Bangsa Ini Terlalu Besar, Rocky Gerung: Mungkin Bisa dengan Sistem Federal
Jakarta, FNN - Pasti banyak orang yang berpikir kenapa Rocky Gerung selama ini selalu kritik sana kritik sini tentang Indonesia sehingga orang pasti inggin tahu Indonesia yang seperti apa yang dibayangkan oleh Rocky Gerung. Oleh karena itu, sebagai refleksi, Rocky Gerung Official edisi Sabtu (26/11/22) kali ini membahas hal tersebut bersama Rocky Gerung sendiri dan dipandu oleh Hersubeno Arief, wartawan senior FNN.
“Ya, sering kita masuk di dalam moment-moment di mana kita mesti melakukan semacam evaluasi terhadap keadaan. Masalahnya adalah hari ini kita mau ukur berdasarkan ideal yang mana,” ujar Rocky Gerung.
Menurutnya, kalau kita berbicara ideal dari negeri ini, kita kembali pada janji proklamasi, kita kembali pada mukadimah Undang-undang Dasar di mana Indonesia yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi, dan lain-lain yang kemudiann dirumuskan sebagai keadilan dan kemakmuran. Itu fungsi yang diwajibkan oleh konstitusi supaya dijalankan oleh pemerintah. “Cerdaskan bangsamu, pelihara fakir miskin,” ujarnya.
Jadi, menurut Rocky, perintah konstitusi itu jelas bahwa kita ingin Indonesia itu cerdas dan tidak ada kesenjangan. Sebetulnya ini hal normatif, tapi hal yang normatif ini gagal diwujudkan. Bahkan ketika seorang pemimpin justru datang dari kalangan biasa. Dia bahkan tidak paham apa yang disebut penderitaan rakyat. Padahal, dulu, Bung Karno paham benar penderitaan rakyat karena beliau ada bersama dengan rakyat ketika revolusi kemerdekaan.
Demikian juga Pak Harto yang juga paham apa yang disebut rakyat karena dia karena beliau ada di dalam barisan perintis kemerdekaan. Tetapi kemudian Pak Harto lupa bahwa kekuasaan itu seharusnya menghasilkan rasa damai dan rasa aman. Tetapi, karena Pak Harto terlalu teknokratis maka dia merasa bahwa waktu itu belum saatnya Indonesia berdemokrasi, meski di awalnya ada kebebasan.
Tapi kemudian, lanjut Rocky, Pak Harto mulai mengendalikan politik dengan memasukkan militerdi semua struktur pemerintahan dan Gubernur di masing-masing provinsi ditunjuk langsung. Tetapi, Pak Harto berhasil membuat Indonesia tidak politik identitas, misalnya Gubernur orang Jawa ditempatkan di Papua, tidak kedaerahan, dan tidak memasukkan unsur sara.
Setelah itu kemudian berubah menjadi reformasi. Tetapi Pak Harto meninggalkan sesuatu yang bagus, yaitu dimulainya pembangunan ekonomi dengan ongkos hak asasi manusia tentunya. Ada pertumbuhan ekonomi, tapi stabilitas politik dikendalikan. Pengendalian itu yang kemudian pecah di era reformasi.
Yang terjadi sekarang kata Rocky adalah pengkerdilan demokrasi. "Jadi demokrasi bukan bertumbuh tapi sekadar menggemuk, tidak ada pertumbuhan nilai yang kualitatif, bahkan etika politik runtuh," lanjut Rocky.
Rocky menegaskan bahwa kalau dirinya ditanya apa yang menjadi konsennya, ia mengaku ingin menghidupkan kembali janji kemerdekaan itu. "Tetapi, saat sekarang, itu tidak dimungkinkan karena fasilitas untuk menghasilkan kembali Indonesia, terhalang oleh permainan politik yang sangat kotor,” tegas Rocky.
Menurutnya, seringkali kemampuan bangsa ini untuk bercakap-cakap dalam kesederhanaan justru dibikin rumit dengan kalkulasi macam-macam. “Jadi, sebetulnya, kita bikin refleksi hari ini dalam upaya untuk mengetuk sejarah, supaya sejarah kasih kita kunci untuk membuka kembali ruang yang ditutup oleh politik. Jadi, demokrasi akhirnya dijajah oleh politik,” tandasnya.
Lebih jauh Rocky menegaskan bahwa Indonesia yang ideal adalah Indonesia yang dituntun berdasarkan etika politik. Kemudian kita bisa lihat mana yang sebetulnya bisa diperbaiki melalui undang-undang.
"Inti konstitusi adalah kedaulatan rakyat. Sekarang kedaulatan rakyat tidak bisa dimandatkan pada partai," paparnya.
Jadi kalau ada yang berpikir kembali pada konsitusi UUD ‘45, dia setuju, tetapi kita mesti pastikan bahwa kita ada di dalam keadaan demokrasi sekarang yang tidak memungkinkan kita mengembalikan sistem MPR, karena artinya kita kembali pada orde baru. Tapi. Tentu ada pakar-pakar yang melihat dengan cara lain.
“Tapi saya beranggapan bahwa kembali pada UUD ’45 itu sekadar penyelesaian gampangan sebetulnya. Karena masalahnya bukan di Undang-undang, tetapi demokrasi yang tidak bisa diucapkan melalui prinsip-prinsip kesejahteraan, jaminan hak, dan segala macam,” ujar Rocky.
Jadi, lanjut Rocky, formula untuk kembali ke UUD ’45 kurang sempurna sebetulnya, karena itu sekadar membuat kita gembira kembali ke itu, sementara hal itu tidak akan menyelesaikan soal.
Yang kedua, menurut Rocky, bangsa ini terlalu besar. "Mungkin bisa dibuat yang sederhana dengan sistem federal, misalnya. Kan sudah ada konsesus semacam otonomi daerah. Itu artinya, kekuatan DPD harus dimaksimalkan sebagai senator, supaya dia bisa membuat Undang-undang atas nama dirinya untuk kepentingan daerah," paparnya.
Tetapi, sekarang DPD seperti dikerdilkan. Padahal, kalau sistem ekonomi daerah dimaksimalkan maka Indonesia harus berubah menjadi negara federal. Tapi orang taku nanti pecah, padahal tidak juga. Ini hanya untuk mengatakan bahwa sistem itu bisa lebih luwes kalau dibuat dengan tidak kaku. Negara “kesatuan” itu terlalu kaku, mustinya negara “persatuan”, persatuan dari wilayah-wilayah kedaerahan yang memang di dalamnya ada potensi ekonomi dan ada potensi kemajemukan.
“Jadi, wacana untuk kembali ke UUD ’45 juga harus dibuka wacana untuk negara federal,” usul Rocky. Jadi, secara teknokratik negara ini terlalu besar untuk hidup berdampingan sehingga selalu ada perselisihan. Sekarang berupaya untuk memekarkan Papua dalam rangka mendistribusikan keadilan. “Ya sekalian saja diperbanyak saja negara-negara bagian itu,” katanya. (Ida)