GEOPOLITIK TIMTENG, Hiperbolis Trump, Picu Konflik

Oleh Sabpri Piliang | Wartawan Senior

     SIFAT permanen manusia adalah "Serigala". Homo Homini Lupus, kata filsuf Thomas Hobbes. Seperti apa membacanya?
   Dua momentum, untuk menyimak "kocok ulang"  geopolitik Timur Tengah: kunjungan  pemimpin baru Suriah Ahmed Al-Sharaa kepada Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi (Mohammed bin Salman), dan pernyataan Presiden AS Donald Trump, saat menerima PM Israel Benyamin Netanyahu.
     Tak main-main, pemimpin pertama yang diterima Donald Trump (setelah dilantik) adalah Netanyahu. Ini merupakan simbolik, sebagai bentuk dukungan 100 persen. "Israel adalah AS", dan "AS adalah Israel".
      Sebuah hiperbol dan dramatis, ketika dalam sesi tanya jawab (Trump dan Netanyahu) dengan Pers di Gedung Putih. "Saya tidak berpikir orang-orang (Palestina-red) harus kembali ke Gaza. Mereka tak punya pilihan,"kata Presiden Donald Trump (The Guardian, 2/2).
     Pernyataan Trump untuk merelokasi hampir dua juta penduduk Gaza ke: Mesir, Yordania, dan negara jazirah Arab lainnya. Menciptakan imajinasi, dan "politically correct" yang merendahkan sebuah bangsa pemilik tanah Gaza (sebelum 1967).
     Daya tahan penduduk Gaza selama 15 bulan, dalam gempuran brutal mesin canggih Israel. Menjadikan statemen Presiden Trump sebagai imajinasi dan hiperbolik.
     Lebih mudah disebut sebagai sebuah "grafis linear" yang sejalan dengan kepentingan Israel.
      Seandainya penduduk Gaza mau, mengikuti pola "lateral" yang dikatakan Trump, itu tidak sekarang. Mungkin sejak setahun, atau 13 bulan lalu. Kini Sudah terlambat!
     Korban rakyat Palestina tidak akan mencapai 47.000 lebih, hilang tertimbun runtuhan 12.000-an, dan luka-luka 100.000 lebih. Bila pola pikir lateral (bukan konvensional) yang diusulkan Trump, memang dianggap tepat oleh penduduk Gaza.
     Substansi penyelesaian Gaza, dan Palestina, terletak pada solusi dua negara. Pemerintahan Presiden Joe Biden (sebelum Trump) acap menyebut, solusi dua negara.
    Kembali ke perbatasan sebelum perang 1967. Di mana, Jalur Gaza (Gaza Straits) dan Tepi Barat (West Bank), merupakan wilayah Palestina. Dengan Yerusalem Timur (Masjid Al Aqsa) sebagai ibukota Palestina.
      Dua grafik linear, Gaza dan Tepi Barat inilah yang tidak pernah disentuh oleh para "jawara" dunia, terutama AS. 
    Sehingga, pemindahan warga Gaza ke luar Gaza dengan dalih apa pun. Sama saja ingin memantik kembali "bara api" fundamental, dengan apa yang disebut Barat dalam label "teroris". 
    Apakah bangsa yang menuntut kemerdekaan dan meminta kembali haknya bisa disebut "teroris"?
     "Road map" Timur Tengah (Timteng), dengan statemen Presiden AS Donald Trump. Bisa memetamorfosis geopolitik kawasan. 
     Kunjungan Pemimpin Suriah Ahmed Al-Sharaa ke Arab Saudi. Akan menjadi jembatan kokoh, kembalinya negara-negara fundamental ke dalam garis persatuan Arab (Pan Arab).
     Arab Saudi beberapa waktu lalu, atas prakarsa China, telah berbaikan dengan Iran. Sekarang, Suriah yang juga "setali tiga uang" dengan Iran merapat ke Arab Saudi.
       Yang terbaca dari ini semua. Garis politik Donald Trump, sangat mengkhawatirkan dan berbahaya bagi Liga Arab.
     Bisa saja, pola "lateral" Donald Trump, nantinya menyasar pada negara-negara Arab lain, demi kepentingan Israel.
        Meminta Yordania dan Mesir untuk menerima jutaan rakyat Gaza. Sama dengan "pressure" yang bersipat 'pre-eliminary', sebelum "pressure" yang lebih keras terjadi.
       Hiperbolis seperti ini menjadikan dua kerucut (Liga Arab) dan AS (baca: Israel) akan saling berhadapan di kemudian hari.
    Empiris Perang Arab-Israel (1948,1967,dan 1973) merupakan pelajaran berharga. Pressure yang hiperbolik, akan memicu konflik kawasan yang lebih bedar.  (***).

31

Related Post