Bung Karno: Siapa Bilang Bapak dari Blitar
Oleh Ridwan Saidi Budayawan
SEORANG Dirjen Kemenkeu jaman Ali Wardana berkisah bahwa Waperdam Chairul Seleh di jaman Orla kerap datangi Kemenkeu agar cetak uang lagi.
Uang dicetak terus-terusan di janan itu.
Saya tidak sadar di jaman Orla pernah beredar uang pecahan Rp 10.000 dengan desain kalimah Kun Fayakun, jadi maka jadilah. Lihat photo di atas. Ini tidak bikin heboh karena pecahan tertinggi sebarannya terbatas.
Rezim jaman itu akhirnya memasuki dunia kerohanian ketika ekonomi menemui jalan buntu.
Tapi tari lenso terus menggoyang Istana dengan lagu ciptaan Bung Karno Mari Kita Bergembira. Lyricnya:
Siapa bilang bapak dari Blitar
Bapak kita dari Prambanan
Siapa bilang rakyat kita lapar
Indonesia banyak makanan
Siapa berani kritik, tentu akan didakwa Konrev, kontra revolusi, anti Usdek, antek Nekolim.
Kebutuhan pangan susah dipenuhi, duit juga susah. Beli beras dan minyak tanah harus antri, beli rokok juga antri. Yang bokék beli tembako, tapi papir, kertas lintingan tak ada. Banyak yang nekat ngelinting pakai kertas stensil, dari pada kertas koran.
Percetakan dengan setting huruf timah. Huruf yang sering dipakai misal n diganti dengan q. Ubin jadi ubiq, lilin jadi liliq.
Tiap hari PKI dan ormas antek berdemo menteror lawan politiknya. Harapan perubahan tak ada sama sekali.
Meminjam Chairil Anwar: Hidup hanya menunda kekalahan.
Bertambah jauh dari cinta sekolah rendah.
Di Jumat pagi 1/10/1965 saya dan ayah menyimak RRI. Siarannya membingungkan. Kemudian Pangdam Jaya beritahukan PKI mencoba kudeta. PKI ditumpas,, rezim Orla tumbang.
L'histoire se répéte.
(RSaidi)