Salim Said dan Tafsir Sosial Islam
Oleh Fathorrahman Fadli I Wartawan Senior FNN
Saya tidak tahu pasti apakah proyek penulisan buku, "Tafsir Sosial Islam" itu sudah sampai dimana. Setahu saya, Prof. Palim sempat membicarakan buku itu kepada saya, Ichan Loulembah, dan Zaki Mubarak. Namun yang sering diminta tolong untuk mencari literatur terkait proyek buku itu adalah Zaki Mubarak.
Kami bertiga seringkali malu hati, ketika melihat Prof. Salim tetap bersemangat dalam membaca, berdiskusi, dan menulis buku atau sekadar memberikan ceramah pada ratusan acara, talkshow, atau yang sejenisnya.
Bagi kami, jika saja buku itu sudah rampung, tentulah akan sangat berharga sekali dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan sosial politik bangsa kita. Terutama dalam melihat bagaimana nilai-nilai Islam yang datang ke negeri ini, lalu berproses menjadi laku dan adat keseharian masyarakat kita. Buku itu tentulah akan mengulas pula bagaimana Islam dipandang dari Ilmu Sosiologi, sejarah, politik dan kebudayaan bangsa kita sekaligus. Sayangnya, buku tersebut belum ada kabarnya hingga ajalnya tiba. Semoga beliau mendapatkan maqomam mahmuda.
Sebagaimana kita maklumi, selama dua atau tiga tahun terakhir ini Profesor Salim Said sering keluar masuk rumah sakit untuk menjaga kesehatannya yang kian rapuh. Hingga terdengar kabar bahwa kondisi kesehatannya berada dalam posisi tidak dapat dijenguk para kerabatnya.
Beberapa hari dari kabar itu, Ustad Agus Abubakar, selalu monetor dan memberi kabar perihal kondisi mutakhir beliau. Kabar paling mutakhir saya melihat postingan video dari Profesor JA. Video itu setahu saya hanya menyebar di WAG Institut Peradaban tempat kami berdiskusi hal-hal yang strategis dalam dinamika politik bangsa dan negara.
Saya terbilang baru 10 tahunan ikut menjadi member yang aktif berdiskusi di Institut Peradaban. Atas jasa Pak Sukojo, Sekretaris utama Profesor Salim Said, akhirnya saya menceburkan diri hingga diminta menjadi pengurus Yayasan yang pendirinya para tokoh nasional papan atas. Tentu saja, itu pengalaman yang sangat berharga sekali sebagai bagian integral mengasah wawasan saya selaku pembelajar.
Tiap Rabu siang hingga menjelang magrib, bahkan hingga jarum jam menyentuh angka 8 malam, masih saja kami berdiskusi. Belakangan seiring usia kami menua dan kesehatan Prof. Salim mulai menurun, diskusi baru berakhir pukul lima sore atau menjelang adzan maghrib tiba.
Bagi kami Salim Said adalah guru yang sangat baik. Jika beliau menjelaskan sesuatu, sangatlah jelas pesannya, enak didengar, dan punya perspektif yang kuat karena ilmu yang dimilikinya. Gaya bicara menarik dan memukau. Bahasanya mudah dicerna oleh setiap orang. Namun isinya selalu menantang untuk didengar. Saya biasanya menjadi murid yang paling rajin bertanya.
"Tanya Prof," pinta saya.
"Ok, Ong, Anda mau tanya apa," jawabnya bersemangat.
Salim Said adalah orang yang paling bahagia jika ada orang yang mengajukan pertanyaan padanya. Ia merasa bahagia pula jika ia berhasil menjawabnya dengan atletis, dan membuat sang penanya mengangguk-angguk pertanda paham.
Salim Said termasuk satu-satunya pembicara yang sangat Talkative. Ia pembicara yang sangat laris terutama mengenai keahliannya dibidang Sejarah Politik Militer Indonesia. Dalam setiap kesempatan diskusi Reboan (Hari Rabu) itu, Salim selalu menyebut keahliannya itu agar pesertanya paham.
"Saya ini adalah profesor politik yang membaca politik dari sosiologi dan sejarah, ini posisi saya sebagai ilmuan politik, semoga anda paham," serunya.
Dalam diskusi inilah, pokok-pikiran dan kepedulian Salim atas dinamika perjalanan bangsa dan negara ini keluar semua. Saya termasuk beruntung dapat mendengar, menyimak, mengkaji, mendebat nyaris seluruh ide-ide progresif Salim Said itu hingga ajalnya menjemput. Ide-ide progresif Salim Said menyangkut banyak hal.
Mulai pentingnya masa jabatan politik preside n hanya satu periode (7 tahun), tata kelola negara yang akuntabel, perbaikan partai politik, sirkulasi elit, oligarki, pendanaan partai politik, penjernihan kasus Gerakan 30 September PKI, bangsa yamgbtidak ada yang ditakuti, Tuhan pun tidak ditaluti dan lainnya.
Salim Said yang belakangan menulis dirinya sebagai Salim Haji Said itu memang sosok yang langka. Ia memiliki pengetahuan yang sangat luas; politik, sejarah, militer, film, jurnalistik, sastra, hingga wawasan Islam modernis.
Jika berbicara ia sangat bermutu nan mempesona. Ia juga seorang pembicara yang sangat profesional.
Suatu ketika saya diminta Bang Lukman Hakiem, senior HMI dan penulis buku para tokoh Islam untuk meyakinkan Salim Said agar bersedia menjadi narasumber diskusi soal Pemimpin Masyumi M. Natsir.
"Sebagai pembicara, saya harus memberikan sesuatu yang baru, bukan yang sudah banyak diketahui orang, sebab dengan itu saya kemudian dibayar. Pak Lukman atau Pak Laode yang lebih paham soal Natsir, anda minta mereka sajalah," katanya menolak.
Tafsir Sosial Islam
Ketika berbicara Islam dan Umat Islam Indonesia, Salim Said kerapkali gelisah. Mukanya yang kereng, perlahan melunak.
"Bangsa ini mayoritas muslim, namun kelas peradabannya masih sangat menyedihkan sekali," cetusnya suatu ketika.
Kemudian ia melanjutkan, masih dibutuhkan upaya yang sangat besar dan sungguh-sungguh untuk menjangkau peradaban yang lebih tinggi. Tentu saja, untuk itu semua kita harus membereskan dulu kondisi umat Islam sebagai mayoritas dalam bangsa ini.
Salim mengingatkan kita semua seluruh warga negara agar tidak mudah melakukan tindakan-tindakan yang naif. Sebab dimata Salim, bangsa kita itu merupakan "The Fragmented Society: bangsa yang sangat mudah terpecah-belah.
Mengapa demikian?
Secara alamiah, Indonesia mendapat anugerah Tuhan yang sangat melimpah. Alamnya sangat kaya raya dan sangat indah. Memiliki bahasa dan adat istiadat yang sangat beragam. Banyaknya varian suku bangsa dan bahasanya. Wajarlah jika Indonesia tidak saja menjadi wilayah buruan warga asing, namun menjadi pusat riset para peneliti sosial kelas dunia.
Banyak sekali ilmuan dunia yang menjadikan Indonesia sebagai sumber utama dalan riset-riset mereka. Bahkan ratusan, mungkin ribuan sarjana dari kampus-kampus di negara-negara maju mulai kampus di Belanda, Jepang, Jerman, Inggris, Amerika, Australia, Singapore, hingga Malaysia berhasil meraih doktor (S3) berkat melakukan risetnya di Indonesia.
Semua karunia itu, menurut Salim Said harus dikelola secarà baik. Jika tidak, maka bangsa itu akan mengalami bahaya dan malapetaka yang besar.
"Saya ingatkan kepada Anda semua yang berdiskusi disini, Jika cara elit politik masih seperti sekarang dalam mengelola negeri ini, terus terang saya tidak yakin dalam 100 tahun Indonesia ini akan eksis sebagai negara," keluhnya dengan nada sedih.
"Saya bicara begini karena saya cinta pada Indonesia, sebab Indonesia itu baru sebuah cita-cita belum, kira sebagai bangsa masih dalam taraf on going process," jelasnya.
Pandangan Salim Said ini bersisian dengan pandangan politik Deliar Noer. Menurut Deliar, Indonesia sebagai bangsa potensial pecah menjadi 8 negara baru.
Gejala pecahnya negara Indonesia itu setidaknya karena gerakan sentrifugal politik yang mengarah hanya untuk kepentingan elit. Elit politik hanya mementingkan dirinya sendiri dan abai pada kepentingan strategis seluruh bangsa. Masa depan bangsa akan tertukar dan terkubur oleh ambisi pendek para elit politiknya.
Dalam konteks masalah elit politik nasional kita yang amburadul itulah Salim mengusulkan soal pentingnya mendorong elit sadar diri dan kembali pada kepentingan seluruh rakyat.
Gejala pecahnya negara Indonesia itu setidaknya karena gerakan sentrifugal politik yang mengarah hanya untuk kepentingan elit. Elit politik hanya mementingkan dirinya sendiri dan abai pada kepentingan strategis seluruh bangsa. Masa depan bangsa akan tertukar dan terkubur oleh ambisi pendek para elit politiknya.
Masalah elit politik nasional kita yang amburadul itulah Salim mengusulkan soal pentingnya mendorong elit sadar diri dan kembali pada kepentingan seluruh rakyat.
Kerisauan Salim itu selalu disampaikan dalam setiap akhir diskusi, setiap Rabu, kepada murid-murid utamanya, Muhammad Ichsan Loulembah (Ichan), Zaki Mubarak, Zulfikar, Muhammad Chalid, Tito, Agus Abubakar, Agus Surya, Fathorrahman Fadli, Faizal, Tarli Nugroho dan orang-orang muda yang sempat aktif di Institut Peradaban.