Ikhtiar Menemukan Keadilan Humanitas (Bagian-2)

Tulisan ini adalah bagian kedua dari catatan akademis singkat terhadap buah pikiran Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin SH. MH., teman sesama alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, terkait pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap Universitas Diponegoro, dengan judul “Pembaruan Sistem Pemidanaan Dalam Praktik Peradilan Modern : Pendekatan Heurestika Hukum”.

by Prof. Dr. Syaiful Bahri SH. MH.

Jakarta FNN – Prof. Dr. M. Muhammad Syarifuddin SH. MH meyakini bahwa Heuristika dapat diimplementasikan dalam hukum. Sebab hukum adalah sistem yang dinamis dan bersegi banyak. Dinamis dalam arti bahwa hukum senantiasa berubah dan bergerak mengikuti perkembangan zaman. Hukum selalu mengikuti kebutuhan berhukum di masyarakat.

Bersegi banyak berarti hukum bukanlah sesuatu yang sifatnya tunggal. Sebaliknya, hukum terbentuk dan berdinamika sedemikian rupa. Karena dipengaruhi oleh faktor-faktor di luarnya, seperti faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, psikologi, dan agama (Syarifuddin, 2021: 22).

Dalam mengimplementasikan gagasan tersebut, pandangan saya sebagai kolega yang bersangkatan adalah terletak pada hakim itu sendiri. Hal ini menyangkut isyu tentang kemandirian hakim dalam menjatuhkan suatu putusan. Terutama dalam menjatuhkan putusan hakin yang berkaitan erat dengan pidana dalam perkara-perkara korupsi.

Pemidanaan bermaksud untuk menegakkan kemaslahatan, perdamaian, serta kebahagiaan untuk seluruh manusia. “Tidaklah seseorang yang berdosa akan memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menghukum, hingga Kami utus Rasul terlebih dahulu” (Q.S. 17 ayat (15). Pidana sebagai nestapa yang dikenakan negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang.

Pidana dijatuhkan secara sengaja agar dirasakan sebagai nestapa. Ukuran kenestapaan pidana yang patut diterima oleh seseorang merupakan persoalan yang tidak terpecahkan. Pidana baru dirasakan secara nyata apabila sudah dilaksanakan secara efektif. Tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata dengan jalan menjatuhkan pidana tetapi dengan jalan menggunakan tindakan-tindakan (Saleh, 1983: 9).

Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sekunder, yakni apakah perbuatan pidana itu betul-betul harus dijatuhi hukuman. Karena secara primer hukum pidana, berguna untuk menginsafkan perbuatan yang keliru agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dalam hukum pidana terkandung asas kemasyarakatan dan perikemanusiaan yang merupakan sendi-sendi negara kita.

Itu berarti perbuatan pidana dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, laksana dua mercusuar yang memancarkan sinarnya di atas samudera yang gelap dan berbahaya. Sehingga para pelayar dalam menuju pangkalannya diharapkan tiba dengan selamat dan berbahagia. Karenanya dua pangkal sinar itu harus selalu diawasi dan diikuti. Sebab jika tidak, bukan kebahagiaan yang akan dialami, sebaliknya kesengsaran dan kesewenang-wenangan (Moelyatno, 2008: 27).

Setiap pemidanaan yang dijatuhkan oleh peradilan, dengan aktor utamanya adalah hakim pidana, selalu mendapatkan perhatian di masyarakat. Terutama terhadap tingkat kepuasan dan keseriusan dari pemidanaan tersebut. Apakah suatu alat pembalasan ataukah alat pembinaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam warna warni “keadilan” yang dimaknainya.

Disinilah pertemuan pemikiran falsafah Pancasila sebagai pengendali emosi dan hasrat keadilan di relung paling dalam dan suci dari para hakim pidana dalam memberikan kemuliaannya. Menilai peristiwa konkrit dengan tulus ikhlas. Tanpa adanya tanpa muatan-muatan apapun. Hanya dengan hasrat keadilan, hakim dapat membenarkan putusan-putusan pemidanaannya (Bakhri, 2016 : 4).

Dalam budaya hukum pidana barat, hakim pidana, karena kepercayaan yang diberikan padanya, menikmati kewenangan yang cukup luas. Kewenangan yang berkenaan dengan penetapan hukuman. Kebebasan itu tidak hanya terhadap pilihan-pilihan bentuk pemidanaan semata. Namun juga terhadap berat ringannya pidana yang dijatuhkan.

Patokan berat ringannya pemidanaan, berdasarkan pada patokan tentang tingkat keseriusan dari perbuatan. Juga latar belakang situasi dan kondisi yang melingkupi pelaku ketika melakukan tindak pidana. Karena itu sangat mendapatkan perhatian tentang sejumlah panduan, atau berkaitan dengan sejumlah ciri-ciri yang terkait dengan kejahatan tersebut. Hakim dapat menyimpangi ketentuan perundang-undangan, dengan memberikan alasannya (Kelk, 2012: 69).

Tidak ada batas yang jelas atas kebebasan yudisial, bukan berarti hakim tidak terikat dengan peraturan. Tetapi dalam arti kreasinya, hakim menafsirkan bunyi undangundang dan menilai fakta dalam kerangka menyusun nalar hukum. Putusan yang tidak adil, tidak manusiawi dan sebagainya, yang konotasinya bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan harapan masyarakat, secara teknis tercakup dalam kategori salah dalam menerapkan hukum.

Hakim bisa salah. Tetapi hakim dengan keyakinannya dapat menilai relevansi, signifikasi dan realibiltas fakta, serta bukti untuk menentukan terjadi atau tidak terjadinya peristiwa pidana. Sehingga hakim dalam menentukan hukuman, apakah mengukum atau membebaskan dari segala dakwaan (Asmara, 2011: 11).

Jaminan yang diberikan kepada seorang hakim, sangatlah penting keberadaannya. Penting guna tercapainya tujuan hukum, dalam hal ini hukum pidana dan ruang lingkup sistem peradilan pidana. Kebebasan hakim didasarkan kepada kemandirian dan kekuasaan kehakiman di Indonesia, telah dijamin dalam konstitusi Indonesia.

Independensi hakim diartikan sebagai bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan negara lainnya. Kebebasan dari paksaan, direktiva, atau rekomendasi yang datang dari pihak-pihak ekstra yudisiil, kecuali dalam hal-hal yang di izinkan undang-undang.

Mengenai penyelenggaraan pengadilan, walaupun kekuasaan kehakiman, karena kedudukannya yang bebas dan bertanggungjawab, tidaklah boleh Hakim menyalahgunakan kedudukannya yang bebas itu. Karena hakim terikat pada syarat-syarat tertentu yang harus diindahkannya saat menunaikan tugasnya. Syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yang berlaku, untuk memberi jaminan-jaminan bagi suatu penyelenggaraan peradilan yang layak dan adil.

Kebebasan hakim diartikan sebagai kemandirian atau kemerdekaan. Dalam arti adanya kebebasan penuh dan tidak adanya intervensi dalam kekuasaan kehakiman. Hakim bebas dari campur tangan kekuasaan, bersih dan berintegritas serta profesional. Pada hakikatnya kebebasan ini merupakan sifat pembawaan dari setiap peradilan dalam mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hakim bukan hanya sekedar berperan memantapkan kepastian hukum, melainkan juga keadilan hukum. Sehingga setiap Hakim bersifat spiritual. Secara lahiriah, terdapat tanggung jawab hakim secara batiniah, Bertanggungjawab pada hukum, diri sendiri dan kepada rakyat, serta lebih jauh pada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dalam merumuskan tujuan hukum yang sesungguhnya, tidak dirumuskan dalam kata-kata, tetapi dipahami dan dihayati, karena bersumber pada hati nurani manusia (Bakhri, 2016: 27). Habis.

Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta.

307

Related Post