'Darah Juang' yang Hilang...
Di sini negeri kami
Tempat padi terhampar
Samuderanya kaya raya
Tanah kami subur, tuan
Di negeri permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda desa tak kerja
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda, relakan darah juang kami
Untuk membebaskan rakyat
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda, relakan darah juang kami
Padamu kami berjanji
Oleh Rahmi Aries Nova, Jurnalis Senior FNN
SIAPA pun yang mengaku aktivis 98 pasti mengenal lirik lagu di atas. Lagu yang puluhan tahun lalu membangkitkan ghiroh mereka untuk 'membebaskan' negeri ini dari belenggu ala Orde Baru. Lagu yang mengawal bangsa ini memasuki gerbang reformasi.
Lagu ini diciptakan pada awal 1990an dan populer di kalangan aktivis mahasiswa, terutama di Yogyakarta, yang kemudian berkembang ke daerah-daerah lain.
Diberi judul 'Darah Juang' karena dua kata sakral itu bentuk sikap mahasiswa pada masa itu.
Kata 'Darah' menunjukkan totalitas mahasiswa dalam menghadapi risiko apa pun yang diakibatkan dari protes mereka terhadap penguasa. Sementara kata 'Juang' adalah sikap dari perjuangan itu sendiri. Atas segala persoalan ketidakadilan dan pembungkaman yang muncul saat itu.
Lagu ini cepat mendapat tempat sekaligus menjadi pengobar semangat, yang kemudian hari selalu dinyanyikan oleh aktivis mahasiswa setiap kali hendak menggelar aksi.
Dan kini setelah 24 tahun berlalu, masihkah 'Darah Juang' ada di dalam dada mereka yang menyebut dirinya aktivis 98?
Pasti tidak, khususnya pada aktivis 98 yang kini bergabung dengan kekuasaan. Kekuasaan yang berpihak pada oligarki, sumber dari perilaku KKN di negeri ini. Kekuasaan yang nyata-nyata ingin mengangkangi konstitusi dan meniadakan pakem demokrasi.
Aktivis 98 ini bukan hanya sudah kehilangan 'Darah Juang' nya tapi juga kehilangan nurani pada rakyat negeri ini yang dicabut subsidinya, dipersekusi, bahkan dikriminalisasi.
Mereka pasti tak mampu lagi melantunkan lagu ini, mungkin karena malu atau karena hati mereka telah mati karena pengkhianatan mereka pada reformasi.
Sebaliknya aktivis 98 yang memilih tetap berjuang di jalur kritis ternyata masih dengan lantang mengumandangkan 'Darah Juang' di Gedung Joang '45 Menteng Jumat (25/2).
Adalah Ubedilah Badrun dan kawan-kawan yang memilih tetap bertahan di 'kendaraan besar' reformasi meski banyak rekan-rekan mereka memilih turun di jalan karena iming-iming materi atau telah kehilangan nyali.
Ubedilah, Bungas Fernando Duling, Yusuf Blegur, Anton Aritonang, Henry Basel, Edysa Girsang, Apek Saiman, Jaya, Hersyam, Nanang Djamaludin, Syahrul Efendi Dasopang, Mariko, Agus Rihat Manalu, Agung, Boim, Gunawan,Ma'ruf AB, Azwar, Fuad Adnan, dan lain-lain yang merupakan pentolan aktivitas 98, menilai pemerintahan saat ini sarat dengan KKN ( Korupsi Kolusi dan Nepotisme). Praktek kotor ini dilakukan secara sistemik, vulgar dan masif. Mereka juga menyebut korupsi di Indonesia sudah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
'Darah Juang' mereka kembali bergolak menyaksikan negeri ini bukan menuju kemakmuran tapi kehancuran di semua sendi kehidupan bernegara. Mereka tetap dalam kesadarannya bahwa ada persoalan bangsa yang luar biasa yang membuat perjalanan bangsa ini tidak on the track.
Ubedilah yakin ia dan rekan-rekannya tidak berjalan 'sendirian'.
"Sesungguhnya ada silent majority masyarakat kita yang memiliki semangat melawan KKN, apalagi generasi milenial dan generasi Z saat ini. Hasil riset menunjukan ada 83 % pemuda di seluruh dunia membenci Korupsi," cetus Ubedilah yang mengaku mendapat dukungan moril dari mantan-mantan rektor dari berbagai daerah di Indonesia.
Kegelisahan Ubedilah sendiri sudah ia cetuskan sejak dua tahun lalu dalam berbagai tulisannya, diawali dengan '75 Tahun Indonesia Maju: Anak Maju, Menantu Maju', yang dimuat di Kolom Tempo 17 Agustus 2020 diikuti dengan tulisan-tulisan lain di berbagai media dan ia tuntaskan dengan melaporkan dugaan KKN dua putra Presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan data-data yang akurat dan tidak bisa dibantah hingga hari ini.
Kegelisan Ubedilah dan rekan-rekannya yang akhirnya sepakat membentuk membentuk Komite Rakyat Lawan KKN (KRL-KKN) adalah kegelisahan kita semua.
Semoga 'Darah Juang' yang hilang kini kembali mengisi relung-relung hati bangsa ini dan menyadarkan kita semua bahwa KKN adalah musuh rakyat, musuh siapapun yang mengaku mencintai negeri ini.(*)