiang Mai University di Thailand itu menuturkan sel punca sudah dibicarakan sejak 10 tahun yang lalu sebagai pengobatan masa depan.

Namun, penggunaan terapi sel punca dalam dunia kesehatan di Indonesia masih sangat minim. Begitu juga pengembangan dan risetnya yang masih belum banyak dilakukan.



Meski demikian, menurut Iman, masih terbuka peluang bagi Indonesia untuk memperkuat daya saing dalam penelitian sel punca.

Iman menuturkan ada beberapa tantangan yang menghambat pengembangan sel punca di Indonesia antara lain terapi biaya pengobatan sel punca saat ini masih sangat mahal.

Terapi sel punca menjadi mahal karena bahan baku lebih dari 95 persen impor, sehingga masih sangat jarang digunakan oleh masyarakat.

Kesiapan rumah sakit dan klinik untuk melakukan terapi sel punca masih terbatas. Rumah sakit atau klinik harus memiliki fasilitas instalasi sel punca, bank sel punca, laboratorium riset terpadu, hingga tenaga medis di bidang sel punca.

Selain itu, biaya riset sel punca juga sangat mahal. Riset di berbagai institusi belum banyak mengarah ke arah riset terapan. Oleh karenanya, perlu percepatan hasil riset melalui kolaborasi antara peneliti di berbagai institusi.

Untuk itu, BRIN memfasilitasi dan menyediakan dana dan infrastruktur untuk meningkatkan riset dan inovasi di Tanah Air termasuk untuk menumbuhkan pembangunan kapasitas di bidang sel punca di Indonesia.

BRIN telah membentuk Organisasi Riset Kesehatan dengan tujuh pusat riset di bawahnya untuk memfasilitasi periset dalam bidang kesehatan.

BRIN juga sudah menyiapkan pendanaan rumah program obat dan vaksin sebesar Rp20 miliar, pengobatan presisi dan regeneratif Rp20 miliar, dan penyakit infeksi Rp10 miliar.

BRIN juga memiliki pendanaan untuk uji klinis dan praklinis yang dialokasikan sebesar Rp350 miliar. (mth)

332

Related Post