Hanya Salah Kirim Email, Mendagri Inggris Mundur, di Indonesia 134 Nyawa Melayang, Tak Ada yang Mundur
MENTERI Dalam Negeri Inggris Suella Braverman mengundurkan diri pada Rabu (19/10/2022), hanya karena membagikan dokumen resmi dari surel pribadinya.
Mengutip Antara, pengunduran diri Braverman yang dilakukan hanya 43 hari setelah dia ditunjuk oleh Perdana Menteri Inggris Liz Truss – yang akhirnya menyusul mengundurkan diri – semakin menunjukkan kekacauan politik yang mencengkeram Inggris.
Dalam surat pengunduran dirinya kepada perdana menteri yang diunggah di Twitter, Braverman menulis bahwa sebelumnya dia mengirim dokumen resmi dari email pribadinya ke kolega parlemen yang terpercaya.
“Ini merupakan pelanggaran teknis terhadap aturan. Tapi, saya harus pergi,” katanya. Sebagai menteri dalam negeri, dia memegang standar tertinggi dan pengunduran diri adalah hal yang benar untuk dilakukan.
“Urusan pemerintah bergantung pada orang-orang yang bertanggung jawab atas kesalahan mereka,” ujar Braverman, melanjutkan. Namun, Braverman kemudian berkomentar mengenai pemerintahan Truss.
“Kita sedang melalui masa yang penuh gejolak. Saya khawatir tentang arah pemerintah ini,” kata Braverman.
Entah ada hubungannya atau tidak dengan pernyataan Braverman ini, pada Kamis (20/10/2022), hanya enam minggu setelah menjabat, Perdana Menteri Inggris Liz Truss mengundurkan diri
Pengumuman PM Inggris Liz Truss mundur terjadi setelah Menteri Keuangan barunya, Jeremy Hunt, membatalkan hampir semua agenda ekonomi yang dia usulkan.
Langkah Hunt seharusnya menjadi dorongan untuk pertumbuhan, tetapi di sisi lain kebijakan itu menjadi deklarasi kegagalan politik Truss.
Pada awal Oktober ini, pada Konferensi Partai Konservatif di Birmingham, Truss masih berusaha menggalang dukungan partai untuk pendekatan kontroversialnya dalam meningkatkan ekonomi Inggris.
“Saya memiliki tiga prioritas untuk ekonomi: pertumbuhan, pertumbuhan, pertumbuhan,” katanya. Pemilihan Truss awalnya diharap menghadirkan perubahan dari era penuh gejolak mantan Perdana Menteri Boris Johnson.
Itulah situasi politik di negeri Pangeran Charles III. Mungkinkah sikap seperti itu bisa terjadi di Indonesia?
Berikut ini dialog wartawan senior FNN Hersubeno Arief dengan pengamat politik Rocky Gerung dalam Kanal Rocky Gerung Official, Jum’at (21/10/2022).
Halo halo, apa kabar Anda semua kembali berjumpa dengan saya Hersubeno Arief dan Bung Rocky Gerung. Bung Rocky, ini ada breaking news, saya kira menarik ini, Menteri Dalam Negeri mengundurkan diri karena salah kirim email. Itu urusan dinas tapi menggunakan email pribadi.
Ini menurut saya kabar sangat-mengejutkan. Ini terjadi di Inggris, bukan di Indonesia. Tadinya saya berharap itu terjadi di Indonesia, ternyata bukan. Tapi, nggak lama setelah itu ternyata Perdana Menterinya berhenti juga, karena krisis ekonomi di Inggris dan memang mengerikan ini resesi di Inggris, banyak orang yang sudah tidak makan berhari-hari karena harus membayar biaya energi yang sangat tinggi dan sebagainya.
Tapi, saya kira sebenarnya kita bisa belajar dari apa yang terjadi di Inggris, bagaimana etika publik, itu yang saya kira sering bener kita bicarakan. Di Indonesia ini, ada sekarang seorang pejabat, meskipun dia bukan pejabat pemerintahan, tapi pejabat organisasi PSSI, yang dituntut mundur, disindir-sindir oleh Pak Mahfud, tetap juga nggak mundur. Gitu.
Ya, itu yang selalu kita sebut bahwa kedudukan moral seorang pejabat publik itu sebetulnya menjadi tuntunan masyarakat, bukan elektabilitasnya tuh. Kan kalau kita anggap misalnya Perdana Menteri Inggris itu elektabilitasnya tinggi, dia tahu bahwa dia gagal untuk membuktikan janji-janjinya walaupun orang tahu itu karena krisis Eropa menyebabkan separuh dari atau bahkan lebih dari separuh penduduk Inggris kekurangan dana untuk membeli makanan.
Jadi itu pertanggungjawaban dari seorang pemimpin. Juga sang menteri yang hanya salah mengirim email, memakai email pribadi untuk urusan publik, itu menyebabkan dia merasa malu. Jadi itu standar moralnya begitu kan. Apalagi kalau Indonesia dianggap sebagai bangsa yang bermoral, kenapa nggak pakai standarnya Inggris?
Yang lebih berat ya standar negara-negara di Timur, Jepang misalnya, Korea Selatan. Kan kita juga sama-sama negara Timur yang standarnya lebih tinggi dari Barat, misalnya. Tapi, justru itu yang nggak terjadi karena feodalisme kita masih tinggi, karena arogansi di kita masih tinggi.
Jadi, itu sebetulnya yang jadi sinyal, yang sering kali kita terangkan lewat FNN ini. Buat apa sih elektabilitas pejabat publik kalau etikabilitas itu nol? Kan itu intinya? Jadi, kita mau ajari bangsa ini sebetulnya dengan mencontoh bangsa lain, tapi nanti dibilang itu kan Barat.
La justru Barat yang bermutu kalau begitu kan. Jadi, sinisme kita selalu pada mereka yang menganggap Timur itu beretika, ternyata enggak tuh. Ya, Ketua PSSI, bahkan Menpora, sebetulnya mundur saja. Kan ini semua peristiwa publik yang akan dicatat dalam sejarah.
Justru kalau ketua PSSI mundur, maka selesailah problem etis kita. Mereka adalah contoh. Bahwa itu cuma jabatan, ngapain jabatan itu kemudian toh lima tahun lagi orang lupa siapa Menpora siapa ketua PSSI, tapi peristiwa Kanjuruhan itu akan diingat terus.
Nah, kalau ada semacam satu radikal break di dalam mental pejabat-pejabat yang terkait dengan peristiwa itu, bukan terlibatlah, terkait dengan peristiwa itu, dan paket itu kemudian diingat oleh sejarah dan milenial 10 tahun lagi atau 20 tahun lagi akan ingat, kok enggak ada ya pertanggungjawaban etis dari pemimpin terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi Kanjuruhan.
Kan itu soalnya kan? Dan apalagi secara teknis ya sudahlah itu kita tutup saja Kanjuruhan. Ngapain itu yang dijadikan dasar untuk memanipulasi kejahatan kan? Jadi, hal-hal yang teknis macam itu yang orang anggap pemerintah kok seluruh kabinet ini atau sistem birokrasi Presiden Jokowi, tidak dituntun oleh yang kita sebut noblesse oblesse itu.
Jadi, ketinggian moral itu kok hilang, padahal bangsa ini selalu dielu-elukan sebagai negara atau bangsa dengan moral standing yang kuat.
Dari sini saja sebenarnya kita sudah bisa menjawab dengan mudah, mengapa bangsa kita ini seperti jalan di tempat gitu, sementara bangsa-bangsa lain bergerak maju. Karena tadi itu, persoalan tadi. Kita sebenarnya tidak punya seperti yang digembar-gemborkan bahwa kita punya nilai-nilai adiluhung itu, itu hanya sekedar slogan saja, tapi realitasnya tidak.
Nah itu istilah yang saya cari-cari dari beberapa bulan lalu, itu istilah noblesse oblesse itu sebenarnya adiluhung ternyata. Istilahnya bahkan lebih hebat dari istilah Barat, yaitu adiluhung. Dua kata yang menunjukkan bahwa betul himbauan moral itu atau dorongan moral itu, itu yang harusnya dilekatkan pada pejabat publik. Jadi, kelihatannya gagal.
Dan, kalau kita lihat pembicaraan hari-hari ini, tetap politik itu bertambah tanpa ada dimensi moral tadi, dimensi keadiluhungan dari politik. Politik baru disebut politik kalau dimensi adiluhungnya itu ada pada para pemimpin. Kalau nggak, jadi dangkal kan? Memalsu di mana-mana, bohong di mana-mana, itu kan yang terjadi.
Ya, kenapa mungkin orang bisa dengan mudah melihat gambarnya. Kenapa sih Bung Rocky dan kita di FNN selalu bicara soal etikabilitas. Etikabilitas itu yang pertama. Soalnya elektabilitas itu kan kita tahu, kita paham sekali bahwa elektabilitas itu juga manipulatif.
Iya, betul. Kan yang disebut orang sekarang terpukau dengan elektabilitas. Kalau kita tanya dari mana kalian tahu elektabilitasnya, dari survei. Lah, surveinya sendiri tidak punya etika, ngapain dipercaya elektabilitas yang dibuat oleh surveiyor yang etikabilitasnya rendah.
Pertanggungjawaban keuangan nggak pernah ada, dianggap dan publik padahal dana privat. Ini hal yang standar dalam politik. Nah, euforia politk kita hari ini adalah euforia material, bukan euforia spiritual.
Padahal, konstitusi kita minta presiden untuk pertahankan status etis dari kedudukan dia sebagai Presiden. Dan di situ kita gugat. Jadi, kalau kita bilang 0% itu sebetulnya untuk mengembalikan etika politik. Dua puluh persen (20%) itu pengkhianatan etis dalam demokrasi.
Tapi mungkin suatu waktu kita perlu semacam kesulitan luar biasa supaya bangsa ini belajar. Mudah-mudahan ekonomi betul-betul memburuk supaya kabinet belajar, mudah-mudahan ya kira-kira begitu, persaingan-persaingan ini saling membuka borok bahwa mereka yang sedang bersaing menuju RI 1 itu sebaiknya saling menghina, saling membuka borok bahwa ya itu dia juga pernah terlibat dalam kasus kok.
Jadi, begitu sebetulnya. Kita ingin perkelahian ini sempurna, yang buruk itu dibuka, supaya yang tersisa nanti hanya yang baik bagi rakyat kan. Begitu cara kita melihat filter kompetisi politik.
Tapi saya kira tadi ya, soal pemburukan ekonomi, saya yakin Anda pasti akan kecewa, karena memang sebenarnya tanda-tanda semacam itu ada, karena misalnya Gubernur Bank Indonesia sudah menyatakan bahwa kuartal ketiga itu capital outflow itu akan keluar bahkan sangat tinggi.
Dan tadi juga saya berbicara dengan ekonom Awalil, dia memprediksikan juga memang ini nanti rupiah kita bisa juga tembus sampai 20.000. Perkiraan dia mungkin kalau akhir tahun ini terlalu cepat, tapi pada kuartal kedua atau kuartal pertama itu akan terjadi.
Tetapi, justru kalau di Indonesia itu yang terjadi bukan malah pemerintahan mundur, tapi itu yang akan digunakan oleh pemerintah untuk menjustifikasi mengeluarkan Perppu untuk memperpanjang masa jabatan.
Ya, itu nanti pasti plafon yang dibataskan pada APBN ini akan diterobos lagi, walaupun enggak boleh lewat melampaui 3% segala macam, tapi kalau kita lihat misalnya bahasa tubuh Pak Jokowi, dia masih yakin bahwa Indonesia masih akan bertumbuh. Karena itu, kemarin pamer soal IKN diobral segala macam gitu.
Dan, orang nggak ngerti bahwa ya mungkin sekali itu penting, tapi kan dulu proposal IKN itu dari Pak Jokowi untuk mengundang investor asing di dalam kondisi IKN itu akan dituntun oleh nama-nama besar, Raja Arab Saudi, Tony Blair.
Nah, ketika mereka semua pergi dan kemudian ekonomi dunia itu betul-betul seringking, mengalami penyusutan luar biasa, apalagi yang ingin ditunggu oleh Pak Jokowi. Investor akan lari aja kan?
Jadi, hal semacam itu, apalagi volatilitas rupiah kita semakin lama semakin tertekan dan ya satu waktu terpaksa BI mesti ikut apa yang dikehendaki oleh federal reserve, jadi suku bunga dinaikkan lalu mulai terjadi. Investor merasa mending gua tahan duit deh daripada investasi di Indonesia tuh.
Demikian juga UMKM. UMKM juga merasa kalau suku bunga naik bagaimana mereka berupaya. Bunganya tinggi untuk pinjam. Jadi, keadaan itu memang real di kita tuh.
Tapi, pemerintah selalu merasa ini mesti ada dewa penyelamat. Ya, siapa yang mau menyelamatkan. Poin kita selalu adalah ambisi politik akan dibatasi oleh APBN, tapi Presiden Jokowi mau langgar itu terus menerus. Sebelum terjadi hal-hal yang mendebarkan, sebetulnya arah ke itu sudah mulai terasa.
Di mana-mana orang sudah mulai berkeluh kesah, dan tabungan habis, nggak ada lagi yang bisa dibelanjakan tuh, inflasi nggak bisa dikendalikan, dan BI tentu kita tahu rumusnya ya udah beli aja tuh sebanyak mungkin tuh valuta asing. Tapi seberapa kuat daya tahan itu.
Jadi, sekali lagi, kalau nggak ada ketegangan politik mungkin lebih mudah mengatur ekonomi tersebut. Tapi, Ibu Sri Mulyani pasti menganggap bahwa proposal teknis dia mungkin bisa diterima oleh donor-donor luar negeri.
Tetapi, kalau soal korupsi masih ada, bahkan soal BLT itu dikorupsi sampai tingkat desa kok. Nah, itu kan data yang ada di tempat-tempat di mana para investor berkumpul kan. Jadi, para investor dunia justru melihat Indonesia sedang terpuruk.
Oleh karena itu, ya sudah, pura-pura beli, supaya harganya naik, padahal di bawah dia beli lagi pada harga yang paling rendah dari saham-saham yang sebetulnya sudah jadi sampah, tapi kan diulas-ulas terus seolah-olah itu bermutu.
PSSI itu cuma satu contoh bagaimana moral pemimpin. Ini kan PSSI lembaga internasional yang harusnya FIFA mestinya puji PSSI kalau ketuanya mundur. Kan FIFA nggak bisa tekan. Jadi FIFA ini mau menunggu ini kematangan, kedewasaan kepemimpinan di PSSI itu bagaimana?
Ya, yang terjadi malah mereka ngajak main bola itu katanya. Yang kemarin kata mereka itu permintaan dari FIFA, jadi bagaimana mungkin kita menolak kalau ada tamu minta. Kita berduka ya cukup berdoa, tapi tetap sekali-kali ada fun. Nah, menurut saya ini tidak ada sensitivitas sama sekali.
Itu PSSI mesti baca juga, masa’ FIFA minta PSSI bubar, mesti diganti. Justru dengan FIFA bilang: mari kita main sama-sama, justru itu semacam teguran bahwa oke, Anda itu ada dalam sorotan masyarakat Indonesia tuh.
Sebetulnya di lapangan tersebut lobi saja FIFA, oke minggu depan kami akan lakukan perubahan, akan ada pengunduran diri, resain segala macam, supaya FIFA pulang ke markasnya dengan lega hati kan. Kan dia juga merasa ngapain datang ke Indonesia dan tak menemukan semacam penyesalan dari pengurus PSSI. Yang ditunggu-tunggu itu sebetulnya, jangan dibalik-balik. FIFA yang minta main bola, ngapain main bola dalam keadaan orang masih berduka.
Dan lucu sekali ini penjelasan PSSI ketika ditanya oleh media “Bagaimana dengan rekomendasi dari TGIPF bahwa mereka diminta mengundurkan diri?” Karena bahasanya juga “mungkin”. TGIPF itu mendorong mereka untuk mundur, apalagi pemerintah.
Karena itu dianggap nanti campur tangan, enggak boleh itu oleh FIFA. Tentu bahasa yang digunakan, selain seperti Pak Mahfud nyindir dengan standar moral, kemudian juga soal rekomendasi dan jawaban yang disampaikan oleh PSSI itu yang menurut saya sangat konyol “Itu kan cuma rekomendasi”.
Gila bener ya. Jadi, nggak ada penghormatan pada lembaga yang dibuat oleh negara untuk menyelesaikan soal ini. Justru kalau dia bersifat rekomendasi itu adalah proposal moral paling tinggi itu. Kalau sampai teguran hukum itu orang malu dong. Harus dinyatakan mundur lu.
Justru rekomendasi itu yang membuat orang yang sensor etiknya kuat oh ya saya ditegur ya memang saya salah tuh. Sama seperti Menteri Dalam Negeri Inggris yang cuma diberitakan sedikit dia sadar oh, iya, saya salah ya, itu untuk hal yang publik. Kan enggak ada orang yang minta Mendagri yang juga perempuan itu mundur.
Tapi hati nuraninya bilang, my innercall minta saya untuk berhenti. Nah, kita tunggu innercall dari petinggi-petinggi PSSI. Seolah-olah enggak ada innercall, nggak ada panggilan dari dalam batin, jadi menganggap bahwa itu saya tidak bertanggung jawab, bukan kesalahan saya.
Memang, itu bukan pertanggungjawaban hukum, orang minta pertanggung-jawaban etis, supaya orang merasa lega ada yang bertanggung jawab minimal. Kalau semua bilang ya itu bukan saya, berarti nggak ada yang bertanggung jawab dong.
Jadi memimpin pertanggungjawaban secara etis itu yang ditunggu oleh publik, yang bagi bangsa yang adiluhung itu yang diutamakan sebetulnya. (sof/sws)