Ichsanuddin Noorsy: Ada Dua Pemain Besar di Negeri Ini, LBP dan Sri Mulyani
Jakarta, FNN – Dugaan penyelewengan dana sebesar lebih dari Rp300 Triliun yang ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menghentak perasaan publik. Seakan telah terjadi korupsi yang besar, padahal kasus ini bukan hal baru dan angka tersebut sesungguhnya sangat kecil yang diibaratkan sebagai ujung kuku.
“Ini bukan kasus baru. Angka Rp300 T itu hanya ujung kuku. Inilah yang dinamakan Strategic Transfer Pricing. Ini kesalahan sistem. Maka ketika terjadi abuse of power maka terjadi abuse of tax,” kata pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy dalam diskusi publik Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) berjudul Potret Kejahatan Keuangan di Kemenkeu, Senin, 20 Maret 2023 di Jakarta.
Di samping Ichsanuddin, hadir dalam diskusi tersebut Fuad Bawazier (Mantan Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VII), Muhammad Said Didu (Praktisi, Mantan Sekretaris BUMN), Anthony Budiawan, (Managing Director Politics Economy and Policy Studies), dan Gatot Nurmantyo serta dipandu oleh Hersubeno Arief dari Forum News Network (FNN).
Noorsy menyarankan untuk membuka laporan keuangan perusahaan asing agar semua orang tahu bagaimana mereka bermain.
“Coba buka laporan keuangan perusahaan asing. Berapa triliun mereka punya masalah. Buka laporan keuangan Inalum, berani gak? Pemain-pemain menikmati sistem yang salah ini. Maka dipertahankan,” paparnya.
Menurut Noorsy, peta kejahatan keuangan negara sudah jelas, sistem hukum terbeli, dan budaya politik yang korup menghasilkan negara jatuh miskin. Oleh karena itu dibutuhkan kepemimpinan yang punya kompetensi. Selama tidak kompetensi maka, kata Noorsy pemimpin mudah didikte.
Biang keladi kegaduhan Indonesia saat ini kata Noorsy hanya dikendalikan oleh dua orang yang punya kuasa tinggi. Mereka adalah Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pajaitan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
“Ada 2 pemain besar di negeri ini yakni LBP dan Sri Mulyani. Tak ada lawan. Angka Rp300 Triliun tak akan tuntas karena akar sistem ekonomi dan akar sistem politik tak tersentuh. Bambang Brodjonegoro pernah bilang ke saya ada ribuan orang pengemplang pajak,” papar Noorsy penuh semangat.
Noorsy tahu persis cara pengemplang pajak bermain. “Dedengkot bea cukai pernah bilang ke saya bagaiman mereka manipulasi pajak. Ekspor impor under invoice, lewat pintu merah, hijau. Under table harus dilakukan,” katanya.
Menurut Noorsy, secara sistematis struktural, Indonesia seharusnya tidak utang jika pengelolaan pajak dilakukan dengan transparan.
Lebih jauh Noorsy menilai bahwa sistem pelapporan perpajakan Indonesia harus direvisi.
“Biang keladi sistem ini adalah UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, maka harus diubah atau diperbaiki. Semua presiden pernah berjanji menggagas Badan Penerimaan Negara, akan tetapi gak pernah bisa terwujud karena berbenturan dengan asing terutama USA. Ini semua desain asing. Jadi, Rafael itu hanya mengikuti cara orang asing bekerja,” tegasnya.
Noorsy mengaku punya kasus-kasus pajak besar. Jumlahnya mencapai belasan.
“Saya punya 13 kasus perpajakan. Semua akibat dari Strategic Transfer Pricing. Sistem perpajakan kita didikte oleh investasi asing. Maka, kasus kasus pajak tidak ada yang tuntas. Kasus Gayus Tambunan, putus mata rantainya. Kasus Hari Purnomo 375 M dianggap tidak masalah. Padahal ada masalah Sri Mulyani dengan Hadi Purnomo. Semua isinya gratifikasi dan suap. Kasus Angin Prayitno juga gak tuntas. Terakhir muncul Rafael ini,” katanya geram.
Noorsy meyakini, kalau PPATK punya keberanian mengungkap secara gamblang, maka habis negeri ini, karena semua korupsi akan terbongkar tanpa kecuali.
“Ini keanehan luar biasa, tax ratio meningkat, kata Sri Mulyani, dari 9,11 persen ke 10,38. Seharusnya tax yang didapat Rp2033,28 Triliun. Tetapi faktanya 1924 T. Ada selisih 108 T. Ini kan ajaib,” katanya geram.
Sementara mantan Sekretaris BUMN Said Didu mengatakan bahwa tax ratio zaman dulu mendekati 15 persen, sekarang kalau Menkeu masih Sri Mulyani, maka tak akan pernah naik. Ratio pajak justru turun terus. Sebagai patokan kata Said1 persen tax ratio itu sama dengan Rp200 triliun.
Said Didu menegaskan rata-rata PDB sejak Jokowi berkuasa hilang Rp500 Triliun per tahun, yang harusnya masuk tetapi tidak masuk. Jumlaah totalnya, sejak Jokowi presiden, ada Rp4000 T yang tidak masuk ke negara.
“Padahal dua kali tax amnesty dan menaikkan pajak. Pajak orang kaya diturunkan pajak orang miskin dinaikkan. Tetap saja tak terdongkrak. Ke mana uang itu?,” tanyanya. (sws)