Beda Kelas Jauh: Kepala BRIN Kok Bandingkan dengan Habibie, Mendag dengan Pak Harto

PENGAMAT Politik Rocky Gerung mengatakan, kalau sebuah pemerintah itu membandingkan dirinya dengan yang lalu itu artinya nggak ada kepercayaan diri pemerintahannya itu.

“Kalau yang membanding-bandingkan akademisi, itu masuk akal. Tapi, kalau pelakunya yang membandingkan kan ngacau. Padahal, nggak ada cara yang lebih masuk akal daripada mengakui bahwa memang tidak berprestasi,” ujar Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Senin (26/9/2022).

“Jadi, berakar di situ kecemburuan pada orang lain sebenernya. Jadi, sekali lagi, menteri-menteri ini sudah diem sajalah, karena memang mereka nggak bisa kerjanya,” lanjutnya saat dialog dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief.

Berikut petikan dialog lengkapnya.,

Halo halo Bung Rocky. Ini Background-nya beda nih, suasananya. Kelihatannya nggak di tempat yang biasa Bung Rocky.

Oh, iya, saya lagi di Tokyo. Ada seminar soal lingkungan, soal energi alternatif. Kelihatannya soal-soal biomassa itu menjadi favorit isu dunia sekarang. Tahun ini dibicarakan di sebuah forum di Tokyo dan saya diundang untuk jadi pengamat, bukan jadi pengusaha. Kan ada pengusahanya, pengusaha cangkang dan ada researcher. Jadi begitu kira-kira.

Cangkang sawit ya ini maksdunya?

Cangkang bekas batok-batok sawit. Cangkang sawit. Jangan banding-bandingkan antara insiden cangkang. Ada orang yang hanya cangkangnya doang. Itu bedanya. Kalau cangkang sawit masih berguna tapi kalau cangkang kepala atau batok kepala kadangkala nggak berguna karena, bahkan, isinya nggak ada.

Ini saya perhatikan orang memang lagi senang membanding-bandingkan. Kemarin setelah sekian lama pendukung Pak Jokowi selalu membanding-bandingkan dengan Pak SBY, sekarang giliran demokrat melalui AHY mulai membandingkan kinerja bangunan di masa Pak SBY dengan Pak Jokowi yang dianggap Pak Jokowi itu tinggal gunting pita.

Kan pernah juga di Jakarta Pak Anies di Jakarta juga dikatakan tinggal gunting pita pada proyeknya Pak Jokowi dan Ahok.

Tapi yang tidak menarik justru Kepala Badan Riset dan Inovasi (BRIN), Laksana Tri Handoko, yang kini sedang menjadi sorotan karena dia juga membanding-bandingkan dengan eranya Pak Habibie yang katanya jangan diulang lagi.

Terus, yang terakhir ini yang lagi ramai juga tentang Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan yang menyinggung soal beras dalam negeri yang sekarang ini jauh lebih bagus dibandingkan dengan zaman Pak Harto. Ini saya jadi ingat tentang penyanyi Farel Prayoga, Ojo Dibanding-bandingke.

Kalau yang membanding-bandingkan akademisi, itu masuk akal. Tapi kalau pelakunya yang membandingkan kan ngacau itu. Makanya, kalau Pak SBY membandingkan dengan Pak Jokowi nggak boleh sebetulnya.

Biarkan pengamat yang membandingkan. Demikian juga Pak Jokowi jangan membandingkan dengan Gajah Mada. Jadi, sebetulnya itu biasa saja analis membandingkan prestasi Pak Harto di bidang swasembada pangan dan Pak Jokowi entah swasembada apa itu kan.

Jadi, sebetulnya kalau ada riset itu boleh dibandingkan, tapi kalau dari menteri perdagangan langsung bikin perbandingan ngapain. Memang dia researcher.

Datanya. Oh iya, datanya ada, tapi bukan datanya yang dibandingkan tapi kebijakannya. Jadi, kalau sekarang ini menteri-menteri Pak Jokowi mulai membanding-bandingkan itu tanda nggak percaya diri. Jadi, kalau sebuah pemerintah membandingkan dirinya dengan yang lalu itu artinya nggak ada kepercayaan diri pemerintahannya itu.  

Yang boleh membandingkan itu researcher-nya atau penelitinya. Kalau ada kalangan kampus membandingkan ya masuk akal. Kalau pemerintah Jokowi membandingkan dengan SBY pasti Pak Jokowi membesar-besarkan dirinya. Kan nggak mungkin Pak Jokowi bilang oh Pak SBY lebih bagus dari kita tuh, Pak Harto lebih bagus dai kita. Nggak bisa itu pasti. Jadi dari awal itu sudah pasti buyers.

Pertanyaannya, kenapa musti membandingkan? Kan yang penting dipercaya. Jadi, dibandingkan pun kalau faktanya nggak ada ya emak-emak bisa bilang yang zaman Pak Harto memang lebih bagus kok. Tersedia bahan pokok. Lalu dibilang enggak emak-emak, Pak Harto lebih buruk.

Kalau begitu sekarang tersedia dua kali lipat dibanding Pak Harto dong. Ada juga. Jadi itu yang seringkali kita anggap nggak ada kerjaan rezim ini. Mencari pembenaran dengan membandingkan.

Tapi justru dari situ sebagai pengamat kita mencium adanya sebuah indikator itu ya, mengapa kok tiba-tiba sering bener memunculkan perbandingan. Itu kan jadi seperti yang Anda sebut tadi: Satu kepercayaan diri yang rendah. Yang kedua, dia ingin memberikan justifikasi.

Itu kayak anak kecil saja kan. Dia bikin salah tapi bilang ya tapi lo salahnya lebih gede. Padahal, nggak ada cara yang lebih masuk akal daripada mengakui bahwa memang tidak berprestasi.

Kan dicatat dalam statistik dunia bahwa Indonesia nggak tumbuh. Apalagi, kalau perbandingannya itu dipakai yang dari Pak Jokowi, bahwa 7% lalu 10% meroket. Oke, mungkin dikortinglah karena ada covid dan sebagainya dan pandemi masih berlangsung.

Global supply change-nya macet. Tapi bukan dengan cara membandingkan, tapi akui saja. Kalau mau membandingkan misalnya membandingkan jumlah investasi di bidang pertanian antara Indonesia dan Vietnam lalu lihat, mana yang berhasil. Bukan dengan membandingkan dengan Pak Harto, itu nanti diketawain Pak Harto dari alam baka.    

Ya, mari kita bersikap adil. Begitu ya Bung Rocky. Mari kita membuat penilaian karena kan kelihatannya mereka membanding-bandingkan itu karena ingin mengunggulkan mereka sendiri. Kalau saya lihat ini lebih pada Pak Zulkifli Hasan karena beliau kan seratus hari kinerjanya.

Jadi beliau itu ingin memberikan semacam atau menyampaiakn keberhasilan programnya dia. Tapi orang kemudian tidak bisa lepas menilai bahwa ini merupakan bagian dari pemerintahan Jokowi.

Memang itu. Kalau membandingkan ya menteri yang sekarang dengan menteri sebelumnya yang habis dipecat. Kan begitu mustinya.

Jadi kalau rakyat ternyata menemukan bahwa oh ya, yang dilakukan oleh menteri sekarang, itu artinya PAN lebih bagus dari menteri sebelumnya yang dari PKB. Berarti, elektabilitas PAN lebih tinggi dari PKB. Nggak ada juga itu.

Jadi, nggak ada gunanya bikin perbandingan kalau sekadar mau bikin raport. Itu raport-nya dia tulis sendiri akhirnya tuh. Pak Zulkifli Hasan bisa menulis sendiri raport-nya itu, yang sebetulnya merah terus dikasih tinta biru.

Padahal, sebetulnya hal yang paling masuk akal, yang paling kasat mata yaitu melambungnya harga-harga. Bagaimana mumgkin kita bisa bandingkan Pak Harto yang pernah swasembada dengan yang sekarang yang impor terus. Itu saja sudah lain bedanya kan?

Jadi, kita musti importir beras. Jadi, hal-hal semacam itu yang nggak masuk akallah. Mungkin Pak Mendag sekarang lagi frustasi, sehingga apa yang mau dibandingkan ya sudah tiba-tiba dapat ide.

Di luar Pak Zulkifli Hasan tadi ada juga Pak Kepala BRIN yang sekarang sudah mulai membandingkan dengan pada era Pak Habibie. Dan, beredar videonya yang dikomentari oleh Fadli Zon. Jadi, ini saya kira bukan gejala pada Pak Zulkifli Hasan tapi juga gejala pada pejabat di pemerintahan ini.

Jadi, berakar di situ kecemburuan pada orang lain sebenarnya. Berupaya untuk bercermin lalu dia anggap dia cantik. Padahal di belakang cermin itu diketawain sama genderuwo yang di belakang cermin.

Ngapain muji-muji diri sendiri. Tetapi ini sudah saatnya kita beri semacam peringatan agar berhenti membanding-bandingkan, mulailah dengan prestasi sendiri, kan itu sebetulnya.

Dan, Pak Jokowi akhirnya akan membanding-banndingkan antara dirinya dengan Pak Jokowi sebelumnya kan? Kan Jokowi periode pertama dan Jokowi periode kedua. Akhirnya begitu perbandingannya. Lalu apa sih?

Ya sama-sama Jokowi. Jadi intinya seperti itu. Kalau orang bilang ya Jokowi periode pertama gagal memberi janji janji, periode kedua lebih gagal lagi kan. Kan kalau di awal sudah gagal ya di ujung juga gagal. Sekarang malah masih memaksa.

Tapi, kita mau kasih beban baru pada pemerintahan ini saja untuk menjawab tuntutan kenaikan harga. Itu saja. Dasar itu saja sebetulnya sudah nggak bisa itu. Jadi, mau membandingkan dengan Pak Harto ya Pak Harto tetap pelihara stabilitas harga.

Nggak pernah ada harga yang naik di zaman Soeharto. Dan, itu yang orang ingat bahwa semua ketersediaan kebutuhan pokok tersedia di zaman Pak Harto. Bensin nggak ada yang naik gila-gilaan. Sembilan bahan pokok itu diterangkan setiap hari oleh ahlinya.

Kalau sekarang siapa yang mau terangkan bahwa ada stabilitas 9 bahan pokok. Dan itu tidak mungkin kita percaya bahwa ada hal yang bagus yang harus diperlihatkan oleh pemerintahan Pak Jokowi. Jadi, sekali lagi, menteri-menteri ini sudah diem sajalah, karena memang nggak bisa kerjanya. Yang bisa kerja cuma satu orang, namanya LBP.

Jadi, nggak ada kemungkinan lagi kita memperbaiki diri karena orang yang mampu memperbaiki diri, coba lihat Pak Zulkifli Hasan sudah berapa lama jadi menteri, dan nggak ada hasilnya.

Sekarang stabiltas politik nggak ada, pertumbuhan ekonomi nggak ada, lalu orang cari-cari cara untuk menjagokan diri atau memuji-muji dirinya sendiri. (Ida/sws)

422

Related Post