Era Minyak Telah Berakhir

Salamuddin Daeng, Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Itu tidak mungkin kata pengamat energi di Indonesia, mana mungkin dunia meninggalkan minyak, 100 tahun, 200 tahun dunia tetap akan berlumur minyak.

Oleh: Salamuddin Daeng, Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

DI sini masih ribut subsidi BBM, namun dunia sebagian besar tengah ribut bagaimana meninggalkan minyak. Tentu saja ribut karena sebagian besar dari bangsa kita masih hidup miskin. Sementara lebih dahsyat lagi dunia sedang ribut meninggalkan minyak tidak hanya sebagai bahan bakar, atau sebagai komoditas, tetapi minyak tidak lagi sebagai jangkar mata uang Dolar Amerika Serikat yang merupakan mata uang internasional saat ini.

Sebagai isu politik minyak sebenarnya telah berakhir. Minyak tidak lagi dipandang sebagai jangkar mata uang global dolar Amerika Serikat. Rezim petro dolar yang ditopang oleh minyak sejak tahun 1971, sekarang sudah diakhiri oleh jaman digitalisasi dan transparansi.

The Federal Reserve (The Fed) tidak lagi legitimate untuk mencetak uang dengan dasar minyak. Antara harga minyak dengan nilai mata uang dolar sudah tidak lagi memiliki korelasi. The Fed di era Obama dan di era Trump tidak lagi menjadikan minyak sebagai dasar dalam mencetak uang dolar.

Uang dolar modal kertas dan tinta dicetak begitu saja dan lalu dituangkan ke seluruh dunia tanpa dasar colleteral sama sekali. Pelanggaran motener paling besar yang dilakukan The Fed dan tidak sejalan lagi dengan rezim petro dolar 1971.

Lalu apa jangkar ekonomi yang baru? Belum jelas sampai sekarang. The Fed sendiri pusing sudah tujuh keliling menghadapi peningkatan permintaan dan penggunaan uang kripto.

Digitalisasi akan melahirkan rezim baru menggantikan petro dolar. The Fed dan bank sentral seluruh dunia berencana menciptakan mata uang digital untuk menandingi uang kripto. Tapi bagaimana menandingi cripto curency, sementara mata uang kertas sendiri sedang tergerus legitimasinya akibat The Fed ugal-ugalan mencetak uang.

Bagaimana Subsidi Minyak?

Subsidi minyak adalah rezim yang dilahirkan oleh ideologi neoliberal. Subsidi adalah strategi yang dilahirkan oleh politik ekonomi neoliberal. Ideologi yang memisahkan antara negara dengan ekonomi. Negara tidak boleh memainkan peran langsung dalam ekonomi.

Negara hanya menjadi “hansip” penjaga malam, pekerjaan negara adalah mengurusi mengatur agar swasta mengambil alih seluruh urusan ekonomi termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan layalanan publik atau bahasa konstitusi indonesia hajat hidup orang banyak. Semuanya tidak boleh lagi dijalankan oleh negara.

Bagaimana negara berbuat agar public goods bisa dijangkau oleh daya beli masyarakat? Maka negara mengeluarkan uang yang bersumber dari pajak untuk mengatur harga barang dan jasa. Negara dalam ekonomi neolineral hanya mengurus fiskal.

Bagaimana mendapatkan uang untuk membiayai pengeluaran negara, seperti menggaji apatur negara. Kalau sudah dapat uang, lalu uangnya dialokasikan negara untuk mengatur harga barang dan jasa yang dijual swasta dengan mengintervensi harga maka disebut dengan subsidi.

Begitu pula dengan subsidi minyak. Minyak diserahkan kepada swasta atau badan usaha komersial, di Indonesia oleh perseroan terbatas. Mereka membeli minyak lalu menjual ke masyarakat. Negara boleh menetapkan harganya dengan jaminan negara memberikan ganti rugi jika terjadi selisih harga antara harta yang ditetapkan negara dengan harga yang sebenarnya. Itulah yang disebut subsidi minyak.

Apa sesungguhnya pengertian subsidi menurut rezim internasional? Subsidi adalah sejumlah uang yang diberikan kepada pengusaha atau pebisnis oleh negara melalui pemerintah untuk mengganti kekurangan pendapatan dari perusahaan komersial akibat menjual barang atau jasa yang harganya di tetapkan oleh pemerintah. Jadi subsidi tetap merupakan pendapatan yang diterima oleh sektor bisnis dan tetap menjadi uang bisnismen.

Pada Era 90-an kembali dipertegas melalui konsensus Washington, aturannya melalui liberalisasi pasar, privatisasi BUMN, reformasi pajak, disiplin anggaran negara dan pengetatan fiskal. Jadi anggaran negara tidak boleh dipakai untuk  menanggung subsidi yang besar. Karena subsidi semacam itu dalam sistem liberalisasi pasar akan merusak persaingan usaha yang sehat dan menghabisi anggaran negara.

Konsensus Washington ini ternyata tidak membuat negara menjadi banyak uang karena disiplin anggaran. Justru negara menetapkan sistem anggaran defisit. Negara meminjam uang sebagai pembiayaan pembangunan. Maka mulailah anggaran negara ditopang oleh utang.

Konsesnsus Washington ternyata hanya memperkaya swasta namun membuat negara makin tergantung pada utang. Pada ujungnya negara tidak punya lagi uang dan kemampuan melakukan subsidi BBM. Makanya harga BBM harus diserahkan pada pengusaha dan menjadi urusan mereka. Silakan bisnis dan jual BBM sesuai harganya. Negara tidak punya uang untuk ikut campur.

Subsidi Transisi Energi

Tapi seiring waktu sektor BBM makin terjepit. Dunia tengah berada bawah ancaman yang serius dengan isue kurasakan lingkungan atau climate change. Bank bank internasional tidak lagi mau menginvestasikan uang mereka dalam sektor minyak. Satu persatu perusahaan minyak tutup dengan tanggungan utang yang besar. Tinggal beberapa perusahaan besar dunia, namun mereka terancam tekanan keuangan yang sangat besar.

Kalau dulu ketika perusahan minyak ambruk, maka mereka akan ditolong oleh negara. Mengapa? Sebab negara sangat berkepentingan akan keberadaan mereka, sebagai sumber uang bagi negara penghasil minyak. Apalagi negara Amerika Serikat, minyak adalah alat dominasi mereka secara global melalui petro dolar.

Namun sekarang ketika perusahaan minyak colaps, tidak ada lagi yang menolong mereka, perusahan minyak disita oleh pemilik modal atau investornya tanpa ada harapan untuk bangkit lagi seperti tahun 1971 lalu.

Mereka lari meninggalkan ladang ladang minyak mereka di negara negara dunia ketiga atau negara berkembang. Lalu kemudian ladang ladang yang telah mengering itu diambil alih oleh perusahaan lokal. Namun perusahan lokal dan nasional tidak dapat leluasa mencapai level keekonomiannya. Bangkrut tapi perlahan lahan.

Apakah negara masih bisa menyelamatkan mereka. Tergantung kalau negaranya punya uang. Kalau menerapkan geopolitik internasional sekarang, maka saat ini tidak ada yang lagi yang diperbolehkan untuk mensubsidi minyak. Bisa jadi tak lama minyak akan dipandang sebagai barang ilegal, sumber polusi dsn penyakit, yang malah akan dikenakan cukai oleh negara.

Harga minyak pasti naik, minyak lama lama akan langka, bukan karena tidak ada minyak mentah di dalam perut bumi, tapi tak ada satu lembaga keuangan pun yang boleh membiayai eksplorasi dan ekploitasinya.

Sementara perdagangan minyak makin tergencet pajak ekspor impor, sehingga konsumsi minyak digencet cukai. Maka minyakpun akan langka.

Tak sampai di situ, setelah pertemuan Paris yang dilanjutkan dengan COP 26 Glasgow, minyak yang telah langka tadi akan dikenakan pajak karbon. Tidak main main, pajaknya mencapai 250 dolar per ton karbon yang diproduksinya. Bayangkan 1 liter minyak sama dengan 1,70 kg karbon.

Jadi harga jual BBM sekarang harus naik 1,7 kali lagi. Akan mahal sekali. Langka mahal dan bisa jadi bahan bakar tercela dan terlarang.

Itu tidak mungkin kata pengamat energi di Indonesia, mana mungkin dunia meninggalkan minyak, 100 tahun, 200 tahun dunia tetap akan berlumur minyak.

Kalau minyak ditinggal, dimana orang mau mendapatkan energi kalau minyak telah langka, bagaimana nasib mobil, kapal, pesawat terbang dll.

Tidak demikian yang terjadi. Sebaliknya dunia mengalami over supply energi, di Indonesia listrik yang diproduksi PLN melimpah tidak terserap oleh pasar lebih dari 50 %. Dahsyat kapasitas energi sekarang. Jadi hati hatilah dengan subsidi minyak dan bersiaplah untuk move on. (*)

480

Related Post