Harga BBM Melambung Lagi, Rakyat Menderita
Jakarta, FNN - Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar bakal berimbas ke masyarakat.
Pasalnya, kenaikan harga BBM akan berdampak terhadap harga pangan dan naiknya inflasi.
“Ini harus dihitung betul, dengan asumsi perhitungan bahwa kenaikan Pertalite 10% saja, bisa berdampak terhadap inflasi 0,5%. Disatu sisi rakyat miskin harus diselamatkan, dan anggaran negara tidak juga jebol,” terang Ketua Komisi VII, DPPRI, Sugeng Suparwoto, dalam Gelora Talks bertema : Siap-siap harga BBM melambung lagi : Hidup kian mencekik dimana rakyat mengadu? Secara daring di Jakarta, Rabu (24/8).
Sugeng Suparwoto mengungkapkan, belum tentu ada kenaikan harga Pertalite pada pekan ini maupun pekan depan.
Hanya saja, menurut perkiraannya, harga Pertalite sekarang Rp7.650 per liter akan disesuaikan di harga Rp10.000 per liter. Begitupun harga solar sekarang Rp5.500 per liter akan menjadi sektiar Rp7.000 per liter.
Adapun, Sugeng berharap tetap ada harga khusus yakni untuk kelompok masyarakat kecil pengguna sepeda motor dan solar subsidi untuk truk-truk untuk logistik yang khusus untuk industri kecil dan menengah.
“Paling banter naik maksimum 30% menjadi Rp10.000 per liter untuk Pertalite. Sedangkan pengguna Motor, Angkot dan solar untuk keperluan Angkutan Logistik masih tetap,” ungkapnya.
Menurut Sugeng, Indonesia memang rentan terhadap gejolak harga energi. Bagaimana tidak, karena konsumsi minyak sudah melambung hingga 1.450 ribu barrel per day dari kemampuan lifting minyak hanya sekitar 660 barrel per day. Jadi mayoritas untuk memenuhi kebutuhan ini mengacu pada harga impor dan tidak berada dikendali pemerintah.
Sementara, Satya W Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) mengatakan, setidaknya ada tiga alternatif mengenai BBM Subsidi.
Alternatif, pertama yakni menambahkan kuota BBM Subsidi hingga mencukupi sampai akhir tahun apabila pemerintah berkecukupan. Kedua, melakukan pembatasan distribusi BBM subsidi karena belum efektif menyasar rakyat kurang mampu.
Atau, lanjut Satya, menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan masyarakat.
”Untuk ini sebenarnya badan usaha sudah menginisiasi pembatasan dengan pengguna mypertamina. Hanya saja, payung hukum dari pembatasan itu belum ada,” tuturnya.
Pengamat Migas & Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menuturkan, subsidi BBM hingga sekarang ini masih belum tepat sasaran bagi golongan ekonomi kelas bawah. Didalam acuan BPS, ukuran masyarakat miskin apabila jberpenghasilan dibawah Rp400 ribu per bulan.
“Kalau yang disubsidi adalah pemakai motor, kan menjadi pertanyaan. Mereka ini, adalah para pejalan kaki, semestinya, tak menggunakan motor,” ujarnya.
Menurutnya, subsisi BBM seharusnya menyasar kepada orang bukan barang. Bagi masayrakat miskin tetap membeli BBM dengan harga sama, namun disubsidi dengan menggunakan kode tertentu.
“Kalau disegmentasi tentu ada tiga besar penggunanya yakni transportasi, industri dan niaga serta rumah tangga. Kalau ini mampu disasar kemungkin angka subsidi tidak sebesar ini,” pungkasnya. (Lia)