Berebut Anies Baswedan, Ganjar, Puan, Andika, AHY, dan Siapa Lagi?

Hersubeno Arief Point: Berebut Anies.

Jakarta, FNN – Siapa kandidat lain sebagai Capres dan Cawapres pada 2024 nanti? Ketum DPP Partai NasDem Surya Paloh misalnya, sudah menjajakan Anies Baswedan ke Presiden Joko Widodo untuk dipasangkan dengan Ganjar Pranowo. Ganjar sebagai Capresnya dan Anies sebagai Cawapresnya.

“Sementara mantan Cawapres Yusuf Kalla juga secara intensif menjajakan Anies untuk dijodohkan berpasangan dengan Puan Maharani, kali ini Anies sebagai Capres dan Puan Maharani sebagai Cawapres,” kata wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Jum’at (3/6/2022).

Sebelumnya banyak juga pengamat yang menjodohkan Anies dengan Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa atau dengan Ketum DPP Partai Demokrat Agus Harymurti Yudhoyono (AHY). Menurut Hersubeno, alasan menjodoh-jodohkan Anies ini tampaknya tak lepas dari beberapa fakta.

Pertama adalah elektabilitas Anies yang selalu ada di jajaran teratas para kandidat yang tengah dielus-elus mejadi Capres. Bahkan, terakhir ini Kompas membuat survei di media sosial menyebutkan bahwa posisi Anies itu teratas. Sentimen positif dan negatif yang cukup berimbang.

Yang kedua ini alasannya adalah basis representasi, apa boleh buat Anies itu sampai sejauh ini masih tetap diposisikan sebagai representasi umat Islam. “Representasi kanan, karena itu dia perlu dipasangkan dengan mereka yang diposisikan merepresentasikan kalangan nasionalis,” lanjutnya.

Dalam soal representasi ini masuk juga kriteria Jawa-Non Jawa. Dan, bahkan dalam kasus Andika atau AHY itu juga dimasukkan representasi atau sesuai presentasi Sipil dan Militer.

Yang menarik, menurut Hersubeno, sampai sejauh ini belum muncul nama Anies dipasangkan dengan Prabowo Subianto, ini beda sekali dengan Pilpres 2019 lalu saat Prabowo waktu itu melamar Anies, bahkan sampai 3 kali Anies dilamar menjadi Cawapres.

“Tapi Anies bertahan tetap melanjutkan jabatannya sebagai Gubenur DKI dan kemudian seperti yang sama-sama kita ketahui yang dipilih Prabowo menjadi Cawapresnya adalah Sandiaga Uno,” ujar Hersubeno.

Dalam beberapa simulasi yang dilakukan oleh lembaga survei justru Anies ini kalau sama Prabowo diposisikan sebagai kompetitor dari Prabowo dan yang menarik Anies ini lebih unggul kalau dipasang-pasangkan berhadapan dengan Prabowo.

Hersubeno menyebut, sudah sejak lama sesungguhnya Anies ini diposisikan sebagai kandidat penantang dari kalangan oposisi dan umat Islam dan itu dua image yang melekat kuat pada diri Anies.

Sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies itu dihadapkan face to face dengan rezim Pemerintahan Jokowi, sehingga dia dianggap sebagai matahari kembar bersama dengan Jokowi.

Kondisi ini tampaknya merupakan residium dari Pilkada DKI pada 2017 yang kemudian berlanjut pada Pilpres 2019. Posisi itu tidak juga berubah. Setelah Prabowo dan Sandiaga masuk dalam kabinet Jokowi yang terjadi sebaliknya, malah perkubuan itu semakin mengental dan hubungan oposisi dengan umat Islam terhadap Anies Baswedan juga semakin militan.

“Posisi Anies ini jika kita lihat ke belakang sesungguhnya memang sangat unik ya. Tadi melihat latar belakang Anies yang sebelumnya dia pernah menjadi tim sukses bahkan dia menjadi juru bicara Jokowi pada pilpres 2014,” lanjutnya.

 Anies bahkan kemudian diganjar Jokowi dengan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada periode pemerintahan pertama Jokowi. Hanya, jabatan itu tidak bertahan terlalu lama, Anies di-reshuffle di tengah jalan.

Saat hanya baru nganggur beberapa bulan, terjadi Pilkada DKI 2017 tiba-tiba saja dia kemudian dipasangkan dengan Sandiaga Uno berhadapan dengan pasangan yang diusung oleh PDIP dan Jokowi, yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat.

“Ada calon lainnya, yakni AHY dengan Silvia Murni. Tetapi perkubuan itu yang sangat kelihatan adalah Anies-Sandi berhadapan dengan Ahok-Djarot,” tutur Hersubeno.

Karena itu sangat menarik ketika tiba-tiba saja Surya Paloh membawa nama Anies ke Jokowi untuk dipasangkan dengan Ganjar. Pertemuan berlangsung tanggal 24 Mei lalu, tetapi Surya Paloh menolak membenarkan bahwa dia menyodorkan nama Anies berpasangan dengan Ganjar sebagai cawapresnya Ganjar.

“Tetapi soal ini dibenarkan oleh petinggi Nasdem yang dikenal sebagai orang dekat dari Surya Paloh, yakni Sugeng Sumarwoto Ketua Komisi 7 di DPR RI yang menyatakan bahwa sampai saat ini mereka punya sejumlah opsi tetapi pasangan Ganjar Pranowo dengan Anies ini adalah opsi yang terbaik,” ujarnya.

Begitu juga dengan langkah pudar dari Yusuf Kalla, dia menyodorkan nama Anies untuk berpasangan dengan Puan Maharani. Jadi, kalau dalam hal ini Anies menjadi Capres dan Puan Maharani sebagai Cawapres. Kedua-duanya punya alasan yang sama untuk mengakhiri pembelahan yang terjadi dalam masyarakat kita, itu alasan yang muncul ke permukaan.

Hersubeno mengatakan, di luar itu pasti ada kalkulasi-kalkulasi lain yang tidak dikemukakan.

“Namun sesungguhnya kita sebenarnya bisa menduga-duga satu hal yang hampir dapat saya pastikan, kalau kalkulasi kepentingan itu, baik secara politis maupun ekonomis menjadi faktor yang lebih berkepentingan (lagi jika) dibandingkan dengan alasan-alasan etis yang terdengar sangat mulia tadi,” ujarnya

Karena kalau mau jujur ini sebenarnya banyak politisi sebenarnya mengeruk keuntungan dari pembelahan ini, baik dari politisi atau partai-partai politik yang berada di kiri maupun kanan. “Mereka sebenarnya kalau pembelahan ini bisa menjadi status hukum mereka tetap diuntungkan. Tapi soal ini nantilah kita bahas,” sindir Hersubeno.

Mari kita bahas peluang-peluang kemungkinan terjadinya koalisi dan pasang memasang Capres-Cawapres tersebut, basis analisis kita tetap menggunakan asumsi bahwa presidential threesold 20% itu akan tetap diberlakukan.

Dengan komposisi partai di parlemen ini total dalam perolehan suaranya itu dalam porsi total kursi di parlemen itu sekarang 576 kursi, maka ini akan muncul maksimal muncul dipasangan calon namun kemungkinan besar itu akan muncul 2 pasang calon saja ini seperti mengulang pada Pilpres 2019 dan banyak orang yang menghindari ini karena 2 pasang calon ini menimbulkan pembelahan sampai sekarang.

“Tapi saya kira kepentingan politik seperti oligarki sekarang dia masih tetap berkepentingan untuk menjadikan 2 pasang calon yang muncul itu 2 pasang calon saja. Salah satu calonnya adalah calon Boneka. Untuk itu mereka bisa memastikan siapa yang akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada 2024 yakni mereka-mereka yang tentu saja bisa kendalikan, itu maunya oligarki,” ujar Hersubeno.

Sejauh ini setidaknya kalau kita amati sudah ada 2 kubu yang punya 2 tiket untuk mengajukan calon kubu pertama jelas PDIP dengan jumlah korsi di DPR sebanyak 128 korsi, maka PDIP itu menjadi satu-satunya parpol yang bisa mengusung sendirian pasangan Capres dan Cawapres.

Jumlah tersebut sudah memenuhi persyaratan 115 kursi yakni 20% dari total 575 kursi di DPR.

Kubu kedua adalah Koalisi Indonesia Bersatu yang terdiri dari Golkar, PAN, PPP, total jumlah kursi mereka ini 148 kursi. Terdiri dari Golkar 85 kursi, PAN 44 kursi, dan PPP 19 kursi.

Di luar itu masih ada partai-partai lain yang tampaknya sekarang ini telah menjajaki koalisi Nasdem, yang punya 59 kursi, PKB 58 kursi, Demokrat 54 kursi, PKS 50 kursi, dan Gerindra 78 kursi.

Menurut Hersubeno, partai-partai lain tadi, kecuali Gerindra, mereka kalau mau berkoalisi minimal harus 3 partai. Sementara kalau Gerindra, dia cukup memilih salah satu partai ini, dia bisa memilih PKS, bisa memilih Demokrat, PKB atau Nasdem. Mereka kalau Gerindra sudah bisa menggeser 1 partai saja mereka sudah bisa mengusung calon partai sendiri.

Tapi balik lagi tadi total suara dari Nasdem, PKB, Demokrat, PKS dan Gerindra itu jumlahnya 299, secara teori ini masih bisa membentuk 2 partai lagi. Tapi, secara Kalkulasi Politik termasuk kandidat yang diusung dan tentu saja juga Amunisi yang harus disediakan ini tidak mudah. Jadi, logikanya memang maksimal itu hanya 3 pasangan.

“Yang menarik kalau kita bicara Gerindra ini selama ini ada kesan kuat bahwa Gerindra akan berkoalisi dengan PDIP mengusung Prabowo-Puan. Namun, ini tampaknya rencana koalisi itu sampai sekarang ini masih cair,” lanjutnya.

Munculnya nama Anies yang kemudian dipasangkan dengan Puan dan adanya pertemuan makan siang antara Surya Paloh dan Prabowo, mengindikasikan hal itu.

Prabowo mengaku dia diundang makan siang oleh Surya Paloh tetapi kepada media dia hanya mengatakan ini kangen-kangenan alumni dari Golkar. “Saya kira pasti gak seperti itulah, dan kalau dia sudah ada kesepakatan yang kuat dengan PDIP mungkin Gerindra tidak perlu lagi pertemuan-pertemuan politik dengan partai lain termasuk pertemuan dengan partai Nasdem itu,” ungkap Hersubeno.

Mari kita lihat dengan peta politik tadi bahwa kubu KIB itu yang menyatukan Golkar, PPP dan PAN ini diduga kuat akan menjadi kendaraan yang digunakan Jokowi atau Proxy Jokowi dalam, hal ini Ganjar untuk maju sebagai Capres.

Dugaan itu semakin kuat dengan langkah Surya Paloh menemui Jokowi dan menawarkan Ganjar berpasangan dengan Anies sebagai Capres dan Cawapres. Artinya, kalau tawaran itu disepakati, maka Nasdem akan bergantung dengan Golkar, PAN dan PPP. Yang tersisa tinggal Gerindra, PKB, Demokrat, dan PKS.

Mereka masih bisa membentuk koalisi baru. Jika memang benar Anies akan dipasangkan dengan Puan, maka terbuka peluang PKS itu bergabung dan berkoalisi dengan PDIP. Sebab, sebenarnya banyak sekali konstituen PKS ini yang mendukung Anies dan mereka bisa menerima kalau posisi Anis sebagai Calon Presiden, bukan Cawapres.

“Anda pasti bilang, gak mungkin terbentuk koalisi PDIP dengan PKS secara politik tidak akan bertemu, seperti minyak dan air. Tapi namanya juga politik, kita tidak pernah tahu yang jelas kalau Anda pastikan di level daerah banyak terjadi. PKS bisa berkoalisi dengan PDIP mengusung kepala daerah, mereka berkualisi,” ungkap Hersubeno.

Dengan begitu kalau terwujud koalisi PDIP dengan PKS yang tersisa tinggal Gerindra, Demokrat, dan PKB. Kalau koalisi ini terbentuk, siapa yang jadi Capres dan Cawapres, posisi Prabowo pasti tidak bisa ditawar-tawar tidak mungkin dia menjadi Cawapres dari AHY atau Muhaimin Iskandar.

Nih kan Muhaimin berkali-kali menyatakan bahwa dia siap bergabung dengan KIB atau koalisi lain selama dia menjadi Cawapresnya. Saya kira ini hanyalah (tawaran) tinggi saja dari Cak Imin,” tambahnya.

Selanjutnya Muhaimin dengan AHY pasti juga sangat sulit saling mengalah, kalau kemudian misalnya yang menjadi Cawaprees dari Prabowo itu adalah Muhaimin atau sebaliknya AHY sebagai Cawapres.

Perlu juga dicatat bahwa dengan kasus hukum yang membelit Cak Imin ini dia dengan mudah di-blackmil dan dipaksa oleh Jokowi untuk bergabung dengan KIB.

Kalau PKB akhirnya bergabung dengan Golkar, PPP dan Nasdem itu maka yang tersisa tinggal Gerindra dan Demokrat. Jumlah kursi mereka itu sudah mencukupi, Gerindra punya 78 kursi, Demokrat 54 kursi. Jadi total 132 kursi. Hanya masalahnya pasangan Prabowo AHY apakah bisa menarik pemilih, dan yang lebih penting lagi menarik investor politik.

Sementara bila Gerindra memutuskan tetap berkoalisi dengan PDIP dan tetap mengusung Prabowo-Puan, maka dukungan Anies-Puan itu menjadi buyar, jadi tinggal peluang Anies menjadi Cawapresnya. Begitu posisi Anies kalau kita membaca peta hari ini.

Jadi sesungguhnya manuver para ketua umum partai dan elit politik saling bertemu kemudian menjajakan para calon-calonnya, mencoba memasang-masangkan ini menunjukkan kepada kita bahwa peta koalisi saat ini masih sangat cair.

Biasa menjodoh-jodohkan para kandidat dengan basis representasi akan bisa menyatukan bangsa yang terbelah saat ini. “Saya kira patut dihargai, namun harus diakui itu tidak semudah membalik tangan,” ujar Hersubeno.

Perjodohan Ganjar-Anies belum-belum sudah mendapat respon negatif dari kedua kubu pendukung ini. Sekali lagi, mengkonfirmasi adanya pembelahan yang luar biasa di tengah masyarakat kita.

Begitu juga halnya perjodohan Anies dengan Puan khusus untuk pasangan Ganjar-Anies apakah Anies bersedia menjadi corong dibandingkan dengan Ganjar atau mungkin pilihannya, Anies untuk dia tetap dipasangkan sebagai calon nomor 2 akan seperti Pilpres 2019 dia akan memilih berlaga lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta dan melanjutkan lagi program pembangunannya dia selesaikan.

Satu hal lagi yang perlu kita selesaikan dan menurut saya ini tidak perlu anda abaikan sebagai kalkulasi, yakni faktor kepentingan Oligarki yang apa boleh buat mereka punya kewenangan besar guna menentukan siapa yang menjadi kandidat mereka akan confotable buat kepentingan bisnis dan politik mereka. (mth/sws)

627

Related Post