IKN, Vini Vidi Mati?
Oleh Luthfi Pattimura I Wartawan Senior FNN
TADI pagi saya melihat kembali bahan desain gambar ilustrasi dan perancangan Ibu Kota Nusantara (IKN), dari Bang Endra Saleh Atmawidjaja, Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Bahan-bahan tersebut untuk penyusunan sebuah buku yang saat ini sedang kami tulis berdua, berjudul, Mercusuar Nusantara, Ibukota Negara Visi Kota Dunia Untuk Semua.
Sampai pada warisan sosial Jakarta, pada penjelasan ekologis Jakarta dan sekitarnya sebagai bagian dari isi buku tersebut, nah, bagian itu saya sisihkan di sini untuk berbagi.
Berbagi di sini mungkin karena alasan saya sederhana; Memprediksi jalannya masa depan, berarti membuka sebuah portal untuk melihat hubungan antara manusia dan lingkungan tempat tinggal.
Di hadapan keanekaragaman pandangan tentang pemindahan ibukota negara —sahabat arifin arifat semua yang membaca tulisan ini— yang kita butuhkan di sini adalah memilih; Bukan kenapa ada semacam puncak gunung es dari gagal fokus terhadap koloni urban di ibukota negara sebagai pusat dari segala macam aktivitas kita.
Melainkan, bagaimana melihat persoalan lingkungan bagi warga masyarakat Jakarta dan sekitarnya, ketika lapisan makna aktivitas dan lingkungannya, pantul memantul dengan ruang untuk tumbuh kembang. Di sini, gagasan pemindahan ibukota negara, masuk.
Pada 17 Juli 1957, Presiden Soekarno menggagas pemindahan ibukota negara dari Jakarta, ketika berada di Palangka Raya untuk meresmikan kota tersebut sebagai Ibukota Kalimantan tengah.
Melamar gagasan tersebut, Presiden Soeharto pada tahun 1997 mengeluarkan Keppres Nomor 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri. Awalnya, dimaksudkan untuk Pusat Pemerintahan.
Pada tahun 2013 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kembali melirik gagasan pemindahan ibukota negara. Saat itu SBY menyodorkan skenario pemindahan pusat pemerintahan keluar dari Jakarta, dengan tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibukota.
Membuka penangguhan makna gagasan pindah ibukota negara, Presiden Joko Widodo akhirnya memohon izin di hadapan anggota DPR RI pada 2019, untuk memindahkan ibukota negara (IKN), ke pulau Kalimantan.
Memperdiksi jalannya masa depan, ini beda tipis dengan AS yang menukar New York City dengan Washington, D.C. Australia menukar Melbourne dengan Canberra. Brazil menukar Rio De Janeiro dengan Brasilia. Pakistan menukar Karachi dengan Islamabad. Turki menukar Istanbul dengan Ankara.
Di antara sekian jenis peristiwa yang menjadi alasan negara-negara tersebut untuk berhijrah, kemacetan dan kepadatan penduduk, lebih merupakan peristiwa sosial yang bekerja di belakang Malaysia dan Kazakhstan.
Sedangkan kecanduan terhadap keberlanjutan dan modernisasi, Australia dan Brazil bisa menjadi contoh; Australia berfokus pada keserasian lansekap, topografi, dan keindahan kota. Brazil berfokus pada penerapan politik pembangunan ke terciptanya pengembangan ekonomi, dengan membangun interkonektivitas antar wilayah.
Bukan berarti Indonesia memang tetap berniat untuk mempertahankan Jakarta sebagai Ibukota NKRI. Dengan membandingkan negara-negara yang memindahkan ibukotanya, justru karena kemajuan dan kesejahteraan berada di lingkungan yang sehat dan harmonis, bukan oleh kesemrawutan dan kekumuhan sosial.
Silahkan buka buku laporan atau artikel mana pun; Kita sangat dimungkinkan untuk menjumpai catatan-catatan mengerikan mengenai banjir, kepadatan penduduk, kekumuhan, kemacetan, polusi udara, oleh peristiwa alam dan sosial.
Kazakhstan memindahkan ibukotanya dari Almaty ke Astana, bukan ketika 1.120 juta warga Almaty pada 1997 gaya-gayaan mengikuti cara Turki atau Pakistan, melainkan ketika kemacetan dan kepadatan penduduknya yang bikin sesak.
Malaysia juga begitu, memindahkan pusat pemerintahannya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya karena kemacetan dan kepadatan penduduk. Persitiwa sosial ini yang sedang kita hadapi.
Seorang sopir angkot mungkin bisa ceroboh ketika roda angkotnya bergerak di atas aspal. Tetapi, kita jangan ceroboh di atas garis pengalaman dalam memprediksi jalannya masa depan.
Sebagaimana terjadi di Kazakhstan pada 1997, atau di Malaysia pada tahun 1999, ibukota negara dan pusat pemerintahan dipindahkan oleh mereka yang asetnya hanyalah belajar dari kemampuan memecahkan warisan sosial yang bagus.
Melongo karena keheranan dengan Jakarta dan tata ruang, sempat, pakar ekonomi dan lingkungan Emil Salim angkat suara, bahwa penataan ruang DKI Jakarta sebaiknya dipusatkan sebagai Ibu Kota Negara, dan fungsi lainnya seperti pelabuhan, industri dan perdagangan diserahkan keluar dari DKI Jakarta.
Sebelum perang, kata Herlianto dalam dalam bukunya Urbanisasi dan Pembangunan Kota, Jakarta hanya direncanakan untuk menampung 600 ribu penduduk. Tapi dalam kurun waktu 10 tahun, terjadi kenaikan penduduk kota Jakarta lebih dari 50 persen. Karena makin hari kian bertambah penduduk, maka laju pertumbuhan penduduk 50 persen itu sudah tidak lagi untuk setiap sepuluh tahun, tetapi setiap tahun.
Sampai di sini kita teringat, cerita pada Juni 1998; Xia Qing-Quan, Direktur Pusat Penelitian Kartun Berita Cina, melibatkan karyanya berjudul, City Libyrinth dalam pameran kartun yang digelar di Pasar Seni Ancol Jakarta pada waktu itu.
Dalam karyanya tersebut dia menggambarkan; Seorang pemuda pergi meninggalkan kekasihnya sebentar menunggu di suatu tempat. Untuk urusan apa pemuda itu pergi, tak perlu dijelaskan karena, pangkal ceritanya adalah permasalahan tata ruang kota; Ketika si pemuda kembali untuk menemui kekasihnya, sang pemuda justru tersesat karena jalanan yang dia lewati ternyata semakin ruwet.
Makanya, pada tahun 1970-an, jika disebut ‘Jakarta’ muncul di benak orang, lambang paling tajam sebuah kota urban. Tetapi, muncul di benak orang, Monas, dan ancaman-ancaman ganda seperti ‘Bronx’ dan kesemrawutan, jika disebut ‘Jakarta dan sekitarnya’ pada tahun 2000-an.
Tempo hari, ketika menulis tajuk rencana 13 November 1990, Harian Pelita menyoroti fenomena vandalisme remaja di kota-kota besar dan dikaitkan dengan standar ruang publik. Bahwa, kota-kota besar di Indonesia sebenarnya belum dirancang secara humanis dalam arti memberi space kepada naluri warga kotanya untuk mengekspresikan tindakan-tindakan manusiawi mereka, untuk bisa saling santai dan bercanda, untuk bisa saling mengenal dan lebih memahami satu sama lain.
Saat melihat ruang publik dengan kaca mata kebijakan, dan melihat kebijakan dengan kaca mata kehidupan, tokoh transformasional leadership, Hasnan Habib pernah angkat suara, “Manusia bisa melakukan suatu tindakan sangat keras, jika lingkungan di sekitarnya juga memberikan kekecewaan yang besar.”
Sadar akan begitu banyaknya permasalahan yang pembalikkan kekhususan Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Jokowi, pun mengumpulkan seluruh camat, lurah, dan wali kota se-DKI Jakarta, untuk peduli dengan tempat yang menghancurkan warisan sosial.
Pada 20 November 2012, di Balaikota DKI Jakarta, semua yang hadir terdiam. Mereka harus mengerti emosi sebuah cerita dalam slide tentang Jakarta yang kotor dan kumuh. Pada saat itu, Jokowi berironi; Jakarta jangan menjadi kota tak terurus, rawan kejahatan layaknya ‘Bronx,’ di Amerika Serikat.
Sebagian pembaca mungkin tahu bagaimana rasanya saat tinggal di kota yang aman. Namun, bagaimana rasanya kalau Anda tinggal di daerah Pluit, Jakarta Utara, dan tak punya gambaran kapan Jakarta akan tenggelam karena daratan tempat perumahan warga di sana berada 1,7 m di bawah air.
Perasaan yang membawa kita ke Presiden AS, Joe Biden yang pernah mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan dunia. Di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS, 27 Juli 2021, Biden menyatakan, “Apa yang terjadi di Indonesia jika perkiraannya benar bahwa dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan Ibukotanya karena akan tenggelam.”
Dalam motif ini, kebutuhan berhijrah dari lingkungan yang mengancam kesinambungan hidup warga ibukota, membawa konsekuensi dalam bagaimana alternatif solusi meringankan ketakutan dari degradasi kualitas lingkungan, diangkat dan diisolasi.
Kalau definisi pindah dirumuskan sebagai menempatkan ke tempat lain. Jatuhnya; Mengapa harus terjadi pemindahan, apa saja yang dibawa, bagaimana, kapan persisnya, dan seterusnya. Tanpa lonceng bahaya ekologis dan warisan sosial, maka pengesahan UU No. 3 Tahun 2022, yang revisinya disahkan pada 3 Oktober 2023, adalah mustahil.
Ibarat sebuah buku, halaman-halaman lingkungan Jakarta dan sekitarnya membawa kita pada satu tur singkat, dan melihat dengan jelas warisan sosial dan ancaman-ancaman ganda dari lingkungan Jakarta.
Pada saat tulisan ini Anda baca, Jakarta berada di dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut. Sedangkan Kaltim, berada di ketinggian berkisar antara 0-1500 meter di atas permukaan laut.
Terlepas dari yang konstan dalam sejarah perjalanan bangsa mana pun di dunia adalah segalanya berubah; Namun pemindahan ibukota negara saya lihat sebagai sebuah portal untuk melihat pelipatgandaan harapan terhadap jalannya masa depan, bagi rahmatan li’l Indonesia, lewat pemindahan ibukota negara.
Saya, kami, Anda, mereka, kita semua yang vini, vidi, dalam hubungan antara manusia dan lingkungan tempat tinggal—untuk vici—bukan untuk mati, muara berbagi ini.