BPR dan BPRS Diperlakukan Diskriminatif

Jakarta, FNN ---  Berbagai pelarangan dalam operasional Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) seperti dalam lalu lintas pembayaran, konsolidasi, akses terhadap permodalan, dan lainnya merupakan bentuk ketidakadilan dan diskriminatif.

Hal itu disampaikan Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri dan mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, ketika menjadi saksi ahli pemohon dalam persidangan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di Mahkamah Konstitusi, Rabu (6 Juli 2022).

Perkara Nomor 32/PUU-XX/2022 dimohonkan PT BPRS Harta Insan Karimah Parahyangan (BPRS HIK Parahyangan), diwakili oleh Martadinata selaku Direktur Utama HIK Parahyangan. Materi yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 1 angka 9, Pasal 9 ayat (2) huruf a, Pasal 13, Pasal 14 ayat (10), Pasal 21 huruf d, dan Pasal 25 huruf b dan huruf e UU Perbankan Syariah. 

Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah pada pokoknya membatasi atau melarang BPR Syariah untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Implikasinya, Pasal 21 huruf d UU Perbankan Syariah mengatur bahwa BPR Syariah tidak dapat memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah secara mandiri, melainkan hanya melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan Unit Usaha Syariah (UUS). 

Dalam sidang Pendahuluan, Rabu (6 April 2022), Ahmad Wakil Kamal selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan, pembatasan dan larangan untuk memberikan pelayanan jasa lalu lintas pembayaran membuat BPRS tidak optimal memberikan pelayanan perbankan kepada masyarakat terutama usaha mikro dan kecil (UMK) untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional berkelanjutan. 

Pada saat menjadi saksi ahli persidangan perkara ini, Faisal Basri menjelaskan bahwa semua pelaku ekonomi memiliki hak dan kewajiban setara, termasuk BPR dan BPR Syariah agar sistem peredaran uang –baik fungsi penghimpunan maupun penyaluran dana– dalam perekonomian bisa lebih optimal dan semakin menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan dunia usaha. 

Oleh karena itu, menurut Faisal Basri, sepatutnya tidak ada lagi pembatasan operasional BPRS seperti dalam  lalu lintas pembayaran, konsolidasi, akses terhadap permodalan, dan segala bentuk diskriminatif lainnya.

"Jadi BPR dan BPRS diperlakukan seperti pada zaman batu tatkala belum ada pasar, tatkala transaksi itu lewat barter.  Potensi yang ada justru dijauhkan dari rakyat. Banyak lagi diskriminasi yang terjadi yang jelas-jelas namanya bank, BPR Syariah, tetapi tidak boleh melakukan lalu lintas pembayaran," ujarnya dalam persidangan Uji Materi UU  21 Tahun 2008, Rabu (6/7/2022).

Faisal menuturkan, sektor keuangan, khususnya perbankan, dapat dianalogikan sebagai jantung di dalam tubuh manusia yang memiliki peran vital. Oleh sebab itu, perbankan yang lemah membuat gerak roda perekonomian melambat.  Penguatan peran bank dilakukan melalui peningkatan inklusi keuangan. 

Dia menambahkan, kendati mengalami peningkatan dari waktu ke waktu, indeks inklusi keuangan Indonesia masih tergolong rendah, bahkan terendah di antara negara-negara pendiri Asean atau Asean-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand). 

Faisal menambahkan, untuk meningkatkan inklusi keuangan tidak bisa hanya bertumpu pada perbankan umum, tetapi perlu mengoptimalkan potensi BPR dan BPRS. 

“Kita harus mengoptimalkan seluruh potensi yang ada. Tidak bisa hanya mengandalkan perbankan umum saja, tetapi harus mengoptimalkan BPR dan BPRS. Di sinilah peran BPR dan BPRS yang basisnya bank komunitas.”

Efisiensi Bank 

Sementara itu, Yunus Husein menjelaskan, keikutsertaan BPR Syariah dalam lalu lintas pembayaran secara terbatas diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan usaha bank dan memberikan jasa yang lebih murah, lebih banyak dan lebih cepat bagi nasabah/masyarakat. 

Selain lalu lintas pembayaran, Yunus menilai, penawaran umum dapat dipertimbangkan untuk dapat dilakukan oleh BPR Syariah guna membuka peluang yang berpotensi mengembangkan usahanya dan membutuhkan penguatan modal. 

Penyertaan modal BPR yang besar kepada BPR yang berukuran lebih kecil akan menciptakan sinergi kuat dan akan membantu BPRS yang mengalami kesulitan modal dan menyelamatkannya tanpa melibatkan dana publik di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). 

“Pembatasan BPR dan BPRS untuk tidak melakukan kegiatan lalu lintas pembayaran giral sudah berusia lebih dari 30 tahun. Adanya pelarangan ini yang memunculkan diskriminatif. Mungkin nantinya bukan dilarang, tetapi dibatasi dalam melakukan lalu lintas pembayaran. Seandainya nanti [BPR dan BPRS] diperbolehan melakukan lalu lintas pembayaran, tetap dibutuhkan rambu-rambu. Membatasi [lalu lintas pembayaran], tetapi bukan melarang sama sekali, itu dua hal beberda. Melarang itu bisa diskriminatif, mengikat orang untuk tidak bergerak. Dengan pengaturan pembatasan, ada perlakuan sama, tidak ada perlakuan diskriminatif atau pembedaan," kata Yunus.

Sementara itu, membatasi akses BPR Syariah untuk memperoleh modal melalui penawaran umum berarti membatasi BPR Syariah untuk menjaga kelangsungan dan mengembangkan usahanya. 

“Apabila permohonan pemohon dikabulkan, peranan BPRS yang berjumlah 165 dan BPR Konvensional yang berjumlah 1.464 sebagai perantara keuangan akan semakin baik,” tegasnya.

Martadinata, Direktur Utama BPRS HIK Parahyangan, menjelaskan bahwa keterangan dari kedua saksi ahli tersebut sudah sesuai dengan alasan utama dari permohonan uji materi UU Perbankan Syariah, yaitu untuk mengoptimalkan peran BPR Syariah di Indonesia dalam menyalurkan pembiayaan kepada UMK di Tanah Air. Pasal 1 (9), Pasal 21 (d) dan Pasal 25 (b) UU Perbankan Syariah pada pokoknya membatasi atau melarang BPR Syariah untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran. 

"Hal ini juga dapat membantu peran otoritas khususnya Bank Indonesia dan OJK dalam penguatan dan konsolidasi di industri BPR/BPRS,” ujar Martadinata. (TG)

313

Related Post