Balas Dendam di Tanah Suci

Operasi Badai al Aqsha yang dilancarkan pejuang Palestina, Hamas, pada pada 7 Oktober 2023 lalu, bukan sekadar balas dendam. Ada proyek besar yang diinginkan Para Mujahid ini. Apa itu?

Oleh: Dimas Huda | Jurnalis Senior FNN 

HARI itu, Senin 2 Oktober 2023 adalah hari raya Sukkot. Ratusan pemukim Yahudi yang dikawal polisi Israel  tiba-tiba memaksa masuk ke kompleks Masjid Al-Aqsa. Mereka ingin menggelar ritual Talmud di situs suci Umat Islam itu. 

Hari raya Sukkot adalah hari libur selama sepekan, yang dimulai pada tanggal 29 September dan akan berlanjut hingga 6 Oktober, mengakhiri musim hari raya Yahudi yang dimulai dengan merayakan hari raya Rosh Hashanah (Tahun Baru) pada tanggal 15 September.

“Para pemukim melakukan tur ke halaman masjid dan berusaha melakukan ritual Talmud,” kata pejabat setempat sebagaimana dilansir Anadolu Agency. 

Sebelumnya, pada hari Ahad, Departemen Wakaf Islam mengatakan bahwa hampir 860 pemukim menyerbu Masjid Al-Aqsa. Polisi Israel mulai mengizinkan pemukim memasuki kompleks Masjid Al-Aqsa pada tahun 2003, meskipun ada kecaman berulang kali dari warga Palestina. 

Masjid Al-Aqsa adalah situs tersuci ketiga di dunia bagi umat Islam. Orang-orang Yahudi menyebut daerah itu sebagai "Gunung Bait Suci", dan mengklaim bahwa tempat itu adalah situs dua kuil Yahudi di zaman kuno. Dan sudah berkali-kali para pemukim Yahudi itu melakukan penghinaan terhadap tempat suci umat Islam tersebut.

Sudah barang tentu tindakan itu membuat umat Islam terusik, termasuk Hamas. Pada 7 Oktober 2023, bertepatan dengan hari raya Yahudi Simchat Torah, Hamas melancarkan serangan bertajuk Operasi Badai Al-Aqsa. Serangan di pagi hari itu membunuh 1.400 nyawa warga Israel dan menahan ratusan orang Yahudi.

Israel pun gelap mata. Negeri itu melancarkan serangan balasan dari udara dan darat secara membabi buta. Kementerian Keuangan Israel, Senin 13 November 2023 melaporkan telah mengeduk utang sekitar 30 miliar shekel atau US$7,8 miliar setara setara Rp120,9 triliun sejak dimulainya perang dengan Hamas. 

Hasilnya, 14.500 orang warga Palestina syahid, mayoritas dari mereka adalah anak-anak dan perempuan. Bangunan masjid, rumah sakit, dan rumah-rumah penduduk warga Gaza berubah menjadi puiang-puing. Kota indah Gaza tinggal kenangan.

Tembok Ratapan

Sejak Israel menduduki Baitul Maqdis, situs suci Islam itu sangat mengenaskan dan sangat menyakitkan. Provokasi mobilisasi Yahudi oleh Israel tampak jelas dan terang-terangan ke arah ini sejak tahun 1920-an. 

Pada mulanya orang-orang Yahudi memfokuskan tuntutannya pada sisi barat tembok masjid al Aqsha 'Tembok Buraq' yang mereka namakan dengan ' tembok ratapan '. "Tembok dan daerah sekitarnya pada hakikatnya adalah tanah wakaf Islam tetap yang memiliki nota dan dokumen, dan itu diakui bahkan oleh tim investigasi internasional," tulis Dr Muhsin Muhammad Shaleh dalam bukunya berjudul "Ardhu Filistin wa Sya’buha" yang diterjemahkan Warsito, Lc menjadi "Tanah Palestina dan Rakyatnya". 

Beberapa hari setelah pendudukan al Quds, Zionis Yahudi menghancurkan kampung al Mugharabah yang berhadapan dengan tembok barat Masjid al Aqsha. Di sini terdapat Tembok Buraq itu. Kampung al Mugharabah terdiri dari 135 rumah dan dua masjid. Kala itu, kampung ini dihabisi, rata dengan tanah. 

Selanjutnya dijadikan area terbuka yang digunakan orang-orang untuk ibadah mereka, meskipun tanah ini adalah wakaf Islam. 

Sejak itu mulailah Yahudi melancarkan operasi penggalian di bawah masjid al Aqsha dan daerah sekitarnya. "Mereka memfokuskan operasi ini di daerah barat dan selatan masjid, sebagai upaya untuk mewujudkan bukti apapun bagi haikal yang mereka klaim," ujar Muhsin Muhammad Shaleh.

Kala itu, yang mereka dapatkan justru sebagian besar adalah peninggalan-peninggalan Islam yang mendukung kedudukan dan identitas keislaman al Quds. Sejak tahun 1967 hingga tahun 2000 operasi penggalian ini telah melewati 10 periode (tahap), yang dilakukan dengan giat namun tenang dan diam-diam. 

Selama itu mereka memfokuskan penggalian pada sisi barat dan selatan masjid al Aqsha, untuk itu pula mereka melakukan penggusuran dan penghancuran banyak masjid bangunan-bangunan bersejarah Islam. Misalnya, pada 14 – 20 Juni 1969 mereka menghancurkan 31 bangunan bersejarah Islam dan mengusir warganya, serta penggalian terowongan di bawah masjid al Aqsha. 

Akan tetapi yang mereka dapatkan adalah peninggalan Islam yang mendukung kedudukan dan identitas keislaman al Quds, hal ini semakin menambah kedengkian dan hasad mereka. 

Penggalian ini mencapai tahap yang sangat membahayakan ketika mereka mengosongkan tanah dan batu dari bawah masjid al Aqsha dan masjid Qubatus Shakhra’. 

Mereka menggunakan bahan kimia untuk meleburkan batu-batu tersebut, yang menjadikan masjid al Aqsha siap runtuh kapan saja oleh topan yang kuat atau dengan gempa ringan (baik itu buatan atau alami).

Yahudi juga kerap melakukan serangan-serangan permusuhan terhadap masjid al Aqsha. Selama tahun 1967 – 1990 telah terjadi 40 kali serangan. Berbagai kompromi damai dan perjanjian Oslo tidak juga dapat menghentikan penyerangan-penyerangan yang mereka lakukan. Bahkan selama tahun 1993 – 1998 tercatat ada 72 kali aksi serangan.

Sebuah data yang menunjukkan meningkatnya aksi-aksi biadab mereka terhadap salah satu tempat suci kaum muslimin. Serangan yang paling menonjol adalah aksi pembakaran masjid al Aqsha pada 21 Agustus 1869 dengan tertuduh seorang Nasrani fanatik bernama Denis Mikel Rohan yang berafiliasi ke Gereja Allah. 

Akibat aksi ini api membakar seluruh isi dan tembok masjid, juga membakar mimbar agung masjid yang dibuat oleh Nuruddin Zinki dan diletakkan oleh Shalahuddin Al Ayyubi di dalam masjid pasca pembebasan al Aqsha dari tangan Kaum Salib pada tahun 1187. 

Setelah dilakukan pengadilan simbolik, Zionis Yahudi membebaskan Rohan dengan vonis dia tidak bertanggung jawab melakukan tindak pidana karena dia gila. Kala itu pihak rezim penjajah Israel sengaja terlambat memberikan bantuan untuk memadamkan kebakaran, bahkan menghalangi upaya ribuan kaum muslimin yang berbondong-bondong memadamkan api.

Kota Suci Al Quds

Pada mulanya, Israel menduduki wilayah al Quds Barat pada perang tahun 1948. Luas wilayah ini sekitar 84,1 persen dari keseluruhan luas wilayah al Quds atau Yerusalem. Selanjutnya mereka melakukan yahudisasi terhadap wilayah ini, padahal kala itu, 85% pemiliknya adalah orang Arab Palestina. 

Mereka membangun kompleks-kompleks perkampungan Yahudi di atas tanah al Quds Barat dan tanah-tanah yang mereka gusur di sekitarnya.

Desa Lafna di atasnya dibangun kantor parlemen Israel Knesset dan sejumlah kantor departemen Israel. Kemudian desa Ain Karim, Deir Yasin, Maliha dan yang lainnya. 

Pada tahun 1967 penjajah Zionis Israel menyempurnakan penjajahannya terhadap kota suci al Quds dengan menduduki wilayah al Quds Timur, yang juga merupakan bagian dari wilayah Tepi Barat sungai Yordan dan di dalamnya adalah bangunan suci umat Islam masjid al Aqsha yang diberkati.

Sejak saat itu mulailah serangan yahudisasi yang menghancurkan wilayah al Quds Timur. Maka dimaklumatkan penyatuan dua wilayah al Quds, yakni al Quds Barat dan al Quds Timur, di bawah administrasi “Israel” pada 27 Juni 1967. 

Kemudian dimaklumatkan secara resmi pada 20 Juli 1980 bahwa al Quds adalah ibukota abadi tunggal untuk entitas Israel. 

Sentralisasi di al Quds adalah masalah utama dalam pemikiran Zionis Yahudi, sebagai realisasi tujuan-tujuan agama dan sejarah. Bahkan 50 tahun sebelum pendirian entitas negara “Israel”, pendiri organisasi Zionisme internasional Theodore Hertzel sudah mengatakan: 

“Jika kita berhasil mendapatkan kota suci al Quds sedang saya masih hidup dan mampu melakukan sesuatu, maka saya akan menghapus segala sesuatu yang tidak suci bagi Yahudi di dalamnya. Dan saya akan membakar semua peninggalan yang telah berlalu berabad-abad.” 

Sedang pendiri entitas negara Yahudi dan sekaligus perdana menteri pertama bagi entitas Yahudi di Palestina David Ben Gurion mengatakan: “Bahwasanya tidak ada artinya bagi Israel tanpa al Quds dan tidak ada artinya bagi al Quds tanpa Haikal.” 

Secara bertahap entitas Zionis Yahudi melakukan perluasan kota al Quds, agar berhasil mencaplok lebih wilayah-wilayah Tepi Barat secara total ke dalam wilayahnya, dan agar dapat melakukan aktivitas yahudisasi al Quds secara sistematis dan ekspansif. Maka diperluaslah wilayah kota al Quds dari 6,5 kilometer persegi pada tahun 1967 menjadi 123 kilometer persegi pada tahun 1990.

Halangan Utama

Paul Findley dalam bukunya berjudul “Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship” yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi “Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel” (Mizan, 1995) menulis halangan utama dalam mencapai perdamaian adalah perjuangan status Yerusalem atau al Quds. 

Kenyataan bahwa Yerusalem disucikan oleh orang-orang Kristen, Yahudi, dan Muslim mengandung arti bahwa statusnya berkaitan dengan masyarakat internasional.

Rencana Pembagian PBB tahun 1947 menyadari adanya kepentingan seluruh dunia atas Yerusalem dengan menetapkan kota itu sebagai corpus separatum, sebuah kota yang terpisah dan tidak boleh dikuasai baik oleh bangsa Arab maupun Yahudi melainkan oleh suatu rezim internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB. 

Israel menerima pengaturan ini ketika ia menerima rencana pembagian dan juga ketika ia diterima menjadi anggota PBB pada 1949. Namun, Israel secara konsisten selalu bertindak sebaliknya, dengan menyatakan bahwa Yerusalem merupakan ibukota abadi bangsa Yahudi. Sejak 1967, Israel telah menguasai seluruh Yerusalem. Pada 10 Juli 1980, ia secara resmi mencaplok kota itu dan menyatakan bahwa "Seluruh Yerusalem adalah ibukota Israel." Negeri Yahudi tersebut terus mempertahankan pendapat itu hingga sekarang.

"Yerusalem Yahudi merupakan bagian organik dan tak terpisahkan dari Negara Israel," ujar Perdana Menteri Israel pertama, David Ben-Gurion.

Pada 16 Desember, Ben-Gurion menantang masyarakat dunia dengan memindahkan kantor perdana menteri ke Yerusalem. Dia menyatakan awal tahun baru 1950 sebagai hari perpindahan semua kantor pemerintah ke Yerusalem kecuali kementerian luar negeri dan kementerian pertahanan serta markas besar polisi nasional. 

Pemindahan kantor-kantor pemerintah Israel ke Yerusalem tetap tak terbendung oleh tuntutan Dewan Perwalian PBB pada 20 Desember agar Israel memindahkan kantor-kantor itu dari Yerusalem karena tidak sesuai dengan janji-janjinya pada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada 31 Desember, Israel secara resmi memberitahu dewan itu bahwa ia tidak akan memindahkan pemerintahan dari Yerusalem.

Tentangan Israel terhadap PBB terbukti berhasil. Sejak Desember 1949 dan seterusnya, Israel telah bertindak seakan-akan ibukotanya yang sah dan diakui adalah Yerusalem.

Pada akhir Perang 1967, Israel bergerak cepat untuk memperluas batas-batas kota dan mencaplok seluruh Yerusalem sebagai "ibukota abadi." Hingga 1967, Jerusalem terdiri atas Kota Tua dengan tembok bersejarahnya, yang terbagi menjadi wilayah-wilayah Armenia, Kristen, Yahudi, dan Muslim, dan kota yang mengelilinginya, yang dibagi untuk orang-orang Arab di sebelah timur dan orang-orang Israel di sebelah barat.

Dalam kegelapan dinihari tanggal 11 Juni, hari setelah berakhirnya pertempuran, pasukan Israel memberi peringatan tiga jam untuk mengosongkan rumah-rumah kepada orang-orang Palestina yang tinggal di seksi Mughrabi dari Kota Tua Jerusalem, di sebelah Tembok (Ratapan) Barat dari Temple Mount/Haram Al-Syarif. Lalu buldoser-buldoser Israel menghancurkan tempat-tempat tinggal dan dua masjid, membuat 135 keluarga --650 pria, wanita, dan anak-anak-- menjadi tunawisma. Itu merupakan penyitaan pertama atas hak milik Palestina setelah perang.

Seminggu kemudian, pada 18 Juni, para serdadu Israel mulai memerintahkan orang-orang Palestina untuk meninggalkan wilayah Yahudi di Kota Tua. Pada mulanya, pengusiran itu hanya menimpa beberapa ratus orang saja, namun dalam tahun-tahun selanjutnya menimpa pula seluruh penduduk Palestina di wilayah tersebut yang berjumlah kira-kira 6.500 orang. Orang-orang Yahudi mulai pindah ke wilayah itu sejak Oktober 1967.

Israel bergerak dengan yakin untuk menguatkan cengkeramannya atas Yerusalem Timur Arab dua minggu setelah perang dengan diloloskannya dua ordonansi dasar oleh Knesset pada 27 Juni: Ordonansi Hukum dan Administrasi dan Ordonansi Korporasi Kotapraja. 

Hukum korporasi itu memungkinkan menteri dalam negeri untuk mengubah Batas-Batas Jerusalem, dan ordonansi administrasi memungkinkannya untuk memberlakukan hukum Israel ke wilayah kotapraja yang diperluas itu.

Menteri dalam negeri melakukan kedua-duanya satu hari kemudian, pada 28 Juni. Dia lebih dari sekadar menggandakan ukuran Yerusalem dengan jalan memperluas batas-batas ke utara sembilan mil dan ke selatan sepuluh mil, meningkatkan batas-batas kotapraja Yerusalem dari 40 kilometer persegi menjadi 10 km persegi.

Batas-batas baru Yerusalem secara hati-hati ditetapkan untuk memastikan, sebagaimana dilaporkan Wakil Walikota Meron Benvenisti di kemudian hari, "mayoritas Yahudi yang melimpah" di dalam batas-batas yang baru itu. Daerah-daerah dengan penduduk Palestina yang padat dihapuskan sementara tanah yang berbatasan dengan desa-desa Arab disatukan ke dalam kota yang diperluas itu.

Akibatnya batas-batas kota Yerusalem yang diperluas itu kini menampung 197.000 orang Yahudi dan 68.000 orang Palestina --suatu perubahan dramatis dari masa-masa pra-pembagian tahun 1947 ketika ada sekitar 105.000 orang Palestina dan 100.000 orang Yahudi di Jerusalem Besar. Di dalam batas-batas kota dari kekotaprajaan lama proporsinya kini adalah 60.000 orang Palestina dan 100.000 orang Yahudi.

Majelis Umum PBB pada 14 Juli 1967 menyesalkan penolakan Israel untuk mematuhi resolusi Majelis tanggal 4 Juli, yang memerintahkan Israel untuk membatalkan semua upaya untuk mengubah status Jerusalem dan menganggap semua upaya itu tidak sah. Majelis juga meminta sekretaris jenderal untuk melaporkan tentang situasi di Yerusalem.

Duta Besar Ernesto Thalmann dari Swiss dipilih sebagai wakil khusus sekretaris jenderal. Dia melaporkan bahwa "dijelaskan tanpa keraguan sama sekali bahwa Israel tengah mengambil setiap langkah untuk menempatkan bagian-bagian kota yang tidak dikontrol oleh Israel sebelum Juni 1967 di bawah kekuasaannya... Para pejabat Israel menyatakan secara tegas bahwa proses integrasi tidak dapat diubah dan tidak dapat dirundingkan."

Meskipun Menteri Luar Negeri Israel Abba Eban meyakinkan PBB tidak mencaplok Yerusalem Timur Arab, pencaplokan merupakan akibat praktis dari aksi-aksinya. Untuk selanjutnya, Yerusalem Timur Arab dihubungkan dengan pasokan air Israel dan, seluruh kota dianggap oleh Israel seakan-akan bagian integral dari negara Yahudi.

Baru setelah 30 Juli 1980 Israel secara resmi dan terbuka mencaplok seluruh Yerusalem dengan menyatakan bahwa "Seluruh Yerusalem adalah ibukota Israel." Dengan menetapkan ordonansi itu sebagai "hukum dasar," Knesset memberinya peringkat konstitusional-semu.

Tindakan itu diambil satu hari setelah Majelis Umum PBB mengadakan pemungutan suara bagi Palestina dan penarikan mundur Israel dari seluruh wilayah pendudukan, termasuk Yerusalem Timur Arab.

Pencaplokan itu merupakan patok yang menandai perjuangan panjang oleh Israel melawan tentangan masyarakat dunia atas dikuasainya seluruh kota Yerusalem oleh Israel. Meskipun pencaplokan itu menimbulkan kegemparan internasional, Israel tetap menolak untuk mundur dan mempertahankan cengkeramannya atas Kota Suci itu.

Proyek Al Quds

Tak berhenti di sini. Israel juga berambisi membangun Al Quds Raya dengan menganggarkan dana sebesar 4 miliar shekel atau setara dengan Rp15,7 triliun (1 shekel setara dengan Rp3.915) selama lima tahun sejak 2022. 

Israel berencana membangun Al Quds Raya seluas 840 kilometer persegi atau sekitar 15% dari total wilayah Tepi Barat.

Di zona area kota timur Al Quds, Zionis Yahudi membangun kendali berupa 11 perkampungan Yahudi yang dihuni 190 ribu Yahudi di seputar kota Baldah Qadimah di mana masjid al Aqsha berada. 

Kendali yang lebih besar lagi juga dibangun di seputar al Quds berupa 17 kompleks permukiman Yahudi, sebagai upaya untuk memutus al Quds dari wilayah Arab Islam sekitarnya. "Untuk selanjutnya memutus jalan apapun untuk kompromi damai yang memungkinkan mengembalikan al Quds atau wilayah timur al Quds kepada Palestina," kata Muhsin Muhammad Shaleh. 

Menurut kalkulasi pada tahun 2000, wilayah Al Quds dihuni sekitar 650 ribu jiwa. Mereka terdiri 450 ribu orang Yahudi dan 200 ribu Arab Palestina yang hampir seluruhnya tinggal di al Quds Timur. Lantaran aktivitas penggusuran dan pemaksaan, Zionis Yahudi menguasai 86% wilayah al Quds dan hanya 4% saja yang tersisa bagi orang Arab Palestina, sedang yang 10% sisanya orang-orang Palestina dilarang menggunakannya karena disediakan untuk proyek-proyek Yahudi. 

"Data ini mengisyaratkan betapa bahayanya proyek yahudisasi terhadap kota al Quds. Padahal pada awal penjajahan Inggris di Palestina pada tahun 1918 orang-orang Palestina memiliki 90% wilayah al Quds," ujar Muhsin Muhammad Shaleh. 

Pada tahun lalu, Kegubernuran Al-Quds melaporkan bahwa otoritas Israel telah menyetujui 32 rencana permukiman baru di Kota Suci tersebut, selama paruh pertama tahun 2022. Rencana tersebut termasuk proyek untuk mengubah fitur perumahan di Al-Quds dengan mengalokasikan anggaran untuk rencana lima tahun sebesar 4 miliar shekel. 

Selain itu, rencana juga mencakup sebuah proyek kawasan Tembok Al-Buraq senilai 35 juta dolar dan kawasan Bab Al-Khalil dengan 40 juta shekel. Kegubernuran menunjukkan bahwa jumlah anggaran diperkirakan sebesar 514 juta shekel. Anggaran tersebut juga mereka alokasikan untuk memperkuat cengkraman Israel pada sektor pendidikan di Al-Quds Timur. 

Di samping itu, mereka juga menyetujui pembangunan sekitar 22.000 unit permukiman baru di banyak permukiman di dalam dan pinggiran Al-Quds. Laporan menunjukkan bahwa otoritas Israel, selama paruh pertama tahun 2022, terus bergerak maju melanjutkan penyelesaian tanah kota Al-Quds. Rencana diperkirakan akan berakhir pada 2025 dengan tujuan merebut tanah ibukota Palestina. 

Sejalan dengan itu, otoritas Israel juga sedang melanjutkan penggalian di sekitar masjid Al-Aqsa. Retakan dan batu-batu terus berjatuhan di berbagai bagian masjid Al-Aqsa. Penggalian merupakan proyek pembangunan untuk empat terowongan yang Israel gali di bawah pemukiman Bukit Prancis, di Gunung Scopus, Al-Quds. 

Terowongan yang mereka bangun menggunakan alat mekanis atau ledakan terkontrol ini akan menghubungkan pemukiman Israel yang terletak di Lembah Yordan dan Ma’ale Adumim dengan barat kota, kemudian dari sana ke Tel Aviv melalui jalan pintas 443.

Sejak lebih dari 2021 yang lalu, otoritas Israel memulai pembangunan terowongan ini dan berharap akan selesai pada tahun 2024. Empat terowongan ini mencakup total panjang sekitar 4,4 km dan kedalaman sekitar 40 meter. 

Bassam Bahr, seorang spesialis dalam urusan pemukiman, mengatakan bahwa pembangunan terowongan bertujuan untuk melayani pasukan dan pemukim Israel. Bukan untuk membebaskan warga Palestina, seperti yang Israel klaim, tetapi untuk memisahkan orang Palestina dari pemukim Israel.

Menurut surat kabar Ibrani, Kol Ha’er, proyek tersebut adalah salah satu proyek transportasi dengan anggaran terbesar yang Israel laksanakan di Al-Quds (Yerusalem) dalam beberapa tahun terakhir. Adapun biaya proyek terowongan ini yaitu sekitar 1,2 miliar shekel. 

Pemerintah Israel di kota setempat menjelaskan bahwa proyek tersebut sedang mereka laksanakan di salah satu persimpangan pusat dan tersibuk di Al-Quds (Yerusalem), yang merupakan persimpangan dengan puluhan ribu kendaraan lalu-lalang setiap hari.

Pada 30 Juni 2022 lalu, otoritas Israel juga mengumumkan pendirian pusat olahraga besar di tanah Beit Hanina, utara Al-Quds. Pusat olahraga tersebut dibangun di atas lahan seluas 5.000 meter persegi, dengan biaya US$20 juta. Saat ini, masih banyak lagi proyek yang sedang Israel gencarkan. Proyek pembangunan ini dilakukan dengan cara merusak, menghancurkan rumah, dan mengusir orang Palestina.

Dunia seakan diam menyaksikan tingkah Israel ini. Inilah yang membuat Hamas mencari perhatian, kendati harus dibayar mahal rakyat Palestina di Gaza. 

Para pemimpin tinggi Hamas justru menginginkan perang permanen dengan Israel untuk menopang perjuangan Palestina yang hingga kini masih diduduki. Anggota badan pimpinan tertinggi Hamas, Khalil al-Hayya, mengungkap misi perang dengan Israel sekarang ini adalah mengangkat masalah Palestina, yang menurutnya mulai dilupakan oleh dunia internasional. 

 “Kami berhasil membawa kembali masalah Palestina ke meja perundingan, dan sekarang tidak ada seorang pun di kawasan ini yang merasa tenang,” katanya, yang berbicara dari Qatar sebagaimana dilaporkan New York Times.

Para petinggi Hamas juga menyatakan sedikit keinginannya untuk memerintah Gaza atau menyediakan layanan penting bagi rakyatnya. “Saya berharap keadaan perang dengan Israel akan menjadi permanen di seluruh perbatasan dan dunia Arab akan mendukung kami,” kata Taher El-Nounou, penasihat media Hamas. 

Dia menambahkan bahwa tujuannya bukan untuk menjalankan Gaza, melainkan untuk menyediakan air, listrik, dan sejenisnya. “Hamas, Qassam, dan kelompok perlawanan membangunkan dunia dari tidur nyenyaknya dan menunjukkan bahwa masalah ini harus tetap didiskusikan,” katanya. “Pertempuran ini bukan karena kami menginginkan bahan bakar atau pekerja. Pertempuran ini tidak bertujuan untuk memperbaiki situasi di Gaza. Pertempuran ini bertujuan untuk menggulingkan situasi sepenuhnya.” @

 

1790

Related Post