Haji Giring Berulah Lagi: Serang Anies Dengan Isu Agama
Jakarta, FNN - Sesudah agak lama tak terdengar aksi kontroversialnya, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia PSI Haji Giring Ganesha Djumaryo kembali berulah. Apalagi kalau bukan aksinya menyerang Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Jadi, wajarlah kalau PSI belakangan ini dapat julukan sebagai Partai Seputar Ibukota. Sebab, “Jika melihat aktivitas para petingginya mulai mantan Ketum yang kini jadi Wakil Ketua Dewan Pembina PSI Grace Natalie sampai Giring Ganesha selalu saja mencari celah untuk mendiskreditkan Anies Baswedan,” ungkap wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Senin (27/6/2022).
“Khusus soal Haji Giring Ganesha Djumaryo ini tidak ada kapok-kapoknya walaupun sudah dapat dipastikan buliannya terhadap Anies itu akan jadi bumerang, dia bakal balik dibuli oleh netizen,” lanjutnya.
Hersu, panggilan akrab Hersubeno Arief, menyebut, kali ini menjadi bahan serangan Haji Giring adalah isu lama Pilkada DKI 2017 yang menurut dia ini adalah bukti nyata bahwa Anies Baswedan itu adalah figur yang intoleran dan figur politisi yang menggunakan strategi politik identitas dan politisasi agama melalui akun twitter-nya, Sabtu sore, 25 Juni 2022.
Giring mencuit, “Nama jalan almarhum nenek Hindun ini lebih tepat untuk diperjuangkan menjadi nama jalan baru di Jakarta untuk mengingatkan kita ada seorang warga yang menjadi korban jahatnya politik identitas politik agama.”
Cuitan itu disertai dengan sebuah foto dengan tulisan Jalan Nenek Hindun. Dalam cuitan lainnya Giring menulis begini:
“Masih ingat pidato saya akhir tahun 2021? PSI ingin menarik garis tegas, tidak ada tidak berkompromi dengan orang yang menghalalkan segala cara, termasuk dengan memperalat agama main mata, bergandeng tangan dengan kelompok intoleran, menggunakan ayat untuk menjatuhkan lawan”.
Cuitan itu disertai dengan link berita “Pernah memanfaatkan politik identitas Anies Baswedan diprediksi susah nyapres”.
Jadi, “Clear bahwa kedua cuitan dari Haji Giring Ganesha Djumaryo ini untuk menyerang Anies Baswedan dengan isu tunggal, yakni sebagai seorang politisi ia memanfaatkan dan sekaligus memanfaatkan politisasi agama.”
Ada apa sebenarnya di tengah kemeriahan Ulang Tahun Kota Jakarta yang ke-495 ini Haji Giring tiba-tiba mengungkit-ungkit kasus lama, sebuah peristiwa yang menunjukkan bahwa sebagai partai pendukung PSI itu sampai sekarang belum move on karena figur yang didukungnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kalah pada Pilkada DKI 2017 lalu.
“Rupanya ini dia dapat momentum menyerang ini dengan ada kaitanya dengan keputusan Anies mengubah nama beberapa ruas jalan di Jakarta dan diberi nama baru, yakni dengan nama sejumlah tokoh Betawi,” kata Hersu.
Ada 22 ruas jalan yang diubah namanya oleh Gubernur Anies yang tersebar di berbagai wilayah Jakarta, seperti Jakarta pusat, Jakarta Selatan, Timur, Utara termasuk juga di Kepulauan Seribu. Nama-nama yang dicantumkan itu terdiri dari nama budayawan, tokoh agama, wartawan senior, pahlawan Betawi, dan bahkan, ada juga nama komedian terkenal di Betawi yang disematkan di nama jalan baru itu.
Sebut semisal, nama komedian Mpok Nori dan Haji Bokir anak-anak sekarang mungkin banyak gak kenal. Ada juga nama Ustadzah terkenal Tuti Awaliah, wartawan dan politisi Mahfud Junaedi dan banyak nama-nama besar lainnya.
“Kalau melihat lokasinya memang cukup menyebar tapi saya cermati tidak ada yang berlokasi di kawasan Karet Setiabudi, Jakarta Selatan, tempat di mana almarhumah nenek Hindun dulu tinggal. Jadi, siapa sih sebenarnya nenek Hindun ini dan apa maksudnya Haji Giring kembali mengungkit kasus ini?” tanya Hersu.
Nenek Hindun ini adalah seorang janda yang tinggal di tempat tak jauh dari mushola Al Mukminun di kawasan Karet Setiabudi, Jakarta Selatan.
Di tengah-tengah memanasnya Pilkada DKI 2017 saat itu yang diwarnai isu penistaan agama oleh Ahok itu di mushola Al Mukminun tidak jauh lokasinya dari rumah nebek Hindun dipasang sebuah spanduk dengan tulisan “mushola ini tidak menshalatkan pendukung dan pembela penista Agama”.
“Ini jelas yang dimaksud itu adalah Ahok karena kita tahu gara-gara Ahok itu dianggap menistakan Agama di Pulau Seribu dan kemudian muncullah aksi yang saya kira dari sisi pengerahan massa belum pernah terjadi di sepanjang era politik pasca Orde Lama bahwa ada jutaan orang berkumpul di Jakarta di Monas karena memprotes sikap dari Ahok atau pernyataan Ahok ini,” ungkap Hersu.
Hersu mengakatan, di tengah ketegangan politik di Jakarta menjelang putaran kedua ketika pasangan Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saiful Hidayat harus berhadapan dengan pasangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno inilah nenek Hindun meninggal dunia.
“Isunya sangat-sangat sensitif dan menjadi santapan media, apalagi buzzer. Jangan tanya lagi ya, karena muncul sebuah info kabar burung bahwa nenek Hindun itu ditolak disalatkan di musala karena dia adalah pendukung Ahok dan Jarot,” katanya.
Bagaimana fakta sesungguhnya, ada dua versi soal ditelantarkannya jenazah nenek Hindun ini. Semuanya ternyata bertolak belakang. Tapi nanti Anda bisa menyimpulkan sendiri ya.
Versi keluarga seperti yang disampaikan oleh putrinya nenek Hindun, Neneng, itu pada waktu putaran pertama pencoblosan ini karena nenek Hindun sakit dan tidak bisa datang ke TPS maka ada 4 orang petugas KPPS yang datang ke rumahnya.
Kemudian mereka itu menyodorkan kertas suara dan meminta nenek Hindun mencoblos. Nah, ini kelihatannya terjadi penyimpangan atau penyalahan atau kesalahan prosedur karena nenek Hindun diminta mencoblos bukan di tempat yang tertutup seperti kalau kita datang ke TPS tapi nenek Hindun mencoblos kertas yang disodorkan oleh petugas KPPS.
“Nenek Hindun yang saat itu sedang sakit rupanya dia mencoblos pasangan Ahok-Djarot dan itu dilakukan di depan para petugas KPPS,” ungkap Hersu.
Sejak itu tersebar berita dari mulut ke mulut bahwa nenek Hindun adalah pendukung penista agama. Ini stempel yang sangat berat karena kawasan tempat tinggal nenek Hindun itu dikenal sebagai penentang Ahok.
“Saya tidak bisa mendefinisikan apalagi apakah ini dia basis nya Anies-Sandi atau bukan karena sebelumnya ada tiga pasang Agus Harimurti dan Sylviana Murni yang kemudian tersingkir tapi kalau nanti kita lihat-lihat baca-baca ke belakang ternyata memang ini adalah basis dari pendukung Anies-Sandi,” ujar Hersu.
Tapi, yang menjadi pertanyaan apakah benar nenek Hindun ini pendukung Ahok-Djarot? Menurut putri nenek Hindun yakni Neneng ini gak juga. Sebagai orang yang sudah tua dan sakit-sakitan nenek Hindun itu kelihatannya asal coblos saja, dia gak begitu tahu siapa calon-calon yang harus didukungnya.
Bagaimana soal penolakan menyolatkan ini? Ini versi Neneng, mereka memang menginginkan jenazah nenek Hindun ini disalatkan di mushola Al Mukminun, namun pada waktu itu ditolak oleh pengurus dengan alasan tidak ada warga yang menyolatkan dan tidak ada yang menggotong jenazah ke mushola dari rumahnya.
Itu karena banyak warga yang belum pulang dari kerja, di kawasan ini ada yang kerja kantoran tapi banyak juga yang pedagang. Karena nenek Hindun meninggalnya sekitar pukul 13.00-an itu ya banyak yang belum pulang kerja.
Menurut Neneng, alasan tidak ada menyolatkan ini tidak masuk akal, karena ada keluarga yang kebetulan semuanya perempuan. Apalagi, nenek ini juga seorang janda dan dia katanya punya tiga atau empat orang anak perempuan juga dan semuanya juga janda, jadi tidak ada laki-lakinya.
Namun pada waktu itu katanya ada empat orang laki-laki warga lainnya yang akan ikut menyolatkan. Pengurus mushola Ustadz Ahmad Safi'i itu kemudian mendatangi rumah nenek Hindun. Ia memandikan, mengkafani dan kemudian menyolatkan.
Selain karena pertimbangan tidak ada yang menyolatkan dan menggotong jenazah, pertimbangan lain mengapa kemudian disholatkan di rumah itu karena menurut Ustadz Ahmad Safei, petugas pemakaman sudah meminta agar jenazah segera diberangkatkan untuk dimakamkan.
Karena waktu itu sudah sore, bahkan menjelang malam, sekitar pukul 18.30. Jadi kelihatannya para petugas juga ingin segera mengakhiri siftnya pada hari itu dan ingin segera pulang.
“Soal inilah kemudian digoreng habis sebagai bukti bahwa para pendukung Anies dan tentu saja karena pendukungnya begitu, Anies sendiri juga adalah kelompok intoleran. Itulah kesimpulannya. Ahok sempat datang ke rumah nenek Hindun dan juga menyampaikan bela sungkawa,” ucap Hersu.
Pertanyaannya apakah benar bahwa jenazah nenek Hindun ini ditelantarkan, tidak disalatkan di mushola karena dia pendukung Ahok? Ternyata kalau kita baca-baca nggak sepenuhnya benar. Sebab yang memandikan dan mengkafani serta menyolatkan nenek Hindun ternyata kader PKS.
Sementara ambulans yang digunakan untuk membawa jenazah nenek Hindun itu milik Gerindra yang di-branding jadi Anies-Sandi. Jadi clear ini dua-duanya yang menyolatkan dan mengurusi jenazahnya sampai ke pemakaman adalah pendukung dari Anies dan Sandi.
Bahkan, sebelum menggunakan ambulans dari tim Anies-Sandi ini, keluarga nenek Hindun katanya mencoba menghubungi ambulans milik Partai Golkar dan PDIP tapi tidak tersedia.
Fakta bahwa yang mengurus jenazah mulai dari memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan mengantarkan ke pemakaman ini lengkap. Tampaknya ini tetap diabaikan oleh para buzer oleh media yang menggorengnya.
“Dan oleh PSI sekarang ini ternyata tetap saja itu dipelihara dan kemudian dilekatkan sebagai stempel bahwa Anies itu intoleran karena pendukungnya pernah menolak untuk menyolatkan jenazah seorang pendukung Ahok,” ujar Hersu.
Dus, dengan kembali mengungkit kasus nenek Hindun ini Haji Giring lantas mengusulkan nama nenek Hindun ini menjadi nama jalan. Dan tampaknya dia berusaha menjadikan momentum nenek Hindun ini sebagai Monumen adanya sikap intoleran pada Anies dan para pendukungnya.
“Namun seperti sudah diduga cuitan Giring ini kembali menuai bulian. Kalau Anda ikuti di medsos Twitter itu banyak sekali yang membuli Giring Ganesha,” lanjutnya.
Haji Giring ini kelihatannya gak kapok-kapok dia menjual dagangannya yang sesungguhnya tidak laku. Yakni soal intoleransi, alih-alih men-downgrade Anies Baswedan dan atau kemudian dampaknya menaikkan elektabilitasnya sendiri.
Menurut Hersu, ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Popularitas Anies malah kian moncer. Sebaliknya citra Haji Giring dan tentu saja PSI itu makin jeblok. Ini dia dianggap politisi yang tidak punya narasi. Politisi ecek-ecek itu yang mengeksploitasi kebencian terhadap satu kelompok lain atau kebencian terhadap tokoh lain.
“Ini bukan karena yang membela atau yang membuli Giring ini kalau saya amati tidak semuanya itu adalah pendukung Anies. Tapi itu karena memang banyak juga yang tidak sepakat dengan cara-cara Haji Giring berpolitik yang mempolitisasi isu-isu agama dan politisasi kebencian semacam ini,” lanjutnya.
Berbagai aksi Haji Giring ini sesungguhnya memang lebih banyak merugikan PSI sendiri. Kalau soal pribadi dia sih ya sudahlah itu jadi tanggungjawab dan risikonya.
Ketua PSI DKI Michael Sianipar sudah sering menyampaikan keberatannya dengan aksi Haji Giring, bahkan dia juga pernah menyatakan secara terbuka berkali-kali bahwa dia sempat mengkritik Giring dan itu terkesan tendensius kepribadi Anies Baswedan.
Sebagai Ketua DPW DKI Michael pasti sangat sadar dampak aksi-aksi Giring menyerang personal Anies yang ini akan merugikan PSI secara keseluruhan. Bagaimanapun Jakarta ini adalah barometer nasional dan pemilih PSI terbesar juga di Jakarta.
Jadi secara nasional maupun secara khususnya untuk PSI DKI aksi-aksi ini akan merugikan partai secara keseluruhan apalagi yang melakukan adalah seorang ketua umum partai lagi. (mth/sws)