Democratic Policing Ala Tito

Oleh Sugeng Waras - Purnawirawan TNI AD 

Jangan salah paham, instansi TNI POLRI adalah bagian atau alat sarana prasarana pemerintah yang berperan dan berfungsi sangat mulia dan terhormat, yang harus kita dukung, iringi, kawal, amankan dan selamatkan bersama,  sepanjang masa selama masih ada NKRI.

Namun demikian, para personil pemimpin dan anggota yang mengawaki harus kita peringatkan, luruskan, tumbangkan jika menyimpang (inkonsisten dan inkonsekwen) dari tatanan UU, hukum atau peraturan yang berlaku.

Siapa yang akan menumbangkan? 

Kita semua, termasuk para atasan, pengawas, anggota TNI POLRI  dan rakyat.

Landasan hukumnya, TNI POLRI adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Khusus untuk Polri, pahami UU Kepolisian tahun 2002, no 2, pasal 13, esensinya, berbunyi:

Tugas Kepolisian meliputi: Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat ; menegakkan hukum ; melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.

Saat jadi Kapolri, Jenderal Tito Karnavian membuat tulisan yang berjudul Democratic Policing (Polisi dalam alam Demokrasi) berikut pola dan skema fenomena 7 langkah strategi Polri dalam alam demokrasi, sudah barang tentu bertujuan baik di samping terselip adanya kepentingan.

Karena menyinggung tugas-tugas TNI, tanpa berniat mendiskreditkan, memprovokasi atau mengadu domba TNI POLRI, saya akan mencoba membahas secara garis besar, hal-hal yang perlu kejelasan, sehingga tidak mengganggu kesolidan dan kevalidan persatuan, kekompakan dan keharmonisan TNI POLRI.

Awal-awal sejak diluncurkan buku Democratic Policing beberapa tahun lalu, saya sudah menyentil ketidakakuratan buku ini, namun Tito keburu jadi Mendagri dengan saabrek rencana yang sebagian sudah kita rasakan saat ini, termasuk munculnya pemikiran tunda pemilu, pengisian jabatan antar waktu, kemiripan seragam securiti atau satpam swasta  dengan seragam polisi aktif dan polisi RW.

Ini harus kita waspadai dampak psikoligis dan sosialnya, apalagi prediksi kecurangan yang bisa terjadi pada pemilu 2024  agar bisa diminimalkan, syukur dihilangkan, sehingga pemilu 2024 nanti bisa kita laksanakan dengsn LUBER dan Jurdil.

Dalam skema dan pola 7 langkah strategi Polri dalam Democratic Policing, hal-hal yang tidak jelas bahkan mengkhawatirksn antara lain:

Polisi rakyat dan penindak.

Semoga sesuai harapan kita polisi bisa kredibilitas, elektabilitas dan elegant yang bisa mencerminkan polisi yang memelihara KAMTIBMAS, menegakkan hukum, melindungi. mengayomi dan melayani masyarakat, bukan mengedepankan sebagai PENINDAK.

POLRI dengan kewenangan Pusat

Ini yang perlu disinkronkan dengan kebijakan pemerintah yang nota bene pemberdayaan daerah disatu sisi dan keseimbangan dengan aparat TNI yang berbeda kemampuan anggaran disisi lain,  mungkinkan akibat struktur Polri dibawah langsung Presiden sedangkan TNI hanya dibawah langsung Menhan?

Kewenangan Pusat dengan mengabaikan kewenangan daerah rentan dengan kesewenang wenangan Pusat bak paham komunis dalam satu komando dan satu pengendalian (otoriter).

Isu HAM manusia dan publik (wilayah yang belum disepakati posisi TNI)

Sebenarnya tidak perlu kesepakatan, karena meskipun sasaranya secara fisik sama namun tetap berbeda, karena ada perbedaan antara peransi TNI dan Polri.

Keamanan Nasional (Grey Area) dipersempit melalui isu HAM sehingga Polisi lebih leluasa.

Tidak perlu dimasalahkan, karena ada perbedaan sasaran terkait dalam peransi dan tugas tugas TNI POLRI.

Perluasan peran POLRI dan persempitan peran Binter TNI

Ini yang tidak dipahami TITO. Tito harus mendalami dan memahami Pembinaan Teritorial binter TNI, sehingga tidak berpikir untuk mempersempit peran binter TNI.

Semoga tulisan Democratic Policing tidak meresahkan kita semua, tetap kita hargai pikiran orang lain, namun perlu kita klarifikasi hal-hal yang membuat rancu atau sinis serta kita mintai pertanggung jawaban terhadap hal hal yang berpotensi merugikan negara dan memecah belah persatuan dan kesatuan antar aparat dan bangsa.

Bandung, 25 Mei 2023,

711

Related Post