Ikan Busuk Dari Kepalanya?
Negara bisa maju jika penyelenggaraan negara dan pemerintahan berjalan dengan baik, aman sejahtera, dan makmur untuk rakyat Indonesia. Ini merupakan amanat konstitusi.
Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
ORANG bilang, ikan busuk mulai dari kepalanya, demikiankah? Kritisisme menghendaki segala sesuatu itu diterima atau ditolak mesti dengan bukti. Bahkan, sesuatu yang telah terbukti dan teruji berkali-kali pun boleh jadi tetap menimbulkan sangsi.
Kiat sederhana untuk mengenali seekor ikan apakah ia ini tangkapan baru atau lama ialah dengan mengamati matanya. Bila matanya bening, berarti ia ikan segar, tetapi bila matanya keruh, berarti ikan itu basi, maka jangan dikonsumsi.
Mata manusia adalah jendela hati. Mata menyimpan seribu satu rahasia. Apa yang terpancar dari mata adalah ekspresi suasana hati.
Orang yang tidak bersalah berani menatap mata siapa saja tanpa harus syakwasangka.
Kata kepala dalam Bahasa Arab ialah ra’s, dan yang mengepalai disebut ra’is. Prof. M. Amien Rais lah yang mempopulerkan adegium: ikan busuk mulai dari kepalanya.
Amien Rais disebut sebagai Bapak Reformasi Indonesia 1998 bersama Gus Dur, Megawati, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Beliau-beliaulah yang memimpin Gerakan Mahasiswa bersama tokoh-tokoh bangsa mempersilakan Pak Harto lengser dari kursi kepresidenan.
Berdasarkan pengalaman masa jabatan presiden RI pertama dan kedua yang tidak terbatas, salah satu tuntutan reformasi adalah Amandemen UUD 1945 yang sesungguhnya berfokus pada pembatasan masa jabatan presiden itu secara eksplisit, yakni presiden yang habis masa jabatannya bisa dipilih kembali satu kali lagi, menjadi dua periode saja.
Sungguhpun demikian, dengan alasan tertentu ada pihak-pihak yang menyerukan amandemen UUD NRI 1945 kembali, terbatas pada masa jabatan presiden tersebut, agar Jokowi bisa menjadi Presiden RI tiga periode.
Dan, perubahan UUD 1945 fundamental lainnya ialah tentang pemilihan presiden, yang semula itu dipilih oleh wakil-wakil rakyat diubah menjadi semua rakyat berhak memilih presiden, di mana setiap kepala mempunyai satu suara.
Unsur perubahan yang kedua tersebut dipandang telah melenceng dari sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan/perwakilan. Perubahan ini juga telah membuahkan aturan yang tertuang dalam UU Pemilu 2017 pasal 222 tentang Presidential Thershold 20%.
Perubahan UUD 1945 fundamental ketiga adalah kedudukan Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR, tetapi bisa dikatakan sejajar dengan MPR.
Evaluasi mendasar atas ketiga perubahan tersebut membuahkan tuntutan untuk Kembali ke UUD 1945 asli dengan beberapa catatan tertentu.
Dalam rangka Tahun Baru 1444 H dan HUT RI ke-77, Forum Kebangsaan Yogyakarta menyelenggarakan Halaqah Kebangsaan Yogyakarta merajut persatuan umat Islam dalam bingkai kebangsaan Indonesia, “Reaktualisasi Resolusi Jihad dalam Merebut Kembali Kedaulatan Rakyat sebagai Fondasi Tegaknya NKRI”. Kegiatan ini diselenggarakan di kompleks Masjid Jami` Karangkajen, 21 Agustus 2022.
Hadir sebagai pembicara KH M. Ghozy Wahab (tokoh dan cucu Pendiri NU), HM. Syukri Fadholi, SH, Mkn (Ketua Forum Umat Islam Yogyakarta), Brigjend. Purn. H. Santoso (Ketua Gerakan Bela Negara DIY), KH Mas’ud Masduki (Rois Syuriah PWNU DIY), dan Prof. Dr. Muhammad Chirzin M.Ag. (Ketua Umum MUI Kota Yogyakarta).
Narasi yang mengemuka antara lain bahwa Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Isu-isu kebangsaan mendasar krusial jangka pendek, antara lain, korupsi terjadi di segala lini (menurut Mahfud MD), krisis kepercayaan Polisi (kasus Polisi menembak Polisi), Penegakan keadilan secara tebang pilih, dan Amandemen UUD 1945 pada 1999-2002 yang kebablasan.
Selama 77 Tahun kita merdeka, apakah Rakyat Indonesia sudah berdaulat di bumi Indonesia? Fakta dan realita bahwa Negara dikuasai oleh oligarki politik-ekonomi, harga kebutuhan-kebutuhan pokok membumbung tidak terkendali, pembangunan IKN Nusantara menambah beban rakyat.
Persatuan umat dan kebangsaan makin luntur, karena faktor eksternal, antara lain ghazwul fikri, serbuan buzzer, adu-domba, dan tuduhan politik identitas Islam. Sedangkan faktor internal utamanya hubbuddunya wa karahiyatul maut (cinta dunia dan takut mati).
Tujuan berdirinya republik ini terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dan nilai filosofis Pancasila. Kondisi riil bangsa Indonesia sekarang termasuk dalam kategori negara setengah gagal, karena Negara salah urus (menurut A. Syafii Ma’arif), perselingkuhan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif (menurut Rocky Gerung), maraknya jargon Pancasila dan NKRI itu di mulut dan retorika politik, NKRI harga mati, tapi apa saja impor.
Persoalan kebangsaan yang akut dewasa ini antara lain lemahnya wibawa pemerintah, KKN merajalela, minimnya keteladanan, hukum tidak adil, aparat represif, komunikasi pemerintah-rakyat tidak nyambung, utang Luar Negeri massif, dan sumber dana terbatas.
Solusi kebangsaan jangka pendek agar rakyat tetap berdaulat, ini sebagai subyek bukan obyek: Hapuskan pajak yang memberatkan rakyat, turunkan harga, hapuskan PT 20%, lakukan restrukturisasi ulang pemerintahan, lawan bandar oligarki, garong negara, dll.
Negara bisa maju jika penyelenggaraan negara dan pemerintahan berjalan dengan baik, aman sejahtera, dan makmur untuk rakyat Indonesia. Ini merupakan amanat konstitusi.
Jika negara dibangun dari kebohongan, menipu, dan rekayasa, akibatnya korupsi, dan manipulasi. Kesewenangan ini jauh panggang dari api untuk memajukan negara, sebagaimana dikatakan Yenny Wahid yang bersumber dari Semarak.co.
Pemimpin sejatinya adalah perisai dalam memerangi musuh rakyatnya dan melindungi mereka. Jika pemimpin mengajak rakyatnya dalam ketakwaan kepada Allah dan bersikap adil, maka ia bermanfaat buat rakyat, tetapi jika ia memerintahkan yang selain itu, maka ia musibah bagi rakyat. (Nabi Muhammad saw).
True leader will be seen when there is a crisis.
Anda tidak akan pernah tahu bahwa yang Anda perbuat itu akan menghasilkan apa, tetapi kalau Anda tidak melakukan apa pun, pasti tidak akan menghasilkan apa pun. (Mahatma Gandhi).
Orang-orang terbaik memiliki kapasitas untuk berkorban, perasaan tentang keindahan, keberanian untuk mengambil risiko, dan disiplin untuk mengatakan yang sebenarnya. Ironisnya, kebajikan mereka membuat mereka rentan; mereka sering terluka, dan terkadang merasa hancur. (Ernest Hemingway).
“Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagipula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapa pun juga”. (Pidato Jenderal Soedirman saat diangkat sebagai Panglima Besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945).
“Jagalah persatuan di dalam tentara, sehingga tentara kita dapat menjadi utuh, satu, dan merupakan benteng yang kokoh kuat dalam menghadapi siapa pun”. (Amanat Panglima Besar Jenderal Soedirman kepada para Komandan Kesatuan tanggal 1 Mei 1949). (*)